tirto.id - B.R.A. Koosmariam Djatikusumo menggugat maskapai penerbangan plat merah Garuda Indonesia atas pengalaman tidak menyenangkan yang dialaminya pada 29 Desember 2017. Ia tersiram teh panas yang dibawakan oleh seorang pramugari.
Kecelakaan tersebut membuat dadanya melepuh. Penerbangan dari Jakarta menuju Banyuwangi dilewatinya dengan menahan sakit. Sesampainya di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi, Koosmariam langsung dibawa ke rumah sakit setempat.
David Tobing, yang ditunjuk sebagai kuasa hukum, mengatakan perempuan berusia 69 tahun itu di rumah sakit hanya mendapatkan penanganan awal kecelakaan untuk menetralisir rasa sakit.
Setelah kembali ke Jakarta, Koosmariam memutuskan untuk melakukan operasi bedah agar kulitnya kembali seperti semula. Sayang upaya ini gagal.
"Mohon maaf, itu sampai sensitivitas kulitnya hilang," kata David kepada Tirto, Kamis (12/4/2018).
David mengatakan kalau hingga diwawancara Tirto, kliennya tidak paham kenapa teh panas itu bisa tumpah. Kondisi pesawat ketika itu, katanya, sedang dalam kondisi stabil. Pesawat tidak dalam kondisi turbulensi.
"Enggak ada goncangan. Yang aneh kenapa air panasnya bisa tumpah? Tumpahnya itu kami nilai karena ada kecerobohan dia [pramugari]," ungkapnya.
Koosmariam ketika itu duduk di kursi yang berada di sisi kanan pesawat, dekat jalur keluar masuk penumpang. Sebelum teh panas tumpah, Koosmariam sedang mengobrol dengan teman yang duduk persis di sebelahnya.
Tiba-tiba pramugari datang dari arah belakang menyodorkan dua gelas teh panas, yang kemudian tumpah di hadapannya.
Ganti Rugi Garuda Indonesia
Gugatan Koosmariam terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor 215/PDT.G/2018/PN.JKT.PST.
Ada beberapa alasan kenapa gugatan baru dilayangkan pada 11 April kemarin, atau selang empat bulan setelah kejadian. Katanya, pihak Garuda Indonesia tidak serius memperhatikan kliennya, terutama dalam 1,5 bulan terakhir.
Sebelum itu, Garuda Indonesia memang bertanggung jawab dengan meminta maaf dan membiayai sebagian pengobatan.
"Tapi, tidak pernah menemani berobat, satu setengah bulan ini dibiarkan sendiri. Dibiarkan si Ibu berobat sendiri. Dia kan juga enggak mau seperti kaya pengemis, dia yang hubungi Garuda terus," ujarnya.
"Selain itu, dia juga sudah merasa frustrasi karena pengobatan tidak bisa mengembalikan kondisinya seperti semula," tambah Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) ini. Kompensasi dari Garuda Indonesia juga dirasa belum maksimal.
Koosmariam kemudian menghubungi David setelah mengetahui mantan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) ini menggugat Garuda Indonesia karena tidak diberi kompensasi berupa makanan ringan atas keterlambatan keberangkatan penerbangan (flight delayed) selama 70 menit. David menggugat Garuda pekan lalu atas apa yang dialaminya pada 27 Maret 2018.
"Kan saya tidak boleh menawarkan diri. Itu kode etik advokat. Ibu itu yang menghubungi saya. Mungkin karena dia melihat saya menggugat Garuda Indonesia waktu minggu lalu," terangnya.
Dalam gugatannya, Koosmariam meminta ganti rugi materiil sebesar Rp1,25 miliar dan ganti rugi imateriil Rp 10 miliar.
David mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Perhubungan No.77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara. Luka yang dialami kliennya dikategorikan sebagai cacat tetap.
Pasal tersebut berbunyi: "Cacat tetap adalah kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata, termasuk dalam pengertian cacat tetap adalah cacat mental."
Sejauh ini, jadwal sidang pertama belum ditetapkan.
Respons Garuda Indonesia
Direktur Utama Garuda Indonesia, Pahala N. Mansury, mengatakan bahwa pihaknya berusaha berhati-hati dalam menyikapi gugatan itu.
"Kami masih pelajari karena ini terkait kasus hukum," ujar Pahala saat ditemui di Bandara Soekarno-Hatta, Kamis (12/4/2018).
Senior Manager Public Relation Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan, mengatakan perusahaan yang mulai beroperasi pada 28 Desember 1949 ini sedang mengumpulkan bukti-bukti terlebih dulu sebelum memberikan pernyataan lengkap.
Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno, mengatakan bahwa suatu maskapai penerbangan berkewajiban untuk memberikan kompensasi atas terjadinya kecelakaan, merujuk pada Permen Perhubungan No.77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
"Jadi, kalau terjadi sesuatu yang mengakibatkan konsumen cedera ya konsumen terjamin berhak mendapatkan kompensasi. Kompensasinya itu bisa dinegosiasikan atau dibicarakan lebih lanjut," ujar Agus.
Mengenai jangka waktu pemberian kompensasi, Agus mengatakan memang tidak diatur dalam Permen tersebut. Kompensasi dapat diberikan berdasarkan negosiasi antar dua belah pihak dan diukur dari seberapa parah dampak yang dialami oleh korban.
Agus menyebutkan bahwa berdasarkan data YLKI pada 2017, pengaduan perihal pelayanan penerbangan memang banyak. Ada 32 aduan terkait pelayanan transportasi, atau setara lima persen dari total pengaduan yang masuk. Dari aduan itu, enam di antaranya merupakan pelayanan penerbangan.
"Kalau kejadian kecelakaan seperti ini belum banyak yang masuk YLKI. Selama ini aduan yang masuk itu terkait dengan pelayanan yang kurang baik, seperti keterlambatan," jelasnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Rio Apinino & Maulida Sri Handayani