tirto.id - Konflik internal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kembali meruncing. Adik Sri Sultan Hamengku Bawono X tak terima dipecat dari jabatan struktural di Keraton. Namun Sultan bergeming karena ia menganggap kedua adiknya, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat, makan gaji buta karena tak bekerja lima tahun.
“Kalau mau aktif, ya, tidak apa-apa. Masak cuma [makan] gaji buta? Lima tahun tidak bertanggung jawab,” kata Sultan seperti dilansir Antara, Kamis (21/1/2021).
Keduanya mendapatkan gaji dari APBN melalui Dana Keistimewaan sebagai pembina budaya. GBPH Prabukusumo semula merupakan Penggede (kepala) Kawedanan Hageng Punakawan Nityabudaya Keraton, sementara GBPH Yudhaningrat menjabat Penggede Kawedanan Hageng Punakawan Purwabudaya Keraton.
Di luar alasan lari dari tanggung jawab, muncul dugaan lain mengapa keduanya dicopot. Dugaan ini sifatnya lebih politis: karena menolak Sabda Raja yang dikeluarkan pada 2015.
GBPH Prabukusumo tidak aktif lagi berkantor di Keraton setelah adanya Sabda Raja. Menurutnya Sabda Raja telah melanggar paugeran atau tradisi. “Kalau saya ngantor, berarti saya orang yang tidak punya prinsip menjaga paugeran. Begitu ada sabda-sabda itu otomatis tidak mungkin saya ngantor,” katanya kata GBPH Prabukusumo saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (21/1/2021).
Sabda Raja menyatakan Sri Sultan HB X mengganti namanya dari Buwono menjadi Bawono dan mengganti nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Sabda Raja yang disebut terakhir sekaligus mengarah pada pengangkatan putri tertua Sultan itu sebagai putri mahkota.
Oleh karena itulah ia menolak pencopotan jabatan yang diputuskan melalui surat Dhawuh Dalem: 01/DD/HB 10/Bakdamulud XII/Jumakir 1954/2020 ini.
Meski tak lagi berkantor di Keraton, GBPH Prabukusumo bilang tak lantas sepenuhnya meninggalkan tanggung jawab. Sampai akhir 2020 kemarin ia mengaku masih menandatangani berkas-berkas khususnya mengenai permohonan gaji dan kenaikan pangkat abdi dalem.
Dosen Ilmu Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Dardias Kurniadi mengatakan konflik internal ini sulit diselesaikan. Isi Sabda Raja, oleh sebagian kerabat keraton, dianggap telah melanggar hal yang sangat prinsipil dan menjadi fondasi utama kerajaan. “Karena konflik dan perbedaannya prinsipil, maka adik-adiknya itu kemudian memutuskan untuk tidak lagi terlibat di Keraton,” kata Bayu kepada reporter Tirto, Kamis.
Sejak tidak lagi aktif, fungsi keduanya dijalankan oleh dua putri Sultan yang sejak awal ditempatkan mewakili pamannya. “Jadi yang dilakukan Sultan ini cuma penegasan saja karena mereka, yaitu GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudhainingrat, secara de facto sudah tidak terlibat,” kata Bayu.
Meski sekadar penegasan, pemecatan ini pada akhirnya meruncingkan konflik. “Mereka sakit hati karena yang mengangkat jabatan itu adalah bapaknya yakni Sultan HB IX,” ujar Bayu. Apalagi, dalam tradisi kerajaan, jabatan itu lazimnya melekat hingga akhir hayat.
Sultan sendiri membantah tudingan politis tersebut. Menurutnya itu “tidak ada hubungannya.” “Nyatanya yang tidak setuju sama saya kalau tetap dia melaksanakan tugas sebagai penghageng juga tidak saya berhentikan. Mas Jatiningrat, Mas Hadiwinoto, kan, juga tetap kerja karena tetap melaksanakan tugas,” kata Sultan.
Kemiskinan & Ketimpangan
Dalam konteks masyarakat dan budaya Jawa, apa yang terjadi di Keraton sebagai pucuk hierarki sosial dan sumber segala sesuatu menyebar ke masyarakat, kata Bayu. Konflik turut memberikan dampak pada masyarakat. Namun dampak tersebut tidak dalam ranah materiel. Apa pun yang terjadi di Keraton sejatinya belum terbukti dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Bayu mengatakan konflik yang terjadi di Keraton adalah dampak dari upaya-upaya melanggengkan konsentrasi politik sekaligus kapital. Sabda Raja yang salah satu isinya mengarah pada pengangkatan putri tertua Sultan sebagai putri mahkota--yang akhirnya jadi sumber konflik karena dianggap melanggar tradisi Keraton oleh kerabat yang lain--adalah bagian dari hegemoni atau pelanggengan itu.
Siapa pun yang menggantikan Sultan HB X sebagai pimpinan tertinggi Keraton, maka akan secara otomatis ditetapkan menjadi Gubernur DIY yang memiliki wewenang untuk mengelola dana keistimewaan (danais) sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Danais dialokasikan untuk urusan kebudayaan, pertanahan, tata ruang, tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur, serta urusan kelembagaan.
Sejak 2013, alokasi danais mengalami kenaikan pesat. Pada 2013 dialokasikan Rp231,4 miliar; 2014 berlipat menjadi Rp523,9 miliar; lalu Rp547,5 miliar pada 2015; 2016 Rp547,5 miliar; 2017 Rp800 miliar; 2018 menembus Rp1 triliun; 2019 Rp1,2 triliun; dan pada tahun lalu mencapai Rp 1,32 triliun.
Namun danais sebanyak itu sampai sekarang belum memberikan perubahan signifikan bagi masyarakat. Dalam laporan Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Badan Keahlian DPR RI, disebutkan bahwa selama 2013 hingga 2018, meski dari segi pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia tergolong baik, namun angka kemiskinan di DIY berada di atas rata-rata nasional bahkan menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Jawa.
“Apakah danais itu sampai ke masyarakat? Ya kita lihat saja dari 2013 sampai sekarang sekian triliun itu indikator indeks gini (rasio ketimpangan) jadi tambah tinggi se-Indonesia dan persentase kemiskinan justru bertambah,” kata Bayu.
Sementara yang terjadi di Keraton bertolak belakang. Dalam disertasinya yang berjudul Defending the Sultanate’s Land: Yogyakarta, Aristocratic Power and Control over Land in Post-Autocratic Indonesia tahun 2019, Bayu menemukan fakta bahwa akumulasi tanah Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman atau Sultan Ground dan Pakualaman Groud (SG/PAG) makin masif melalui pendataan dan sertifikasi.
“Kalau tanahnya memang tanah SG/PAG itu tidak masalah. Persoalannya ini ada upaya yang sistematis dan terarah juga meng-SG/PAG-kan tanah-tanah negara,” simpul Bayu.
Contohnya terjadi di Baciro Gondokusuman. Seorang warga biasa, Made Suardana, yang menempati tanah negara selama bertahun-tahun harus izin ke Keraton saat hendak meningkatkan status tanah dari hak guna menjadi hak milik. Made bilang itu tidak masuk akal karena tanah itu bukanlah magersari (milik Keraton).
Semua sumber daya itu hanya dikelola oleh raja, ratu dan anak-anaknya saja. Sedangkan dua adik yang saat ini berseteru dengan Sultan tidak punya akses terhadapnya. Ketimpangan akses sumber daya dan kuasa ini menurut Bayu membuat potensi eskalasi konflik mengecil.
GBPH Prabukusumo telah mengingatkan sang kakak bahwa segala pemasukan yang didapatkan Keraton harusnya masuk ke dalam kas Keraton sehingga membawa kesejahteraan bagi seluruh trah Sultan HB I dan seterusnya, abdi dalem, dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya.
“Ingat, itu pemasukan hak Keraton suatu saat harus dikembalikan ke kas Keraton, bukan pribadi,” kata GBPH Prabukusumo.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino