tirto.id - Sore itu Topan, seorang kurir sebuah perusahaan toko daring mengantar kemeja pria ke sebuah alamat. Kebetulan, barang dipesan dengan metode cash on delivery (COD).
“Waktu itu ada buyer pesan kemeja untuk suaminya. Dia nggak mau bayar, karena suaminya belum pulang kerja. Waktu itu saya anterin paket jam 3 sore, suaminya pulang kerja jam 5-an sampai rumah bisa 7-8 malam,” kata Topan kepada Tirto, Jumat (21/5/2021).
Lika-liku pengiriman barang COD itu berakhir dengan kesepakatan mereka akan bertemu lagi malam hari meski jam kerja Topan tambah panjang. Sesuai prosedur COD, barang belum bisa dibongkar ketika belum dibayar. Setiap barang yang diantar oleh kurir harus diterima dengan baik sesuai target toko daring. Maka Topan bergegas ke alamat lain.
“Masih banyak buyer yang kira kalau dia COD, bisa batalin barang gitu aja. Padahal kan barang datang dia bayar. Kurir enggak ada soal barang sesuai atau nggak,” tutur dia.
Kurir kadang dianggap pembeli sebagai perwakilan toko atau penjual. Padahal ia hanya bertugas mengantarkan barang. Karena menganggap kurir sebagai penjual, pernah terjadi peristiwa tak mengenakkan. Seorang pembeli memaki kurir, begitu terekam di Youtube. Makian tersebut dilakukan lantaran pembeli mengklaim barang tak sesuai harapannya. Baru-baru ini ada pembeli yang menodongkan senjata api kepada kurir COD dan menolak pembayaran karena barang tidak sesuai pesanan.
Sederet risiko yang membahayakan keselamatan jiwa itu diamini oleh Karyo, seorang kurir paket cepat lain. Gaji Karyo sebulan Rp2.250.000. Ia dapat insentif Rp1.000/paket. Target sehari mengirimkan 200-300 paket. Bila semua paket berhasil dikirim, total bonus Rp300 ribu dikantongi per hari. Sebaliknya jika gagal dikirim, tentu saja insentifnya berkurang.
“Kalau paket yang COD gagal atau enggak terbayarkan atau konsumen enggak mau terima, berarti insentif kurir hangus,” tutur Karyo.
Sistem COD Dihapus atau Dipertahankan?
Menurut data Badan Pusat Stastistik metode pembayaran tunai (COD) dipilih oleh 73,04 persen pengguna e-commerce, dan merupakan metode favorit. Namun konflik kurir dengan pembeli membuat metode COD diusulkan untuk ditinjau ulang.
Untuk urusan COD, umumnya toko daring sudah menginformasikan tata cara pengembalian barang, komplain hingga ganti rugi akibat kesalahan atau ketidaksesuaian barang yang dikirim. Hanya saja sejumlah pembeli enggan memakai sistem alih-alih memusuhi kurir.
Ketua Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyebut sederet konflik kurir dan pembeli yang kerap terjadi seolah menunjukkan masih rendahnya literasi belanja dari daring apalagi memakai layanan COD.
“Ini menunjukkan bahwa literasi dan edukasi sebagian konsumen tentang e-commerce masih rendah. Sedangkan saat ini sudah dituntut dalam era digital,” kata Tulus kepada Tirto, Senin (17/5/2021).
Yang perlu juga adalah menyampaikan komplain pada pihak yang tepat. Memaki dan mengumpat kurir pengirim barang, kata Tulus Abadi, bukan saja tak beradab tapi juga salah alamat.
"Dalam konteks kasus tersebut, komplain yang dilakukan bukan hanya tidak mekanisme, tetapi juga salah alamat. Sebab, kurir hanya perantara bukan pelaku usaha penyedia barang dijual tersebut," imbuh Tulus.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menyebut ada kerentanan sistem digital pemantauan atau pelacakan aktivitas COD. Ia menyarankan selama belum ada penyempurnaan manajemen risiko, ada baiknya layanan belanja daring dengan metode COD ditangguhkan sementara.
"Sistem manajemen risikonya untuk COD itu belum kuat sehingga menimbulkan banyak masalah baik dari sisi platform maupun dari sisi konsumen dan juga kurirnya," tegas dia kepada Tirto, Minggu (23/5/2021).
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Zakki Amali