tirto.id - Minggu (6/8), sebuah basis militer di kota Valencia dikabarkan diserang oleh dua puluhan orang berseragam militer. Seperti dilaporkan Al Jazeera, Pemerintah Venezuela mengirim pasukan dan memadamkan aksi militer tersebut dalam waktu empat jam. Dua orang dikabarkan tewas.
Di televisi nasional, Presiden Maduro menyebut kelompok ini sebagai “teroris” bayaran pentolan-pentolan gerakan anti-pemerintah yang berbasis di Miami dan Colombia.
Aksi penyerangan tersebut ditengarai bertujuan merebut persenjataan dan memancing pemberontakan di basis-basis militer lainnya.
“Ini bukan kudeta,” kata Caguaripano melalui rekaman video yang dirilis ketika menduduki Fort Paramacay, pangkalan militer di Valencia. “Ini tindakan warganegara dan militer untuk menegakkan kembali tatanan konstitusional. Lebih dari itu, untuk menyelamatkan negeri dari kehancuran total.
Kapten Juan Caguaripano Scott adalah seorang tentara berpangkat kapten. Pada 2014, pemerintah mengeluarkan surat penangkapan Caguaripano akibat dugaan percobaan kudeta. Dalam video tersebut, Caguaripano menyerukan pembentukan pemerintahan transisi dan akan menyerang unit-unit militer yang tidak sejalan dengan gerakannya.
Los Angeles Times melaporkan, aksi ini terjadi sehari setelah Majelis Konstituen memutuskan untuk menggelar pertemuan perdana untuk menyusun konstitusi baru. Para pengkritik Maduro menyatakan bahwa pembentukan Majelis Konstituen bertujuan untuk menyingkirkan oposisi yang menguasai parlemen.
Kudeta dalam Sejarah Venezuela
Venezuela terakhir diguncang kudeta pada 2002. Presiden Hugo Chavez yang baru memerintah tiga tahun digoyang oleh persekutuan kelompok bisnis, sejumlah elemen militer—yang kecewa dnegan keputusan Chavez untuk menjalin aliansi pertahanan dengan Kuba—serta bekingan dari Washington. Para arsitek kudeta berhasil menaikkan Pedro Carmona, kepala Kamar Dagang Venezuela. Namun beberapa jam kemudian, massa pendukung Chavez turun ke jalan dan menggeruduk Istana Miraflores. Pasukan pengawal presiden berhasil mengamankan istana tersebut dari para pelaku kudeta. Dua hari kemudian, Chavez kembali berkuasa.
Para penentang Maduro senantiasa menyerukan kepada militer untuk mengambil alih kekuasaan. Dalam sejarah Venezuela, tidak pernah ada kudeta yang tidak melibatkan elemen militer—serta hubungan yang ambigu dengan Washington.
Pada 1945, Presiden Isaías Medina Angarita digulingkan oleh aliansi sipil-militer yang kemudian membentuk pemerintahan sementara dan menyelenggarakan pemilu. Tokoh reformis Rómulo Betancourt dari partai Accion Democratica terpilih sebagai presiden. Tiga tahun masa pemerintahannya ditandai dengan proses demokratisasi secara massif yang didukung negara, seperti pemberlakuan hak voting untuk seluruh warganegara dan pembentukan ratusan serikat pekerja.
Dalam kebijakan ekonomi, Betancourt memperbaharui konsesi migas dengan menaikkan pajak untuk perusahaan-perusahaan asing yang mengeksploitasi minyak Venezuela.
Pada 1948, Rómulo Betancourt dikudeta oleh aliansi kelompok konservatif dan elemen-elemen anti-komunis dalam militer yang dipimpin oleh Kolonel Carlos Delgado Chalbaud. Betancourt tersingkir. Pada 1953, Marcos Pérez Jiménez jadi diktator.
New York Times menyebut Jiménez sebagai “anti-komunis tulen” yang “toleran terhadap perusahaan minyak asing” sehingga mampu memenangkan dukungan dari Washington. Selama 10 tahun, kekuasaan Jiménez ditopang oleh kepolisian, pembunuhan, penculikan, dan pengasingan terhadap pembangkang jadi hal yang rutin.
Pada 1958, Jiménez dikudeta aliansi sipil dan militer. Wolfgang Larrazábal, seorang perwira tinggi angkatan laut Venezuela, mengepalai pemerintahan transisi. Dalam pemilu yang diselenggarakan setahun setelahnya, Rómulo Betancourt kembali menang. Dua hal terpenting dalam politik luar negeri pemerintahan Betancourt kali ini adalah pembentukan OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi) dengan Venezuela sebagai salah satu inisiator, serta semakin dekatnya Venezuela dengan Paman Sam yang saat itu dipimpin oleh John F. Kennedy.
Kedekatan tersebut menghasilkan Doktrin Betancourt yang memutuskan bahwa Venezuela tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan rezim yang berkuasa melalui kudeta militer. Langkah ini sempat menyurutkan hubungan Venezuela dengan Kuba di bawah Castro.
Selama periode kedua pemerintahan Betancourt, dua kali pemberontakan militer pecah dalam waktu berdekatan. Pada 1962, elemen-elemen Angkatan Laut dan Garda Nasional mengambil alih kota Carupano, 530 km dari Caracas. Upaya kudeta ini gagal, tapi dilanjutkan oleh percobaan serupa di kota Puerto Cabello (210 km dari Caracas) yang juga berantakan.
Selama tiga puluh tahun setelahnya Venezuela bebas kudeta hingga pada Februari 1992, seorang perwira bernama Hugo Chavez mengomandoi beberapa unit militer untuk merebut fasilitas dan tempat-tempat strategis, termasuk Istana Presiden, di Caracas.
Chavez adalah produk dari Plan Andrés Bello yang berlaku sejak 1971. Program ini membuat pendidikan di akademi militer setingkat dengan universitas. Hasilnya, para calon prajurit akrab dengan berbagai pemikiran politik, termasuk karya-karya para penulis kiri.
Kudeta Chavez dilatarbelakangi oleh keputusan Presiden Carlos Andrés Pérez untuk menerima Structural Adjustment Program dari IMF yang berdampak pada liberalisasi migas, kenaikan harga bahan bakar dan tarif transportasi. Pada Februari 1989, Caracas diguncang kerusuhan besar sebagai respons terhadap liberalisasi di bawah Pérez.
Klik militer sayap kiri yang beraliansi dengan elemen-elemen sipil yang telah menjalin kontak sejak 1980an itu gagal menumbangkan Pérez. Kudeta tersebut gagal, Chavez masuk bui, tapi namanya melambung sebagai tokoh oposisi. Ketika Chavez dipenjara, upaya kudeta lain menyusul untuk membebaskannya pada bulan November 1992—dan lagi-lagi gagal.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani