Menuju konten utama

KPK Harus Diperkuat, jika Tidak Investasi Bakal Tertekan!

Tanpa KPK biaya ekonomi semakin tinggi, investasi akan sangat tertekan.

KPK Harus Diperkuat, jika Tidak Investasi Bakal Tertekan!
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan. Pembentukan panitia seleksi pencari pimpinan KPK masa depan yang belum terbentuk hingga wacana lembaga antirasuah hanya fokus pencegahan dan menghilangkan upaya penindakan kembali mencuat.

Kabar tersebut pun sudah sampai ke Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mendengar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas sedang membahas peleburan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman. Lembaga peleburan itu, nantinya hanya fokus pada bidang pencegahan. ICW pun menolak rencana tersebut.

Kurnia menjelaskan keberadaan KPK masih diperlukan dalam pemberantasan korupsi. Alasannya, indeks persepsi korupsi 2023 berada di angka stagnan. Tidak hanya itu, upaya pemberantasan korupsi masih belum membaik.

Lebih lanjut, Kurnia menilai penghapusan penindakan sama saja menghilangkan KPK. Upaya penghapusan penindakan tidak sejalan dengan konsideran pembentukan KPK sebagaimana amanat Undang-Undang 30 tahun 2002. Dia menjelaskan upaya penindakan KPK hadir untuk mendorong penindakan pemberantasan korupsi yang tidak efektif di kepolisian dan kejaksaan.

ICW menilai upaya penindakan korupsi masih belum kunjung membaik. Sebab itu, penghapusan penindakan justru akan melemahkan pemberantasan korupsi. Ia berharap pemerintahan mendatang ikut tidak merealisasikan penghapusan upaya penindakan KPK.

"Jadi keberadaan penindakan KPK penting untuk dipertahankan dan ini seruan tidak hanya bagi pemerintahan Jokowi saat ini maupun pemerintahan mendatang yang akan berganti pada Oktober nanti," kata Kurnia.

Kurnia mengatakan, keberadaan KPK masih diperlukan dalam pemberantasan korupsi. Alasannya, indeks persepsi korupsi 2023 berada di angka stagnan yaitu 34. Angka ini tidak ada perbedaan dengan angka tahun 2022 yang juga di angka yang sama.

Peringkat indeks persepsi korupsi (IPK/ CPI) Indonesia turun dari 110 di tahun 2022 menjadi 115 di tahun 2023. Kurnia menilai, penurunan peringkat adalah sinyal buruk jika Indonesia ingin menuju negara dengan demokrasi yang penuh dan dengan akses keadilan merata.

Dalam catatan CPI sejak 1995, angka CPI Indonesia sempat mengalami angka tertinggi pada 2019 di 40 poin. Namun, poin itu terus menurun dan terakhir di angka 34.

Angka CPI Indonesia 2023 berada di bawah angka rata-rata CPI global di 180 negara yang berada di 43 poin dan Asia Pasifik yang berada di angka 45.

Lima negara dengan angka CPI terendah adalah Somalia (11 poin), Syria, Sudan Selatan dan Venezuela (13 poin) dan Yaman (16 poin). Sementara itu, angka tertinggi berada Denmark (90 poin), Finland (87 poin), New Zealand (85 poin), Norwegia (84 poin) dan Singapura (83 poin).

Sementara itu, pemerintah pun membantah isu KPK hanya fokus pada pencegahan. Namun, Ketua IM57+, M. Praswad, mengakui khawatir pemerintah akan merealisasikannya di masa depan.

Ilustrasi suap

Ilustrasi suap. FOTO/IStockphoto

Dia menilai upaya penghapusan penindakan tidak lepas dari rangkaian kegiatan pelemahan KPK. Terlihat pada saat era kepemimpinan Jokowi berbagai upaya telah dilakukan. Mulai dari revisi UU KPK, pemecatan, kasus pemerasan jaksa, penyidik, hingga pungutan liar di rutan KPK yang melibatkan lebih dari 50 orang dan pemecatan puluhan pegawai.

Praswad berharap dengan adanya kondisi tersebut, pemerintah semakin terang meruntuhkan KPK dari upaya mereka merevisi KPK dengan menempatkan sebagai bagian dari eksekutif. Dia menilai hal itu melanggar undang-undang yang mengesahkan United Nation Convention for Anti Corruption (UNCAC).

Dalam ketentuan UNCAC, pemberantasan anti korupsi tidak boleh berada di cabang pemerintahan. Di dunia internasional, penindakan pemberantasan korupsi tidak pernah optimal ketika lembaga antikorupsi berada di bawah rezim. Praswad menekankan, penghapusan penindakan di KPK sama dengan membunuh upaya pemberantasan korupsi.

"Membunuh KPK pasti sejuta persen KPK akan mati. Sejuta persen. Tidak hanya KPK tapi juga pemberantasan korupsi Indonesia akan mati. Itu saya jamin sejuta persen," kata Praswad.

Praswad menduga penghapusan penindakan akan diakali dengan klaim pencegahan lebih baik. Namun, dia menilai pencegahan tidak bisa optimal tanpa upaya memberikan efek pencegahan. Dia juga pesimistis tim pencegahan KPK tidak akan bekerja optimal.

"Mereka akan membuat seolah-olah mereka mendukung pemberantasan korupsi dengan mencegah, mencegah dan mencegah sementara teman-teman di pencegahan kebingungan, seminar-seminar dan kuliah antikorupsi tidak pernah terbukti efeknya jika tidak ada detterence effect. Hanya kumpul, kita seminar 2-3 jam, diakhiri dengan foto-foto, cium pipi kiri, pipi kanan, pulang ke Jakarta," kata Praswad.

Praswad pun menilai, pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan oleh aparat kepolisian maupun kejaksaan. Sebab itu, KPK yang bisa memberantas hal itu sesuai dengan aturan dalam Undang-Undang KPK yaitu upaya pemberantasan korupsi.

"Betul itu (penindakan) syarat utama pemberantasan korupsi. Kalau tidak ada penindakan, pemberantasan korupsi hanya ilusi," kata Praswad.

Selain itu, Praswad juga menilai penghapusan penindakan di tubuh KPk bisa menghapus niat Indonesia untuk masuk ke OECD. Dia tidak memungkiri keberadaan lembaga antikorupsi independen juga merupakan syarat untuk sebuah negara masuk OECD. Indonesia yang mengejar status keanggotaan OECD harus membuat lembaga antikorupsi yang independen.

"Syarat anggota OECD kita mematuhi ketentuan yang ada di UNCAC wajib memiliki anti corruption agency yang independen, mau diakal-akalin, kita tetap punya KPK tapi cuma untuk pencegahan," kata Praswad.

Tanpa KPK Biaya Ekonomi Semakin Tinggi

Peneliti antikorupsi dari PUKAT UGM, Zaenur Rohman, menilai jika tidak ada penindakan KPK akan menghilangkan efek jera. Para pengusaha yang mengedepankan tata kelola perusahaan yang baik akan kelimpungan dengan menghadapi perilaku suap.

"Selama ini KPK masih dianggap sebagai salah satu instrumen efek jera yang membuat pelaku korupsi itu berpikir dua kali. Nah, khususnya pengusaha yang berkomitmen untuk menerapkan good corporate governments (GCG). Adapun bagi pengusaha hitam ya dengan tidak ada KPK merupakan satu hal positif karena hilangnya risiko untuk penindakan terhadap perilaku suap," kata Zaenur, Rabu.

Zaenur menilai, permasalahan birokrasi red tape mempengaruhi dunia investasi. Nantinya, sebuah keadaan birokrasi dipersulit sehingga harus ada upaya korupsi seperti penyuapan agar pelayanan bisa lebih cepat.

Dia menuturkan, red tape itu dilakukan para penyelenggara negara di bidang perizinan, para kepala daerah, atau pimpinan lembaga atau menteri juga para aparat penegak hukum dan aparat pengawas.

Ilustrasi investasi Reksadana

Ilustrasi investasi Reksadana. Doc. Istimewa

"Nah kalau pengusaha tidak peduli korupsi pasal 2, pasal 3 itu enggak peduli mereka. Mereka sangat sensitif dengan red tape. Nah sedangkan tadi saya katakan bagi pengusaha yang menerapkan GCG red tape ini menjadi high cost economy," kata Zaenur.

Sementara itu, bagi pengusaha yang korup, pengusaha-pengusaha yang tidak mempedulikan GCG tidak berpengaruh. Justru dengan tidak ada KPK, Zaenur melihat menjadi harapan baru bagi pengusaha hitam dengan mudah menyuap para pejabat penegak hukum dan aparat pengawas.

"Tanpa KPK, red tape akan semakin tinggi, high cost economy semakin tinggi, investasi akan sangat tertekan. Investasi akan sangat tertekan karena ongkos investasi itu menjadi semakin tinggi sehingga Indonesia tidak menarik lagi," kata Zaenur.

Di sisi lain, kepastian hukum akan terganggu tanpa penindakan KPK. Minim kepastian hukum akan mengganggu investasi. Ia mengingatkan investor butuh kepastian.

"Bahwa investasi akan aman, investasi akan terlindungi, tetapi dengan semakin banyak judicial corruption, korupsi di bidang peradilan ya tidak ada kepastian. Kalau tidak ada kepastian, investor merasa terancam dan kemudian itu akan berdampak pada angka investasi," kata Zaenur.

Sikap Pemerintah

Tenaga Ahli Madya Deputi V Kantor Staf Presiden, Yusuf Gumilang, menuturkan, pemerintah akan menjalankan penegakan hukum korupsi sesuai aturan yang berlaku. Yusuf pun menjamin pemerintah berkomitmen untuk menegakkan aturan sesuai aturan nasional maupun UNCAC.

Gumilang menekankan pencegahan tidak menghilangkan semangat penindakan korupsi. Dia beralasan korupsi adalah kejahatan terorganisasi, dan kompleks sehingga tidak bisa didekati hanya dengan penindakan saja tanpa pencegahan.

Sebab itu, dia menilai strategi pemberantasan korupsi harus komprehensif, hulu hilir dan melibatkan semua stakeholder termasuk masyarakat untuk pre-emptive. Dia menjamin pencegahan dan penindakan berjalan beriringan.

"Keduanya berjalan secara paralel," kata Gumilang.

Indeks persepsi korupsi Indonesia

Pekerja membersihkan gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (25/4/2024). Berdasarkan Transparency International skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2023 di angka 43 dengan peringkat 115 atau merosot dari tahun sebelumnya di peringkat 110. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.

Gumilang menerangkan, pencegahan korupsi yang dilakukan melalui Stranas PK adalah kebijakan dan strategi yang digunakan untuk memperkuat sistem tata kelola pemerintah sehingga lebih transparan dan akuntabel. Dia mencontohkan seperti digitalisasi perizinan, pengadaan barang jasa, reformasi pelabuhan dan perbaikan tata kelola ekspor impor melalui Sistem Nasional Neraca Komoditas.

"Jika sistemnya tidak segera diperbaiki, maka akan tidak efektif penindakan yang dilakukan. Sehingga penguatan sistem ini juga harus dibarengi dengan penindakan," kata Gumilang.

Sebagai data pembanding, berdasarkan data penindakan di periode 2004-2014 KPK melakukan OTT sebanyak 36 kali, sedangkan di masa pemerintahan Jokowi sejak 2015 hingga tahun terakhir ini KPK sudah melakukan lebih dari 145 OTT dengan 32 di antaranya terjadi di periode 2020-2023. Namun, ia juga meminta penindakan tidak selalu berkaitan dengan KPK, tetapi juga penegak hukum lain.

Gumilang menambahkan, Presiden Jokowi juga sudah mengirimkan Surat kepada DPR sejak Mei 2023 untuk membahas RUU Perampasan Aset. Tentu pemerintah menunggu komitmen dan DIM dari DPR untuk segera membahas hal ini.

"Pemerintah dan Masyarakat luas menunggu, dan berharap UU ini bisa menjadi legacy bersama dari pemerintahan dan DPR saat ini untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi yang extraordinary," kata Gumilang.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin