tirto.id - Nike, salah satu jenama apparel terbesar di dunia, kembali mengeluarkan produk kontroversial: sepatu Air Max 1 Quick Strike Fourth edisi spesial .
Sepatu tersebut menuai kontroversi karena di bagian belakangnya terdapat motif gambar bendera Amerika Serikat pertama yang dalam sejarahnya dijahit oleh seseorang bernama Betsy Ross. Bendera dengan 13 bintang yang merepresentasikan 13 koloni itu dianggap menjadi simbol era perbudakan dan rasialisme di AS pada masa lampau.
Mulanya Air Max 1 Quick Strike Fourth dirilis untuk merayakan hari Kemerdekaan AS yang diperingati tiap tanggal 4 Juli. Namun, karena motif bendera Betsy Ross tersebut, Nike justru kebanjiran hujatan dari berbagai kalangan. Alhasil, Nike pun harus menarik kembali produknya tersebut dan, tentunya, berimbas pula pada keterlanjutan produksi pabrik. Salah satu kecaman datang dari Gubernur Arizona, Doug Ducey.
"Kata-kata tidak bisa mengekspresikan rasa kecewa saya terhadap Nike, saya merasa malu. Alih-alih merayakan hari Kemerdekaan, simbol itu justru sarat akan hal sensitif terkait sejarah dan politik," cuit Ducey melalui akun Twitter pribadinya.
Tak hanya mengecam, Ducey juga menarik kembali insentif sebesar 1 juta dolar yang sebelumnya akan diberikan kepada Nike Inc untuk membangun pabrik di negara bagian itu.
Kecaman lain juga datang dari senator Texas, Ted Cruz. Melalui akun Twitter pribadinya pula, Cruz yang sempat menempati posisi kedua pencalonan presiden AS 2016 dari Partai Republik itu menulis, "Nike hanya ingin menjual sepatu untuk orang-orang yang benci terhadap bendera Amerika Serikat.”
Berita mengenai sepatu Air Max 1 Quick Strike Fourth yang mengandung unsur ofensif ini berawal dari laporan mantan atlet American Football, Colin Kaepernick. Menariknya, Kaepernick merupakan bintang NFL yang telah disponsori Nike sejak tahun 2011 dan pada 2018 lalu dijadikan duta kampanye 30 tahun ‘Just Do It’ yang memiliki jargon kampanye: "Believe in something. Even if it means sacrificing everything".
Kontroversi yang ditimbulkan Nike melalui produknya tentu tidak baru sekali ini saja. Januari 2019 lalu, sebagaimana dilansir Huffington Post, sebuah petisi di Change.org yang dibuat seseorang bernama Saiqa Noreen dari Inggris mendesak Nike untuk menarik produknya Nike Air Max 270 karena memiliki desain mirip dengan tulisan ‘Allah’ di bagian sol sepatunya. Hal tersebut dianggap telah menistakan umat muslim di seluruh dunia.
“Kurang ajar dan mengerikan karena Nike untuk menaruh nama Tuhan di sol sepatu. Pastinya [nama Tuhan tersebut] akan diinjak-injak, ditendang, terkena lumpur, bahkan kotoran. Ini adalah sebuah penghinaan dan serangan masif terhadap Muslim dan pelecehan terhadap [agama] Islam,” tulis Noreen dalam petisi yang ditargetkan mencapai 25 ribu tandatangan tersebut.
DilansirBloomberg, Nike menyanggah tuduhan pelecehan terhadap Islam dan menyebut bahwa logo yang dianggap mirip dengan tulisan ‘Allah’ tersebut adalah ciri khas logo produknya, Air Max. “Segala kesamaan makna atau representasi adalah ketidaksengajaan. Nike menghormati semua agama dan turut serta dalam kepentingan alam.”
Kasus ini amat mirip dengan apa yang terjadi pada tahun 1997, kala desain sepatu atlet juga menampilkan logo yang mirip dengan tulisan ‘Allah’ dalam bahasa Arab. Nike juga menyampaikan permohonan maaf dan menyatakan ada kesalahpahaman, bahwa makna dari logo tersebut adalah api membara. Protes pada waktu itu disampaikan oleh Dewan Hubungan Amerika-Islam.
Kontroversi Bikin Untung?
Sepatu Air Max 1 Quick Strike Fourth sedianya dibenderol dengan harga 120 dollar di situs StockX. Jika dikonversi ke dalam mata uang Rupiah, harga ritelnya mencapai Rp1,7 juta. Namun, pada Selasa pagi, wabilkhusus sejak isu Betsy Ross mencuat, harga sepasang sepatu itu sudah menembus angka 2.500 dollar AS per pasang atau lebih dari Rp35 juta. Melonjaknya harga tersebut dikarenakan sepatu tadi tiba-tiba menjadi produk langka yang sulit ditemukan di tempat lain.
Nike memang jenama yang lekat dengan kontroversi, namun hal tersebut tidak lantas membuat mereka merugi. Justru sebaliknya, kontroversi menjadi sarana pemasaran ampun yang dapat melambungkan harga produk mereka di pasaran. Bukan sebuah kebetulan jika Nike gemar menjadikan atlet-atlet pemberontak sebagai aset.
Kaepernick, misalnya, yang menolak menyanyikan The Star-Spangled Banner di salah satu laga NFL sebagai bentuk protes terkait penembakan warga kulit hitam oleh polisi kulit putih. Sekalipun aksinya tersebut mengandung kecaman--Donald Trump bahkan menyerukan agar badan NFL segera bersikap keras terhadap Kaepernick--, Nike tetap bersikukuh untuk menjadikannya duta 30 tahun ‘Just Do It’.
Benjamin Allbright, mantan pemain NFL, menilai mereka yang mengecam Nike justru terlihat konyol. Baginya, perusahaan tersebut tentu sudah melakukan perencanaan matang, termasuk untung ruginya, untuk menjadikan Kaerpenick sebagai duta kampanye. Melalui akun Twitter pribadinya, Allbright menulis:
“Anda membakar perlengkapan NIKE tapi tidak merugikan NIKE sama sekali, dan justru memberikan mereka iklan gratis. Mereka akan menjual barang lebih banyak karena kampanye itu. Anda pikir sebuah perusahaan multi miliar dolar tidak mempelajari untuk rugi dari iklan itu?”
Promosi gratis, itulah yang menjadi alasan kuat Nike mengapa mereka gemar menyelipkan hal-hal kontroversial di beberapa momen tertentu. Contoh lain, misalnya, bagaimana Nike tidak memecat Eric Cantona--yang saat itu mereka sponsori--sekalipun ia telah dihukum karena melakukan tendangan kungfu terhadap Matthew Simmons, seorang penggemar Crystal Palace, pada 1995 silam.
Betul bahwa Nike menyadari sikap keliru Cantona, sebagaimana yang dikatakan Simon Taylor, kepala pemasaran NIKE pada saat itu, dilansir dari The Independent.
“Kami menyesalkan segala tindakan kekerasan dalam olahraga. Eric tahu bahwa apa yang ia lakukan salah dan kami tidak akan membenarkannya dengan cara apa pun,” ujar Taylor.
Namun, alih-alih membersihkan citranya, Nike justru berhasil memetik keuntungan dari sikap liar Cantona tersebut. Sebab, sekalipun ia memang dikenal sebagai pemain bermasalah, tapi Nike juga paham betapa Cantona memiliki karakter langka yang bisa menjadi aset mewah. Selain itu, ia juga benar-benar contoh yang bagus untuk atlet profesional lainnya: tidak pernah datang terlambat saat latihan, menghabiskan waktu lebih lama daripada pemain lainnya untuk mengasah kemampuannya, juga sering kali melayani para penggemarnya hingga melebihi batasan.
Ada wawancara menarik yang dilakukan American Marketing Association (AMA) di New York dengan para pakar marketing terkait strategi pemasaran Nike yang memilih Kaepernick sebagai duta ‘Just Do It’. Rata-rata dari mereka menilai bahwa terlepas “resiko besar” yang ditempuh Nike, hal tersebut tentunya juga dilandasi logika pemasaran yang kokoh demi “mengambil keuntungan”.
Matthew Quint, Direktur dari Center on Global Brand Leadership di Columbia Business School, salah satu sosok yang diwawancarai, mengatakan: “Pertama dan terutama, strategi tersebut telah dibuat dengan pengetahuan sebelumnya bahwa itu akan segera menyedot perhatian--hal terpenting yang dicari setiap perusahaan.”
Apakah dengan demikian pemilihan Kaepernick berkorelasi positif dengan penjualan produk Nike? Menurut Lisa Merriam, President of Merriam Associates Branding and Content Strategy, sosok lainnya yang juga diwawancarai AMA, hal tersebut tidak terlalu memiliki pengaruh yang signifikan. Dengan meminjam riset dari YouGov, Merriam menyebut bahwa Kaepernick “hanya” populer di kalangan pengguna Nike (46%) dibandingkan di masyarakat umum (34%).
Lantas, apakah itu artinya Nike memang lebih fokus untuk menyampaikan pesan sosial mereka daripada sekadar mencari keuntungan?
Bagi Karen McFarlane, pendiri Kaye Media Partners Strategic Marketing, langkah pemasaran Nike memang dilandasi oleh prinsip perusahaan. Selama ini, Nike acap dikenal menciptakan produk dengan pesan inspiratif, maka pemilihan Kaepernick adalah bentuk lain komitmen mereka untuk mendorong keanekaragaman dan kesetaraan, terlebih konteks sosial politik AS saat ini begitu terpolarisasi.
Berbicara soal pesan kesetaraan Nike yang adiluhung tersebut, ada sebuah riset ciamik berjudul The Nike Controversy tentang eksploitasi buruh murah di pabrik-pabrik mereka di Cina dan Asia Tenggara. Pertanyaannya: Kira-kira kapan, ya, Nike akan membuat iklan soal itu?
Editor: Nuran Wibisono