tirto.id - Puasa dan rasa lapar menjadi langkah awal seseorang untuk mendekati Allah. Hal ini disampaikan oleh Syihabuddin Yahya bin Habasy Suhrawardi dalam Bustan al-Qulub. Ini juga selaras dengan yang diungkapkan Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin.
Dalam Razavi (1997:71), Suhrawardi menyebutkan, "dasar dari hidup zuhud terletak pada kelaparan ... jika dia yang ingin mendapatkan spiritualitas tidak mengalami kelaparan, tidak ada yang akan dicapai. Semua penyakit [spiritual] tercipta karena kenyang dan makan berlebihan."
Diri manusia terdiri dari 3 entitas, yaitu tubuh, jiwa, dan ruh. Selama berada di dunia, seseorang mesti melatih jiwanya menghadapi hasrat-hasrat kemelekatan dengan unsur duniawi. Pilihannya adalah terjebak dengan kenikmatan duniawi lantas lalai dengan tujuan hidup, atau memilih "menderita" selama tinggal di dunia demi kebahagiaan di Akhirat.
Menurut Suhrawardi (dalam Razavi, 1997:62) nafs al-natiqah (jiwa manusia) berasal dari substansi Ilahi. Keberadaan seseorang di dunia dapat membawanya ke dalam kegelapan kala ia terjebak dalam pemenuhan hasrat. Sebaliknya, kapan pun jiwa diperkuat melalui kebajikan spiritual, dan tubuh melemah melalui puasa dan bukantidur, jiwa dilepaskan dan bersatu dengandunia spiritual.
Seseorang yang berpuasa berarti telah melakukan satu langkah untuk memutus kemelekatannya dengan duniawi. Semakin banyak ia makan dan minum, peluangnya untuk lalai semakin besar, seperti yang tersirat dari sabda Nabi Muhammad saw., "Setan itu berjalan dalam aliran darah anak Adam. Sempitkanlah ruang geraknya dengan cara menahan lapar (berpuasa)."
Ketika seseorang berpuasa, dan tidak hanya sekadar menahan lapar serta haus, tetapi juga menjauhi hal-hal yang membuat pahala puasanya terhapus seperti gibah, perkataan kotor, bohong, atau adu domba, ia bagai membersihkan dirinya, menjernihkan pikiran dari selain Allah.
Semua manusia di dunia ini memiliki potensi sebagai cermin yang memantulkan cahaya Allah. Namun, potensi itu dapat tertutupi kegelapan, debu yang menempel, berupa kecintaan pada hal-hal duniawi, penghambaan terhadap selain-Nya, hingga ketundukan manusia pada keakuannya sendiri.
Oleh karenanya, yang dibutuhkan adalah upaya membersihkan cermin itu, sehingga dapat memantulkan cahaya Allah. Upaya membersihkan cermin itu dilakukan terus-menerus selama berada di dunia.
Razavi (1997:71) menyebutkan, puasa hanyalah salah satu aspek dari praktik di jalan Sufi demi mendekati cahaya Allah.
Aspek lain adalah terjaga pada malam hari, "sedikitnya malam akan mengurangi waktu tidur, dan membuat hasrat manusia juga berkurang". Aspek berikutnya adalah zikir, yang menjadi persiapan seorang sufi untuk menerima pencerahan.
Biografi Singkat Suhrawardi al-Maqtul
Syihabuddin Yahya bin Habasy lahir di Suhraward pada 1154 Masehi dalam masa Kekaisaran Seljuk. Ia dijuluki "Syaikh al-Isyraq". Dalam usia 32 tahun ia menyelesaikan magnum opusnya, Hikmat al-Isyraq. yang menjadi kunci doktrin isyraqi atau isyraqiyyun(iluminasi) milik Suhrawardi.
Dalam Ngaji Filsafat 56: Suhrawardi Al Maqtul oleh Fahruddin Faiz di kanal Youtube Masjid Jenderal Sudirman (MJS), disebutkan terdapat 3 sosok terkenal dengan nama Suhrawardi. Yang pertama adalah 'Abdul Qahir Abu Najib Suhrawardi (1097 hingga 1168M) yang merupakan pendiri tarekat Suharawardiyah. Salah satu karyanya yang paling penting adalah Adabul Muridin.
Selain itu ada Syahabuddin Abu Hafs Umar Suhrawardi (1145 hingga 1234M) yang merupakan keponakan Abu Najib Suhrawardi. Ia mengembangkan tarekat Suhrawardiyah yang dibentuk oleh sang paman, sekaligus pencipta Awarif al-Ma'arif yang disebut sebagai karya utama di bidang Tasawuf.
Sementara itu, ada pula Syahabuddin Yahya bin Habasy Suhrawardi (1154 hingga 1191M) filsuf yang dibicarakan dalam artikel ini, yang memiliki karya-karya penting dalam doktrin isyraqi, terutama Talwihat, Muqawamat,Al-Masyari’ waal-Mutharahat, dan Hikmat al-Isyraq. Karya lainnya adalah Hayakal al-Nur, Fi I’tiqad al-Hukama’, hingga Bustan al-Qulub.
Poros filsafat iluminasi Suhrawardi adalah Surah an-Nur:35, "Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
"Dalam konsep Suhrawardi, karena Allah adalah nurus-samaa' waa ti wal ardh (cahaya langit dan bumi), maka Allah adalah Nurul Anwar, Cahaya dari semua cahaya dan sumber bagi semua yang ada ... Makhluk pertama yang paling dekat dengan Nurul Anwar disebut Nurul-Aqrab (cahaya terdekat), kadang para sufi menyebutnya Nur Muhammad atau kadang disebut Hakikat Muhammadiyah," terang Fahruddin Faiz.
Dalam filsafat iluminasi Suhrawardi, pengetahuan sejati didapatkan dengan pengalaman langsung. Sebagai contoh, Suhrawardi menyebut, kecuali seseorang berpuasa selama 40 hari, maka ia tidak akan memahami Hikmat al-Isyraq (Razavi, 1997:xvi).
Untuk mendapatkan pengetahuan sejati, syarat utama adalah keberadaan cahaya, sang sumber pengetahuan. Namun, tidak cukup di sana. Faktor lain adalah tidak adanya penghalang (hijab).
Dalam hal ini, penghalang itu dihilangkan dengan membersihkan daya-daya yang bersifat "gelap" seperti sifat kebinatangan, nafsu dan syahwat, ego, juga imajinasi "keakuan" yang membuat khayalan terciptanya eksistensi sendiri.
Faktor ketiga dalam mendapatkan pengetahuan sejati ini adalah adanya aktivitas penerangan (isyraq), yang ujungnya akan membawa pikiran jadi tenang (sakinah), terbukanya daya-daya ruhaniah, dan mendapatkan ittisal (kontak) dengan Sang MahaCahaya.
Editor: Iswara N Raditya