Menuju konten utama

Kontroversi Surat Edaran ke Caleg: Kaderisasi Lahirkan Oligarki PKS

DPP PKS menginstruksikan kepada kadernya menandatangani surat pengunduran diri sebagai syarat maju jadi calon anggota legislatif (caleg).

Kontroversi Surat Edaran ke Caleg: Kaderisasi Lahirkan Oligarki PKS
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bersama Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman dan tokoh serta ulama PKS menghadiri acara puncak Milad ke-20 PKS di Sentul Internasional Convention Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (13/5/2018). ANTARA FOTO/Arif firmansyah

tirto.id - Kasus surat edaran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengenai permintaan Bakal Calon Anggota DPR (BCAD) PKS agar mengundurkan diri menuai kontroversi. PKS dianggap mencerminkan sebagai partai yang oligarki.

Surat itu, menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, membuktikan keputusan di partai yang cikal bakalnya adalah gerakan dakwah kampus era 1980an ini hanya dibuat oleh segelintir elite dan bersifat memaksa. Buktinya: dalam surat itu kader cuma punya dua pilihan: menolak atau dibatalkan keikutsertaannya menjadi bakal caleg untuk Pemilu tahun depan.

"[Ini bentuk nyata] oligarki partai. Bahwa partai menjelma sebagai kekuatan yang tak bisa diganggu kalau ada masalah dengan kadernya," kata Adi kepada Tirto, Sabtu (14/7/2018).

Kewajiban menandatangani surat pengunduran diri bertanggal kosong diketahui setelah Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah—yang sudah dipecat menurut fungsionaris partai—mengunggah foto dokumen itu di akun Twitternya, akhir Juni 2018.

Surat edaran bernomor 02/D/EDR/DPP-PKS/2018 itu menyatakan, Bakal Calon Anggota DPR (BCAD) PKS harus memastikan tiga hal: Pertama, memastikan surat pernyataan BCAD sebelumnya tersampaikan di setiap level struktur. Kedua, bersedia mengisi surat pengunduran diri yang terlampir. Ketiga, bersedia mengisi dan menandatangani surat pengunduran diri bertanggal kosong yang terlampir. Surat itu diterbitkan 29 Juni 2018 dan ditandatangani Presiden PKS Sohibul Iman.

Menurut Adi, latar belakang surat itu bisa terjadi karena faktor PKS trauma mengalami konflik internal. Mereka tak ingin perseteruan seperti dengan Fahri Hamzah terulang lagi. Kubu partai bersikukuh Fahri bukan lagi anggota, sementara Fahri berpendapat ia masih menjadi kader PKS.

"Jadi PKS sepertinya trauma bahwa kader yang dianggap membelot tak bisa diberhentikan. Jadi wajar dalam proses pencalegan PKS begitu ketat. Mereka tidak mau pelihara 'anak macan' menang sebagai caleg, tapi kalau ada masalah tidak mau diatur," kata Adi.

Dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga menduga PKS ingin menunjukkan bahwa mereka punya kekuatan untuk mengatur dan menentukan masa depan kadernya.

Adi berpendapat kekuatan yang dipamerkan PKS bertujuan untuk mengantisipasi agar kader tak hanya menjadikan partai itu sebagai batu loncatan menuju lembaga legislatif. Kader dipaksa tunduk dan patuh terhadap kebijakan partai.

Sementara itu, Fahri Hamzah bilang surat itu adalah bentuk "puncak kebekuan pikiran." Ia berpendapat partai tak bisa mengintervensi wakil rakyat. Fahri dengan kata lain ingin partai lebih terbuka dengan kritik dari anggotanya.

"Pemimpin [PKS] ini tidak terbiasa hidup di alam demokrasi. Dia hidup dalam dirinya sendiri, menganggap keputusan partai itu setinggi-tinggi keputusan bahkan bisa mengalahkan logika dan mekanisme demokrasi," tutur Fahri di Kompleks Parlemen, Jumat (13/7/2018).

Namun, seperti yang Adi bilang, dalam konteks Indonesia "berharap parpol demokratis seperti halnya kita berharap bunga tumbuh mekar di gurun pasir yang tandus."

Pendapat Adi sama seperti Ahmad Jilul Qur'ani Farid. Dalam opininya kepada Tirto, Farid mengatakan oligarki di PKS lahir karena sistem kaderisasi mereka sendiri yang menempatkan tingkat senioritas berdasarkan durasi kaderisasi.

"Jenjang kaderisasi—dimulai dari jenjang pemula, madya, dewasa, kemudian ahli—akhirnya melahirkan praktik oligarki dalam tubuh PKS. Mustahil seorang kader di level lebih bawah mampu menggeser kader lebih tinggi. Bahkan semakin tinggi jenjang kaderisasi seorang anggota, semakin luas pula kekuasaannya: ia bisa mengatur kader di bawahnya."

Indikasinya mudah dilihat, kata Farid: tidak ada nama baru dalam "pemain inti" PKS di DPR sejak pemilu 2004.

"Dengan model pengkaderan hierarkis ala PKS, kader-kader muda yang sama sekali belum sampai ke jenjang tinggi hanya akan menjadi mesin penarik suara bagi caleg-caleg senior yang sebaya orangtua mereka. Namun, bahkan dalam daftar anak muda yang dimunculkan, kita bisa menjumpai nama-nama putra dan putri kader senior PKS. Berbeda dari partai lain yang melakukan rekrutmen terbuka, cukup sulit bagi anak muda tanpa akses ke PKS untuk mengajukan diri secara terbuka menjadi caleg," tambahnya.

Respons PKS

Menanggapi polemik soal surat PKS kepada kadernya, Ketua Departemen Politik DPP PKS Pipin Sopian menyebut partainya tetap solid menjelang Pemilu 2019. Ia tidak menyebut mengenai oligarki, tapi surat itu memang dibuat agar PKS tahu siapa kader yang loyal.

"PKS kami ini partai kader. Ini ketat. Kami selalu meminta kesediaan kader yang mau jadi caleg, harus totalitas dalam memperjuangkan aspirasi rakyat," kata Pipin di kawasan Cikini, Sabtu (14/7/2018).

Pipin mengklaim tak ada kader dengan jumlah besar yang membatalkan diri menjadi bakal caleg dari DPP PKS. Jumlahnya hanya mencapai lima persen dari total pendaftar. Ia mengatakan polemik surat ini sebatas "riak kecil."

Baca juga artikel terkait PKS atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino