Menuju konten utama

Konferensi EFT Angkat Skema dan Implementasi Dana Sektor Hijau

Untuk beberapa isu lingkungan, Badan Penyaluran Dana Lingkungan Hidup telah mencanangkan pendanaan sebesar USD1,6 miliar.

Konferensi EFT Angkat Skema dan Implementasi Dana Sektor Hijau
Coaching Clinic EFT Foto/Dok. Pattiro

tirto.id - Didukung Kementerian Dalam Negeri, Ford Foundation, dan The Asia Foundation, Konferensi Nasional Ecological Fiscal Transfer (EFT) telah berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Hajatan akbar kelima ini juga diadakan bersama Koalisi Masyarakat Sipil Pendanaan Perlindungan Lingkungan (KMS-PPL) dengan anggota aktif yang di antaranya adalah Pilar Nusantara (PINUS), Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budget Center (IBC), Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau, JARI Indonesia Borneo Barat, dan Sikola Mombine.

Pada hari terakhir pelaksanaannya, Jumat (26/7), EFT mengangkat diskusi mengenai skema dan implementasi dana terkait sektor hijau bersama dengan BBadan Penyaluran Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Berada di bawah naungan Kementerian Keuangan, BPDLH memiliki keistimewaan dengan ketidakterikatannya dalam sektor khusus. BPDLH merupakan badan pendanaan nonsektoral yang juga menangani isu berkaitan dengan lingkungan di bawah kementerian lainnya. Kendati demikian, saat ini BPDLH berfokus pada sektor hijau.

Dengan visi dan misi untuk meningkatkan kualitas hidup dan ketahanan masyarakat, lima isu yang ditangani oleh BPDLH terkait pendanaannya terbagi menjadi isu penurunan emisi gas rumah kaca, perbaikan kualitas hidup, perbaikan ketahanan masyarakat, dan ketahanan bencana iklim. Untuk isu ini, BPDLH telah mencanangkan pendanaan sebesar USD1,6 miliar

Skema Penyaluran Dana

BPDLH mencatat pendanaan telah disalurkan ke 34 provinsi di Indonesia. Pendanaan BPDLH bersifat deposit, sesuai kebutuhan yang telah ditetapkan. Dana ini dikotakkan terlebih dahulu, sebagaimana konsep penyaluran dana yang berpegang pada paham menghimpun, menginvestasi, dan menyalurkan.

Dalam penyalurannya, BPDLH membagi berdasarkan dua cara. Pertama, secara langsung kepada penerima manfaat yang akan mengelola pendanaan. Kedua, secara tidak langsung melalui Lembaga Perantara (Lemtara). Penyaluran dana kedua melibatkan lebih banyak pihak, juga diskusi yang berlangsung, sebab Lemtara dapat diperankan oleh pemerintah daerah, organisasi atau lembaga swadaya masyarakat, perbankan, lembaga jasa keuangan non-bank, koperasi, atau badan hukum lainnya. Karena peran Lemtara yang dapat diampu oleh banyak badan, BPDLH menciptakan alur penilaian Lemtara untuk sampai pada tahap pendanaan.

Seleksi pendanaan BPDLH dimulai dengan tahap administrasi. Tahap ini dilanjutkan dengan penilaian substansi berkenaan dengan kapasitas Lemtara dalam menerangkan program dalam proposalnya, kemudian diakhiri dengan resonansi anggaran. Setelah diverifikasi untuk penerimaan dana, anggaran yang digelontorkan oleh BPDLH akan diklasifikasikan menjadi kategori kecil, sedang, sampai besar dengan besaran:

  • Kategori kecil untuk pengelolaan distribusi dana program < Rp5 miliar oleh Lemtara dengan pengalaman bekerja di 1 provinsi atau lebih dari 1 provinsi.
  • Kategori sedang untuk pengelolaan distribusi dana program antara Rp5 miliar - Rp20 miliar oleh Lemtara yang berpengalaman kerja di tingkat nasional dan/atau pada 1-5 provinsi.
  • Kategori besar untuk pengelolaan distribusi dana program > Rp20 miliar oleh Lemtara berpengalaman kerja di tingkat nasional dan/atau > 5 provinsi, serta memiliki pengalaman dalam melakukan penyaluran dana program.

Lia Kartikasari, Kepala Divisi Penyaluran Dana Program BPDLH, menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan sebab tahap seleksi dapat menghasilkan Lemtara dalam satu sampai dua peran sekaligus.

“Lemtara dapat berperan sebagai perantara yang dikontrak untuk mengelola dana. Lemtara juga dapat berperan sebagai pengelola, sekaligus pelaksana program yang mendampingi masyarakat adat untuk menyusun atau mendorong pelaksanaannya,” jelas Lia.

Peran Lemtara dalam Pendanaan

Peran Lemtara yang makin kompleks dibenarkan oleh Adi Junedi, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia WARSI (KKI WARSI), yang telah berpengalaman sebagai Lemtara. KKI WARSI tergolong dalam Lemtara kategori besar, tetapi bukan berarti KKI WARSI tidak menghadapi proses panjang beserta tantangan dalam pengajuan pendanaan sebagai Lemtara.

“Proses KKI WARSI telah berlangsung sejak 2021,” ujar Adi mengawali penjelasannya mengenai tahapan proses yang dilalui KKI WARSI sampai berhasil memegang program dana TERRA, projek kerja sama BPDLH dan Ford Foundation, untuk 10 lokasi di Provinsi Jambi.

Dana TERRA disalurkan BPDLH untuk meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan masyarakat guna mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Dana ini diberikan kepada masyarakat adat atau kelompok pengelola yang membantunya untuk mengembangkan praktik pembangkitan pendapatan berkelanjutan yang melindungi hutan. Dalam implementasinya, KKI WARSI menyebutkan peran mereka tidak lepas dari bantuan tiga mitra kerja sama. Namun, KKI WARSI menyadari bahwa kerja sama ini dapat dikembangkan dengan lebih banyak pihak untuk menggandeng lebih banyak partisipasi dalam mengatasi isu bersama. Sayangnya, eksistensi ruang untuk lembaga lokal belum diberikan secara eksplisit oleh penyalur dana.

Sebagai pengelola dana sekaligus advokat masyarakat yang mendorong dan mendampingi, KKI WARSI selaku Lemtara menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari belum terakomodasinya ruang lingkup program dan kegiatan sesuai kebutuhan, keterbatasan waktu, hingga keberlanjutan kebutuhan finansial.

Tidak hanya menghadapi tantangan dalam pelaksanaan di lapangan, KKI WARSI mengakui masih ada tantangan lain yang melibatkan skema pendanaan. Tantangan ini berupa skema pendanaan dari BPDLH yang belum stabil sehingga proposal pendanaan rumit untuk dirumuskan dan laporan ketat perkuartal yang harus Lemtara lakukan dalam frekuensi besar.

“Lemtara juga diminta untuk melakukan screening terhadap dampak yang akan muncul dari implementasinya ke depan dalam funding proposal. Setelahnya, harus ada rencana mitigasi, pantauan berikutnya, beserta laporan berkala, ke BPDLH,” terang Adi mengenai skema pengajuan dana sampai penyaluran dana dalam pelaksanaan program dari BPDLH ke Lemtara.

Dengan skema penyaluran dana yang ketat dalam waktu terbatas dan implementasi dalam pantauan penuh, Adi berharap BPDLH turut belajar untuk menciptakan sistem yang lebih stabil dan sederhana sebagai panduan Lemtara dalam mengajukan proses penilaian kapasitas dan mengelola program ke depannya. Sebagai bagian dari Lemtara, penyaluran dana untuk sektor hijau diharapkan dapat dijangkau oleh lebih banyak Lemtara untuk melaksanakan program penguatan keberlanjutan dan perlindungan lingkungan.

(INFO KINI)

Penulis: Tim Media Servis