tirto.id - Wendra Purnama, seorang penyandang disabilitas intelektual, harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang, Banten. Pemuda 22 tahun itu bahkan sudah menjalani lima kali sidang dalam kasus kepemilikan narkotika di Pengadilan Negeri Tangerang.
Kasus yang menjerat Wendra bermula ketika dia dibekuk polisi di depan SPBU Jalan Lingkar Luar, Cengkareng, Jakarta Barat, pada 25 November 2018. Kala itu, Wendra hendak membeli sabu bersama temannya bernama Hauhau alias Ahua. Saat ditangkap, polisi mendapati Ahua punya sabu seberat 0,23 gram.
Polisi kemudian memproses kasus ini. Dalam perkembangannya, Wendra ternyata diketahui menyandang disabilitas intelektual alias keterbelakangan mental. Fakta ini terungkap setelah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mendampinginya dalam proses penyidikan.
Advokat publik dari LBH Masyarakat sekaligus kuasa hukum Wendra, Antonius Badar Karwayu menuturkan Wendra hanya mampu memahami pertanyaan sederhana, bahkan pertanyaan harus beberapa kali diulang. Wendra pun akhirnya diperiksa psikolog dari Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah Banten. Hasilnya, ia punya skor IQ 55.
“[Itu] membenarkan yang bersangkutan punya nilai IQ yang rendah,” ujar Badar, sapaan akrabnya kepada reporter Tirto, Selasa (27/3/2019).
Sebagai perbandingan, batas bawah skor IQ rata-rata adalah 80 hingga 89. Dengan skor IQ yang hanya 55, Wendra pun hanya mampu memahami satu atau dua kalimat dan tidak dapat membedakan mana hak dan kewajibannya, apalagi salah dan benar.
Dengan fakta tersebut, Badar mengadukan kondisi Wendra kepada majelis hakim saat sidang perdana. Ia juga meminta pengadilan menyediakan psikolog untuk memastikan kondisi Wendra. Namun, ketua majelis hakim tidak mengabulkan permohonan itu lantaran Wendra dinilai masih mampu memahami dan menjawab pertanyaan.
LBH Masyarakat kemudian berinisiatif mendatangkan psikolog ke Lapas Pemuda Tangerang buat kembali memeriksa Wendra. Hasil pemeriksaan itu bakal mereka sampaikan setelah sidang pemeriksaan terdakwa yang digelar pekan depan.
Ia berharap Wendra mendapat vonis bebas lantaran sejauh ini ia beranggapan kliennya tak terlibat menjadi perantara narkoba. “Dia melakukan ini tidak dengan kesadarannya karena keterbatasan intelektual. Dia tidak tahu kalau itu dilarang,” ucap Badar.
Perlukah Disidang?
Langkah yang dilakukan LBH Masyarakat dengan mengajukan ahli untuk memeriksa Wendra dinilai tepat ahli hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
Menurut dia, penjelasan ahli diperlukan untuk menilai orang dengan disabilitas intelektual dapat dipidana atau tidak. Ini juga guna mencari tahu apakah terdakwa mengetahui perbuatannya dilarang atau tidak.
“Tolok ukurnya adalah kesadaran dari pelaku bahwa sabu itu barang terlarang atau ia punya kemampuan untuk menduga bahwa sabu itu barang terlarang,” kata Fickar saat dihubungi reporter Tirto.
“Untuk dapat menghukum atau melepaskan tanggung jawab atas kesalahan pidananya harus didengar penjelasan dan pendapat para ahli dahulu, ahli kedokteran jiwa,” tambah dia.
Ia menjelaskan, jika ada indikasi Wendra dapat menilai bahwa perbuatannya dilarang, maka ia bisa menjadi subjek hukum dan dijerat pidana. Soal ini, Fickar merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam KUHAP disebutkan empat syarat untuk mempidana seseorang. Pertama adanya perbuatan melanggar pidana (actus reus), adanya niat jahat (mens rea), bukan orang sakit jiwa atau anak-anak, dan tidak terdapat alasan pemaaf yang menggugurkan penuntutan kepadanya.
KUHAP Harus Direvisi
Namun, dasar aturan dalam KUHAP yang disebut Fickar masih bisa menjadi perdebatan. Ini lantaran, KUHAP yang ada saat ini tak menjelaskan mekanisme peradilan terhadap orang dengan disabilitas intelektual atau orang yang memiliki kemampuan bertanggung jawab secara terbatas.
Menurut Direktur Eksekutif Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju nihilnya aturan itu yang membuat Wendra kemudian harus menjalani proses hukum dari tingkat penyidikan hingga pengadilan.
“Nah, itu yang jadi masalah. Hukum pidananya tidak membedakan itu. Jadi gini alasan pertanggungjawaban dalam hukum pidana itu misalnya sakit jiwa, tapi tidak ada di dalam [KUHAP] soal disabilitas intelektual,” kata Anggara kepada reporter Tirto, Rabu (27/3/2019).
Anggara menyebut situasi ini jadi makin pelik lantaran KUHAP juga tak mengakomodir pengawasan berjenjang dan pengawasan eksternal, padahal idealnya sistem penegakan hukum punya tiga jenis pengawasan pengawasan internal, berjenjang, dan pengawasan eksternal
“Jadi akhirnya kasus-kasus yang demikian dibawa terus sampai pengadilan,” ujarnya.
Untuk itu, Anggara menyebut, kasus yang menimpa Wendra harus jadi momentum buat segera merevisi KUHAP. Bila tidak, kasus tersebut bisa terulang.
“Kalau dipilih mana dulu [yang] revisi KUHP atau revisi KUHAP? Saya pilih KUHAP,” ujarnya.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Abdul Aziz