tirto.id - Selama ini Mesir identik sebagai lahan subur bagi perkembangan Islam. Kendati demikian, Negeri Piramida itu juga merupakan tempat penting bagi agama Kristen.
Seperti dikisahkan dalam Injil Matius, Mesir akan selalu dikenal sebagai tujuan pelarian sekaligus pelindung Keluarga Kudus (Yusuf, Maria, dan Yesus) dari ancaman Raja Herodes. Lain itu, Mesir, catat sejarah, juga merupakan tempat lahirnya Kristen Koptik—salah satu golongan Kristen tertua yang ada di dunia.
Jose Perez-Accino dalam “Ancient Egypt Gave Rise to One of The World’s Oldest Christian Faiths” yang terbit di National Geographic menjelaskan, ajaran Kristen sudah menjamah Mesir sejak pertengahan abad pertama. Ia masuk lewat pintu kota Aleksandria dan disebarkan oleh Santo Markus, salah satu penginjil Perjanjian Baru.
Kala itu Markus, yang merupakan uskup pertama di Aleksandria, memperkenalkan ajaran Kristen kepada keluarga tukang sepatu melalui gereja-gereja yang ia dirikan di kota tersebut, sebelum akhirnya melakukan sebuah pengorbanan menjadi martir gereja.
Pengorbanan Markus terjadi lantaran ajarannya mendapatkan tentangan dari kaum pagan Aleksandria. Mula-mula, kaum pagan berang karena jatuhnya perayaan Paskah berbarengan dengan perayaan untuk Dewa Serapis, dewa pemersatu bangsa Mesir dan Yunani. Kemudian, tulis Perez, “Markus tak mau menyembah dewa kafir itu sehingga membuat massa semakin murka, mengikatkan tali di sekeliling lehernya, lalu menyeretnya melintasi jalanan sampai mati.”
Seiring berjalannya waktu, pengorbanan Markus akhirnya berhasil membuat orang-orang Aleksandria berpikiran lebih terbuka terhadap ajaran Kristen. Walhasil, banyak teolog dan cendikiawan Kristen yang datang ke Aleksandria untuk mengikuti jejak Markus dalam menyebarkan ajaran Kristen. Aleksandria pun sempat menjadi pusat peradaban Kristen.
Dari para cendikiawan dan teolog Kristen itulah Kristen Koptik—yang menurut Perez dibentuk lewat “kata-kata, budaya, serta sejarah Mesir Kuno”—kemudian mengakar, tumbuh, dan berkembang di Mesir. Berbeda dengan denominasi Kristen lainnya, Koptik kelak memiliki Paus sendiri, diajarkan dalam bahasa Koptik, berpegang teguh pada doktrin Sirlius, dan lain-lain.
Terkait ciri khas Kristen Koptik lainnya, Antonia Blumber menulis di Huffington Post: “Kalender Koptik sedikit berbeda dengan kalender denominasi Kristen lainnya. Koptik mengikuti Kalender Julian, dan Natal mereka jatuh pada tanggal 7 Januari. Mereka juga melakukan puasa selama 55 hari untuk menyambut perayaan Paskah.”
Pecah dari Roma dan Konstantinopel
Menurut Ken Perry, dalam bukunya yang berjudul “Eastern Christianity”, Gereja Ortodoks Koptik mulanya bersekutu dengan Gereja Katolik (Roma) dan Gereja Ortodoks Timur (Konstantinopel). Mereka mengakui adanya Konsili Nicea (tahun 325), Konsili Konstantinopel (tahun 381), serta Konsili Efesus (431) yang mematangkan teologi maupun liturgi umat Kristen secara keseluruhan.
Namun, setelah adanya Konsili Kalsedon pada tahun 451, Koptik memilih pecah kongsi. Penyebabnya menarik: pertarungan politik di persekutuan gereja.
Lantaran Aleksandria merupakan pusat peradaban pada masa-masa awal Kekristenan, kota tersebut sering kali memunculkan teolog maupun cendekiawan Kristen dengan pemikiran kritis. Pada awal abad ke-4, misalnya, Arius, salah seorang Imam/Pastor dari Aleksandria yang didukung oleh beberapa Uskup, muncul dengan sebuah doktrin yang kelak disebut Arianisme: percaya hanya ada satu Allah yang Esa, yaitu Sang Bapa dan Putra (Firman) Allah tidaklah kekal seperti Allah Bapa.
Arius menyatakan, karena Putera (Firman) Allah diperanakkan oleh Sang Bapa, maka Putera (Firman) Allah memiliki sebuah titik permulaan dan tidaklah kekal. Dalam hal ini, sesungguhnya Arius gagal membedakan antara pengertian diperanakkan dan menyamakannya dengan pengertian diciptakan. Putera (Firman) Allah dianggap sebagai ciptaan yang tertinggi dan karenanya, dalam pandangan Arianisme, Putera (Firman) Allah memiliki kedudukan subordinat dari Allah Bapa.
Dalam suratnya kepada Eusebius, Arius menegaskan bahwa Putera (Firman) Allah adalah sama sempurnanya seperti Allah, namun Ia diciptakan. Hal tersebut justru bertentangan dengan prinsip Monoteisme yang berusaha dibangun oleh Arius sendiri, karena pada akhirnya ada sosok di luar Allah yang sama sempurnanya dengan Allah, namun tidak setara Allah (bahkan bukan Allah itu sendiri) dan disembah sama seperti Allah.
Tidak hanya itu, ajaran tersebut juga berpotensi “melucuti” Allah. Jika Putera Allah yang adalah Firman Allah diciptakan, maka ada saat di mana Allah itu bisu dan tidak berhikmat, sebab yang dimaksud dengan Putera (Firman) Allah adalah Hikmat Allah itu sendiri. Inilah mengapa Arianisme sangat berbahaya dan tidak dapat disebut sebagai sebuah ajaran Monoteisme.
Dengan demikian, sikap Gereja yang mengutuk ajaran Arianisme dalam Konsili Ekumenis Nikea Pertama merupakan sikap yang sangat tepat dalam menjaga ortodoksi iman Kristen.
Konsili-Konsili Gereja pada dasarnya hanya menegaskan apa yang sudah ada, sebagai contoh tentang Keilahian Kristus sudah dibahas dalam Injil, dalam tulisan para Bapa-Bapa Apostolik dan seluruh Bapa-Bapa Gereja pra-Konsili Nikea I, namun ditegaskan lagi dalam Konsili Nikea I. Syahadat iman seturut keputusan Konsili Nikea-Konstantinopel pun dibuat seturut Kitab Suci dan tulisan-tulisan sebelum Konsili tersebut.
Namun, kemudian, Arius-Arius lain muncul. Mereka hampir selalu punya "rumusan iman" yang berhubungan dengan kristologi dan Sirilus—yang kelak selalu dipegang teguh oleh umat Koptik—adalah salah satunya.
Doktrin Sirilus: keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus, kata Sirilus pada awal abad ke-5, dipersatukan dalam satu kodrat tunggal “tanpa pemisahan, tanpa pembaruan, dan tanpa alterasi.” Singkat kata, rumusan ini kemudian dikenal dengan miafisitisme.
Berbeda dengan Arius, doktrin Sirilus tersebut disetujui oleh persekutuan gereja dan diketuk di Konsili Efesus. Namun, karena miafisitisme pada awalnya digunakan untuk menyerang doktrin Nestorius dari Konstantinopel, pihak tersebut diam-diam tak terima. Mereka lantas bersekutu dengan Roma untuk menyingkirkan pengaruh besar Aleksandria di dalam persekutuan gereja.
Salah satu upaya yang dilakukan Roma dan Konstantinopel untuk menyingkirkan pengaruh besar Aleksandria adalah dengan memunculkan "rumusan iman": Yesus adalah satu persona tunggal yang secara bersamaaan “punya dua kodrat sempurna”, yakni kodrat insani serta ilahiah.
Selain itu, mereka juga menggunakan cara lain: menganggap bahwa doktrin Sirilus sebagai monofisitisme, di mana Yesus hanya memiliki satu kodrat, yakni kodrat ilahiah belaka.
Pihak Aleksandria tentu saja tak terima saat mendapatkan perlakukan seperti itu. Pada akhirnya mereka tetap berpegang teguh terhadap doktrin Sirilus dan monofisitisme jelas berbeda dengan miafisitisme. Maka, saat doktrin anyar tersebut disahkan di Konsili Kalsedon, pihak Aleksandria pun tak mau mengakuinya.
Setelah Persia Datanglah Arab
Setelah lepas dari persekutuan gereja, Kristen Koptik tetap menjadi agama terbesar di Mesir. Malahan, tidak hanya tumbuh dan berkembang di Mesir, ajaran Kristen Koptik mampu melebarkan sayapnya ke daerah Afrika lainnya serta ke daerah Timur Tengah, yang kelak menciptakan denominasi Gereja Ortodoks Oriental.
Namun, semua itu sayangnya tak bertahan lama. Pada abad ke-7, tepatnya rentang tahun 616 hingga 626, Mesir dijajah Persia. Dan mulai tahun 642, bangsa Arab menguasai Mesir sekaligus mengislamkan seluruh negeri.
Masih menurut Ken Perry, bangsa Arab semula tampak tak sekejam bangsa Persia yang pernah menindas umat Koptik. Segera setelah Arab menguasai Mesir, umat Koptik kembali bisa menjalani rutinitas seperti biasa. Tetapi waktu kemudian membuktikan bahwa Arab ternyata tak ada bedanya dengan Persia.
“Mereka menerapkan hukum diskriminatif, merusak gereja, dan memenjarakan sang patriark (uskup tertinggi dalam hierarki gereja),” tulis Perry.
Puncak penindasan bangsa Arab terhadap umat Kristen di Mesir kemudian terjadi pada masa pemerintahan Al-Hakim yang berlangsung pada tahun 996 sampai 1021. “Al-Hakim,” tulis Perry, “menganiaya orang Kristen dengan berbagai macam cara: mempermalukan pakaian mereka, memalak harta benda mereka, merusak gereja, dan memaksa mereka masuk Islam.”
Setelah itu, Islam terus menggempur Koptik nyaris tanpa jeda. Bahasa Koptik, bahasa mayoritas bangsa Mesir yang digunakan dalam ajaran Koptik, diganti dengan bahasa Arab. Pada masa Perang Salib, Katedral St. Markus di Aleksandria dihancurkan. Dan puncaknya, setelah Konstantinopel hancur dan Aleksandria gagal kembali bersekutu dengan Roma, Koptik pun mulai menjadi agama minoritas di Mesir.
Setidaknya World Population Review mencatat: saat ini sekitar 90% penduduk Mesir beragama Islam, sementara penganut Kristen tak sampai 10%.
Ironisnya, meski umat Koptik tinggal puing-puing, sikap diskriminatif yang dilakukan orang-orang Islam terhadap mereka tetap berlangsung hingga sekarang. Bom-bom sering kali meledak di gereja tepat pada saat umat koptik beribadah. Tempat yang dulunya menjadi pelindung Yesus itu justru jadi tempat mematikan bagi pengikutnya. Banyak penganut Koptik yang melakukan emigrasi, tapi tak sedikit pula yang memilih tetap bertahan di Mesir.
Dan, soal masa depan umat Kristen Koptik ini, Manuel Tadros, sejarawan Mesir, punya perumpamaan yang menarik.
Menurut Tadros, pada tahun 1954, Mesir pernah bikin film yang berjudul “Hassan, Marcus, and Cohen”, film komedi yang mampu merepresentasikan keberadaan orang Islam, Kristen, serta Yahudi di Mesir. Sekitar 54 tahun setelahnya, di tengah-tengan meningkatnya perselisihan sektarian antara Islam dan Kristen di Mesir, muncul film “Hassan dan Markus” (2008).
Lantas, pada tahun 2017 lalu, Tadros menulis di New York Times: “50 tahun dari sekarang, sekuel dari film ini sepertinya hanya akan berjudul ‘Hassan’.”
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 27 Desember 2019 sebagai bagian dari seri laporan Natal 2019. Pada Rabu, 30 Desember 2019, tim pengelola Fanpage Syamor dan Kresbung dari Facebook kemudian mengirim surel kepada kami menjelaskan beberapa poin yang tidak akurat, hingga menimbulkan interpretasi yang menyesatkan. Berdasarkan informasi tersebut dan pengecekan ke beberapa sumber terkait lainnya, artikel ini mengalami sejumlah perubahan.
Dalam artikel versi sebelumnya, kami keliru dalam menyebutkan bahwa Arius adalah seorang Uskup. Arius merupakan Imam dari Aleksandria yang didukung oleh beberapa Uskup. Kami juga mengganti istilah "doktrin baru" menjadi "rumusan iman" sebagaimana ditegaskan dalam Konsili Ekumenis. Lalu kami juga meralat penggunaan istilah "monoteisme" bagi ajaran Arianisme.
Demikian beberapa kesalahan tersebut sudah diperbaiki dan kami meminta maaf kepada pihak-pihak yang dirugikan.
Editor: Eddward S Kennedy