Menuju konten utama

Konflik Lahan Adat Besipae: Kekerasan Aparat yang Terus Berulang

Kekerasan berulang terus terjadi oleh aparat terhadap warga korban konflik lahan adat Pubabu-Besipae, NTT.

Konflik Lahan Adat Besipae: Kekerasan Aparat yang Terus Berulang
Ilustrasi HL Indepth Kekerasan Aparat. tirto.id/Nadya.

tirto.id - Konflik lahan masyarakat adat Pubabu-Besipae, NTT terus berlanjut dan kian memanas. Terakhir, perwakilan masyarakat adat Pubabu, Nikodemus Manao melaporkan aduan pengeroyokan lima warga Pubabu oleh aparat pemerintahan.

Laporan polisi bernomor LP/B/418/X/RES.1.24/2020/SPKT tertanggal 15 Oktober 2020 di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Nusa Tenggara Timur. Peristiwa itu terjadi sehari sebelumnya.

Peristiwa ini berawal dari sekitar pukul 11.00, sekira 200 orang gabungan dari Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur, personel TNI, Polri, dan Satuan Polisi Pamong Praja menyambangi daerah Pubabu untuk penanaman lamtoro dan kelor. Namun, warga menolak rombongan ini lantaran konflik tanah masyarakat adat itu belum rampung.

Bahkan rekomendasi Komnas HAM yang diterbitkan September lalu, perihal pengembalian lahan pertanian masyarakat yang dipinjam oleh Dinas Peternakan setempat, serta mengevaluasi Unit Pelaksana Teknis Daerah, belum direalisasikan. Status tanah milik rakyat pun belum jelas.

“Masyarakat menolak, tapi mereka [rombongan] paksa untuk kasih turun air dari mobil,” kata Niko ketika dihubungi Tirto, Jumat (16/10/2020).

Demaris Tefa (48) sedang memegang selang, ia termasuk penolak kedatangan. Sontak ada pihak dari Dinas Peternakan menarik selang tersebut. Padahal tidak ada provokasi siang itu. “Kemudian banting ibu ke tanah,” sambung dia. Demaris juga sempat dicekik dan terdapat luka di lehernya.

Niko menegaskan terduga yang melakukan kekerasan terhadap warga bukan Satpol PP seperti yang diberitakan. Sementara Novi Tamonob (15), sempat merekam peristiwa itu. Ia juga jadi sasaran, perutnya ditendang.

Berdasar keterangan dari Ketua Tim Hukum Masyarakat Adat Pubabu-Besipae, Akhmad Bumi, salah satu korban penganiayaan, Debora Nomleni (19) tangannya diputar sampai keseleo. Garsi Tanu (10) ditarik-tarik; dan Marni Taseseb (28) didorong sampai jatuh.

Usai kejadian penganiayaan ini, masyarakat kembali ke ‘terpal’ atau rumah pengungsian di bawah pohon lantaran rumah mereka digusur pemerintah. Penggusuran terhadap 29 kepala keluarga ini dimulai sejak awal Agustus 2020. Sampai hari ini, Pemprov NTT belum menjelaskan ihwal penerbitan Sertifikat Hak Pakai berikut kesalahan data fisik dan data yuridis dalam sertifikat itu.

Empat belas jam setelah peristiwa penganiayaan tersebut atau pukul 03.00 dini hari, Niko dan tim kuasa hukum melaporkan peristiwa itu ke polisi. Tim Hukum mengecam tindakan kekerasan tersebut, serta mendesak DPRD Nusa Tenggara Timur untuk meminta penjelasan resmi Pemprov Nusa Tenggara Timur atas tanah masyarakat adat Pubabu-Besipae.

"Hentikan segala aktivitas di atas tanah adat sebelum adanya penyelesaian masalah tanah, kembali tanah tersebut kepada masyarakat adat," ucap Ketua Tim Hukum Masyarakat Adat Pubabu-Besipae, Akhmad Bumi, Kamis (15/10/2020).

Warga juga pernah menolak kedatangan rombongan Wakil Rektor II Universitas Nusa Cendana pada 16 September, ketika sekelompok orang itu hendak membersihkan lokasi untuk persiapan kedatangan Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat; dan sembilan hari kemudian, saat rektor universitas itu memastikan pembersihan daerah tersebut.

Sementara, Kapolres Timor Tengah Selatan AKBP Aria Sandy mengaku pihaknya belum mendapatkan informasi dugaan tindak pidana tersebut. "Belum ada laporan tentang itu, yang ada laporan pengeroyokan oleh masyarakat kepada salah satu petugas pemprov," kata dia ketika dikonfirmasi, Kamis (15/10/2020).

Kasat Pol PP NTT Cornelis Wadu membantah aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah pria dan anak buahnya di Desa Pubabu-Besipae. "Itu tidak benar. Nanti untuk lebih jelasnya konfirmasi langsung ke Plt Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT Welly Rohimone," ujar dia.

Welly pun membantah kekerasan itu. Menurutnya, anak buahnya yang menjadi korban kekerasan. “Anak buah saya yang justru jadi korban dan mengalami memar di bagian belakang atas kepala,” kata dia.

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan pihaknya mengecam keras kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan yang digunakan aparat pemerintah dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat adat. Apalagi tanahnya masih dalam status sengketa.

“Kami sudah kirim surat protes kepada gubernur dan meminta Pemprov NTT menghentikan dan mencegah kekerasan oleh aparat negara maupun antar kelompok masyarakat. Permintaan lainnya, pemprov segera menjalankan rekomendasi Komnas HAM (yang diberikan pada) September lalu,” tutur Beka, Jumat (16/10/2020).

Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH PGI) mengecam pula kekerasan terhadap anak dan perempuan Pubabu karena memperpanjang rentetan penyelesaian masalah agraria yang selalu berujung dengan kekerasan dan menempatkan rakyat sebagai korban.

Humas PGI Philip Situmorang, dalam keterangan tertulis, menyatakan pihaknya menyesalkan sikap negara yang seharusnya melindungi masyarakat, malah menghadirkan aparat keamanan yang cenderung represif mengintimidasi rakyat demi kepentingan korporasi. Harus ada sanksi bagi ‘preman’ yang mengintimidasi dan pembiaran oleh aparat.

“Sehubungan dengan pokok permasalahan agraria yang ada di Besipae, kami berharap Pemprov NTT dan instansi terkait dapat menyelesaikannya dengan dialog yang lebih bermartabat, seturut dengan hukum yang berlaku,” kata dia.

Baca juga artikel terkait KONFLIK LAHAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri