Menuju konten utama

Konflik Hindu-Muslim di India, Indonesia Bisa Apa?

Kalau mau, Indonesia sebenarnya bisa berbuat lebih untuk mengatasi konflik sara di India. Namun itu belum dilakukan.

Konflik Hindu-Muslim di India, Indonesia Bisa Apa?
Para siswa dan aktivis India berpartisipasi dalam sebuah protes menentang Citendens Amendment Bill (CAB) di Gauhati, India, Jumat, 6 Desember 2019. Anupam Nath/AP

tirto.id - Kerusuhan pecah di India sejak Ahad 23 Februari lalu. Total korban tewas per Sabtu 29 Februari mencapai 42 orang, sementara korban luka ratusan. Masjid, rumah, dan pertokoan pun turut jadi sasaran amuk massa.

Masifnya korban membuat kejadian ini dinilai sebagai serangan bernuansa SARA paling brutal di India dalam beberapa puluh tahun terakhir.

Anggota DPR Komisi I dari Fraksi Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya menilai pemerintah Indonesia semestinya dapat turut serta menyelesaikan masalah ini. Alasan pertama, karena Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Sementara pada kasus ini korban kebanyakan muslim.

Selain itu, "Indonesia dan India memiliki hubungan baik," kata Riefky lewat keterangan tertulis, Ahad (1/3/2020). "Dari hubungan tersebut sepatutnya Indonesia dapat mendorong pemerintah Indonesia untuk dapat menerapkan keadilan sesuai peraturan yang berlaku di negara tersebut," tambahnya.

Masalah dimulai ketika Perdana Menteri India Narendra Modi meloloskan Undang-Undang (UU) Amandemen Warga Negara atau Citizenship Amendment Bill (CAB) yang sangat kental dengan nuansa anti-muslim, dua bulan lalu.

Disebut anti-muslim karena UU CAB memungkinkan para imigran ilegal dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan untuk mendapatkan kewarganegaraan, kecuali mereka yang beragama Islam. Di bawah UU ini, muslim India juga wajib membuktikan kalau mereka memang warga negara India.

UU CAB sendiri adalah bagian dari agenda supremasi Hindu di bawah pemerintah Narendra Modi yang berkuasa sejak hampir 6 tahun lalu.

Kelompok muslim turun ke jalan menolak peraturan baru ini. Namun aksi mereka dibalas tindakan represif.

Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini pun memberi pernyataan serupa. "Indonesia harus bersikap tegas menyuarakan keprihatinan dan mendesak India menghentikan tindak kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi," kata Jazuli, juga lewat keterangan tertulis.

Sulit Bertindak Tegas

Pengajar di program hubungan internasional Universitas Pelita Harapan (UPH) Yosef Djakababa mengatakan Indonesia tak hanya bisa sekadar mengutuk. Pemerintah juga dapat memanfaatkan posisi Indonesia sebagai anggota Dewan HAM sekaligus Dewan Keamanan PBB. Status tersebut memungkinkan Indonesia memanggil India di forum PBB sekaligus memberikan teguran keras secara langsung.

Presiden Joko Widodo belum melakukan itu. Ia bahkan belum memberikan pernyataan apa pun. Sikap Jokowi sempat membuat dua politikus beda kubu, Budiman Sudjatmiko dan Fahri Hamzah, berdebat di Twitter.

Menurut Yosef, diamnya Jokowi bukan tanpa alasan. Menurutnya kendala yang membikin pemerintah tak juga bersikap tegas adalah kasus serupa--persekusi terhadap minoritas--juga terjadi di dalam negeri.

"Mungkin itu yang jadi kekhawatiran, karena takut backfire juga," kata Josef saat dihubungi reporter Tirto, Ahad (1/3/2020).

Selain itu, menurutnya konsep bebas aktif yang menjadi pondasi kebijakan luar negeri juga mendorong Indonesia lebih sering aktif di balik layar, alih-alih menunjukkan sikap tegas di depan podium internasional. India juga faktanya merupakan mitra dagang strategis Indonesia, termasuk sebagai pasar ekspor sawit.

Terlepas dari diamnya Jokowi, menurutnya jika kasus di India ini berlarut-larut, maka dampaknya akan terasa pula ke Indonesia. Kebencian terhadap agama lain, misalnya, akan muncul. Bagi Josef, indikasi ke arah sana sudah terlihat.

"Di internet saja kita lihat sudah ramai," katanya.

Menteri Agama Fachrul Razi sebenarnya sempat mengecam keras peristiwa yang mengatasnamakan agama itu. Ia bilang kekerasan oleh sekelompok umat Hindu di India tidak menggambarkan ajaran Hindu sendiri. "Tindakan kekerasan itu sangat tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan nilai-nilai agama," ucap Fachrul dalam keterangan tertulis, Jumat (28/2/2020).

Menurut peneliti dari Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono, pernyataan tersebut sama sekali "kurang tegas." "Harus minta UU itu dibatalkan," katanya.

Baca juga artikel terkait INDIA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino