tirto.id - Raja Bhumibol Adulyadej baru saja wafat dan meninggalkan duka mendalam bagi rakyatnya. Thailand telah kehilangan simbol yang paling dihormati sekaligus disegani di negaranya. Di sisi lain, Thailand juga telah kehilangan seseorang yang selalu berperan sebagai penyeimbang dalam segala turbulensi politik yang terjadi di Negara Gajah Putih ini.
Posisi Raja Bhumibol Adulyadej yang sangat vital tidaklah hadir dari ruang hampa. Ia bukanlah raja yang lahir dengan kekuasaan absolut karena Thailand telah menggunakan sistem monarki konstitusional sejak 1932. Ia sendiri baru naik takhta pada 1950. Hal ini menjadikannya sebagai raja yang lahir tanpa membawa kekuasaan apapun dan harus berusaha meraihnya sendiri.
Kondisi tanpa kekuasaan membuat Raja Bhumibol dan keluarga kerajaan berusaha untuk mengonsolidasikan sumber daya politik mereka. Cara yang ditempuh oleh raja adalah dengan menjalin aliansi bersama militer. Namun, Raja Bhumibol tidak hanya bersekutu dengan militer saja.
Militer Thailand memang memiliki senjata dan pengaruh yang kuat, tetapi secara de facto, kekuatan sosial-politik lain yang tak kalah berpengaruh juga muncul: para elite dan kaum kaya Thailand. Mereka akhirnya turut merapat ke dalam aliansi yang dibentuk oleh raja dan militer sehingga melahirkan oligarki.
Membangun Karang Oligarki
Oligarki merupakan jejaring aktor-aktor politik di tingkat elite yang berkolaborasi untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Jeffrey A.Winters, profesor ilmu politik dari Northwestern University, mengemukakan bahwa oligarki, dengan meminjam konteks dari Amerika Serikat, terdiri dari “sekelompok kecil masyarakat yang menduduki institusi-institusi besar di masyarakat dan memiliki status sosial tinggi sekaligus keistimewaan akses terhadap pendidikan, keuangan, dan standar hidup yang baik”. Singkatnya, oligarki cenderung muncul dari kalangan menengah ke atas yang berpendidikan.
Jejaring oligarki cenderung eksklusif dan tertutup. Mereka secara sadar memisahkan dirinya dari masyarakat untuk alasan-alasan tertentu. Para oligarki terbiasa khawatir dengan elemen masyakarat yang lain karena dianggap sewaktu-waktu dapat merebut berbagai privilese yang mereka kuasai. Oleh karena itu, oligarki selalu membutuhkan beking.
Oligarki kemudian menciptakan perkawinan” antara institusi negara, militer, dan para elite. “Perkawinan” ini tercipta karena tujuan utama oligarki, menurut Jeffrey Winters, adalah mengamankan akses terhadap sumber-sumber kekuasaan, khususnya uang. Untuk kebutuhan tersebut, para elite membutuhkan jasa militer sebagai pihak bersenjata untuk mengamankan mereka, serta negara untuk mendapatkan perlindungan secara legal/hukum. Di sisi lain, para elite juga harus “membayar” militer dan aparat-aparat negara sebagai imbal baliknya. “Bayaran” dalam konteks ini tentu saja tidak harus berupa uang.
Thailand sendiri merupakan negara dengan belitan oligarki paling kuat di kawasan Asia. Kesimpulan ini dikemukakan oleh TF Rhoden, akademisi dari Northern Illinois University, lewat pengamatannya atas MPI (Material Power Index—sistem pengukuran kapasitas material dari penduduk suatu negara) yang dimiliki Thailand.
Dalam tulisannya di laman New Mandala, Rhoden mengemukakan bahwa rerata MPI dari 50 orang terkaya Thailand jauh melebihi MPI warga terkaya di Singapura, Jepang, Cina, Indonesia, dan negara-negara lainnya. Bahkan, jika para anggota keluarga kekayaan dikeluarkan dari daftar itu pun, rerata MPI Thailand masih kokoh di posisi teratas.
Oligarki Thailand kian menguat setelah negara ini mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat lewat konsep “sufficiency economy”--kebijakan memacu ekonomi tanpa meninggalkan tanggung jawab sosial-- yang diperkenalkan oleh Raja Bhumibol. Lesatan ekonomi Thailand turut memacu peningkatan kekuatan di dalam oligarki akibat asupan uang yang besar. Di sisi lain, mulai muncul elite-elite baru yang turut mengancam keberadaan elite-elite lama.
Elite Baru vs Elite Lama
Para elite yang muncul pascapeningkatan ekonomi Thailand terbagai menjadi dua jenis: mereka yang dekat dengan kerajaan (kaum royalis) dan para elite yang muncul sebagai kelas menengah baru. Keduanya segera terlibat ke dalam persaingan politik dan ekonomi yang keras. Kaum royalis cenderung untuk mempertahankan status quo, sedangkan para elite baru ingin sistem politik yang lebih demokratis dan inklusif. Namun, keduanya masih tunduk di bawah kuasa Raja Bhumibol.
Kolomnis David Marx dari Russia Today mengungkapkan bahwa kedua kelompok elite ini kian keras berbenturan setelah Thailand memulihkan diri dari Krisis Ekonomi Asia 1998. Kegagalan pemerintah Thailand dalam mengantisipasi akibat buruk krisis ini (catatan : Krisis Ekonomi Asia 1998 dipicu oleh jatuhnya kurs Bath atas Dollar AS) memberikan jalan bagi tokoh unggulan para elite baru untuk menapaki tangga kekuasaan : Thaksin Shinawatra.
David Marx membagi elite Thailand ke dalam dua jenis : “orang-orang Raja” dan para “orang kaya baru”. “Orang-orang raja” adalah sekelompok kecil elite yang dekat dengan Raja Bhumibol dan militer. Mereka terdiri dari para tuan tanah, pejabat-pejabat militer dan birokrat, serta sebagian besar pemilik industi, bank, serta perusahaan-perusahaan besar di Thailand.
Entitas “orang-orang raja” ini mewujud dalam kelompok yang disebut sebagai “Kaus Kuning”. Mereka adalah aktor utama yang gencar menyerang pemerintahan hasil pemilu khususnya rezim Thaksin Shinawatra dan adiknya, Yingluck Shinawatra. Jangan dibayangkan bahwa mereka adalah kelompok yang murni berakar dari masyarakat kelas bawah Thailand. Sebagai contohnya, sang pemimpin mereka, Surit Thaugsuban, adalah seorang elite yang sempat dijerat kasus korupsi pendistribusian tanah negara serta aktivitas bisnis dari perusahaan media holdings yang dimilikinya.
Di ujung kutub lain, terdapat para “orang kaya baru”. Mereka adalah elite yang mampu mengubah peruntungannya sekaligus melakukan mobilitas sosial dari kelas bawah menjadi kelas menengah baru dengan memanfaatkan boom ekonomi Thailand. Mereka mewujud dalam kekuatan yang dipandang sebagai “Kaus Merah” yang membela habis-habisan setiap rezim hasil pemilu sejak awal tahun 2000an.
Tokoh utama dari “orang kaya baru” ini adalah Thaksin Shinawatra, mantan perdana menteri tahun 2001 yang dijatuhkan lewat kudeta pada 2006 lalu. Saat ini ia tengah menjalani pengasingan di Timur Tengah akibat dituduh melakukan korupsi oleh rezim militer.
Thaksin adalah perwakilan elite baru yang sukses meniti kariernya dari bawah. Kesuksesannya sebagai taipan telekomunikasi dan raja media serta serangkaian programnya yang memprioritaskan pembangunan di daerah-daerah mengantarkannya ke tampuk perdana menteri pada 2001.
Kedua kelompok ini sebenarnya sama-sama berakar dari oligarki. Mereka cenderung elitis, secara riil beranggotakan hanya sedikit, dan eksklusif. Hal ini menyebabkan mereka membutuhkan sesuatu untuk memobilisasi mayoritas rakyat Thailand khususnya para kelas bawahnya.
Kalangan”orang-orang Raja” tentu saja menggunakan kharisma Raja Bhumibol Adulyadej supaya tetap memiliki kontrol atas massa. Popularitas Raja Bhumibol sendiri masih sangat kuat di mata masyarakat Thailand, khususnya akibat citranya sebagai pelindung rakyat dari pertumpahan darah dalam berbagai kudeta militer serta kebiasaannya blusukan saat baru mulai naik takhta.
Di sisi lain, pengaruh Raja Bhumibol Adulyadej sendiri cenderung memudar, khususnya memasuki era 2000an. Akibat kesehatannya yang menurun, Raja Bhumibol mulai mengurangi aktivitasnya di hadapan publik. Ia hampir tidak pernah lagi melakukan blusukan dan mengawasi langsung pembangunan, sesuatu yang dulu menjadi kunci lesatan popularitas sang raja.
Narisara Viwatchara--seorang eksil politik yang divonis melakukan penghinaan terhadap raja pada 2009 dan kini tinggal di AS-- berpendapat bahwa Raja Bhumibol di era 2000an adalah raja yang berjuang menghadapi berbagai penyakit, dipengaruhi oleh para elite, serta sigap mendukung berbagai kudeta militer terhadap pemerintahan sipil. Hal-hal ini selanjutnya mulai membangun jarak antara sang raja dan rakyatnya sekaligus menggerus kredibilitas raja sebagai aktor politik yang dianggap “netral dan berada di atas semuanya”.
Ketidakmampuan raja untuk bepergian dan berinteraksi dengan rakyatnya membuat para elite mengubah pendekatan mereka untuk mempertahankan popularitas raja. Mereka mulai gencar menggunakan citra raja ke dalam berbagai iklan dan publikasi. Viwatchara dalam New Mandala mencatat, junta militer Thailand mengalokasikan dana hingga 18 miliar Bath—sekitar 513 juta dolar AS—untuk iklan sang raja, khususnya di berbagai stasiun televisi dan radio.
Di sisi lain, kubu Thaksin Shinawatra justru menggunakan cara-cara populis yang sempat dilakukan oleh Raja. Ia sigap mengisi celah yang ditinggalkan oleh sang raja. Selama menjabat sebagai perdana menteri, Thaksin menjalankan program-program progresif seperti layanan kesehatan murah bagi petani dan buruh, program kredit bagi pengusaha kecil, hingga land reform. Program terakhir inilah yang menyulut kemarahan “orang-orang Raja” khususnya para tuan tanah. Di satu sisi, kepentingan mereka dalam mengakumulasikan kekayaan terancam oleh distribusi yang dilakukan Thaksin. Di sisi lain, mereka terancam karena Thaksin telah menyaingi pengaruh raja di hadapan rakyat.
Hal ini membuat “orang-orang Raja” terlibat aktif dalam penggulingan Thaksin dan para penerusnya. Mereka turun ke jalan untuk berdemonstrasi sambil membawa foto sang raja sebagai simbol perlawanan. Mereka juga menggunakan atribut-atribut berwarna kuning yang identik sebagai warna sang raja. Bak gayung bersambut, Raja Bhumibol pun secara terbuka berpidato untuk mengkritisi Thaksin dan kasus korupsi yang membelitnya. Raja secara simbolis telah menyiratkan dukungannya kepada oligarki dan “Kaus Kuning”.
Tameng “Lese Majeste”
“Lese Majeste” (secara harafiah berarti pencederaan terhadap kerajaan) adalah hukum yang diterapkan bagi siapa saja yang menghina raja beserta keluarganya. Hukum ini diatur dalam Article 112 yang berbunyi “siapapun yang menghina atau mengancam raja, ratu, keturunan atau kerabatnya, akan dikenai penjara hingga 15 tahun.”
Namun, dalam praktiknya, hukum ini penggunaannya dimanfaatkan oleh militer untuk membungkam suara-suara kritis dalam masyarakat. Menurut Human Rights Watch, antara Januari 2006 hingga Mei 2011, sekitar 400 kasus “lese majeste” dibawa ke pengadilan. “Lese majeste” adalah hukum yang sangat ditakuti di Thailand karena para korbannya hampir tidak bisa membela diri. “Lese majeste” juga bisa memicu sanksi sosial dari masyarakat selain hukuman secara legal. Selain itu, “lese majeste” juga berlaku untuk media sosial, bahkan juga dikenakan bagi warga Thailand yang tinggal di luar negeri.
Militer—dengan dalih menjalankan tugasnya melindungi raja—menjadi pihak yang sangat agresif menjalankan hukuman ini. Mereka tidak hanya menggunakannya untuk menghukum para penghina raja, tapi juga untuk mengatasi suara-suara kritis terhadap militer dan pemerintah.
TF Rhoden menyatakan, “lese majeste” juga kerap digunakan untuk membungkam suara-suara yang menuntut transparansi pemerintahan atau pengelolaan aset-aset publik. Lembaga-lembaga seperti Crown Property Bureau (biro yang mengelola aset-aset kerajaan) adalah salah satu contohnya. Lembaga ini merupakan sumber keuangan utama dari monarki dan juga sangat berpengaruh dalam menyangga oligarki Thailand. Di sisi lain, lembaga ini nyaris tidak bisa diawasi sepenuhnya karena dilindungi oleh “lese majeste” mengingat CPB ada di bawah kerajaan.
Kerahasiaan pengelolaan CPB dilindungi dengan sangat baik oleh huku lese-majeste. Tak heran maka hukum ini dipakai oleh para elite dan militer untuk menutupi jaringan mereka dengan dalih melindungi martabat raja.
Oligarki di Thailand menganggap bahwa peran raja sebagai penjaga moral, pandangan yang menjadi modal raja berperan secara politik, sekaligus penyangga utama oligarki Thailand. Raja harus dipandang sebagai pihak yang tidak berkepentingan, suci, dan apolitis, sehingga “leste majeste” ditegakkan secara ketat sebagai kontribusi dari pihak militer untuk menegakkan oligarki.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti