tirto.id - Komisi I DPR berbeda pandangan terkait Memorandum of Understanding (MoU) antara antara Kapolri Jenderal (Pol) Tito Kanavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto tentang bantuan TNI kepada Polri perihal memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Wakil Ketua Komisi I dari F-PAN, Hanafi Rais menilai MoU tersebut berlebihan dalam menyikapi perihal kamtibmas, terutama terkait penanganan unjuk rasa.
"Aksi terbesar di Indonesia seperti 212 juga bisa berjalan secara damai. Jadi enggak perlu terlalu khawatir. Enggak perlu terlalu berlebihan kekhawatiran mengenai unjuk rasa seperti MoU begitu," kata Hanafi kepada Tirto, Jumat (2/2/2018).
Lagi pula, menurut Hanafi, sumber daya kepolisian selama ini sudah mencukupi dalam menangani huru-hara dan unjuk rasa.
"Kalau isinya untuk unjuk rasa, mogok dan lain-lain ya itu selama ini itu kan juga polisi sudah bisa punya kapabilitas untuk punya kemampuan aksi-aksi besar," kata Hanafi.
Hanafi juga menilai dalam MoU tersebut terdapat tumpang tindih peraturan yang tidak perlu, seperti mengenai penanganan konflik sosial yang tertuang dalam pasal 2 ayat 2 poin C.
Menurutnya, perihal penanganan konflik sosial sudah diatur dalam Undang-Undang No 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang juga mengatur keterlibatan TNI dan Polri.
"Ya, kalau menurut saya pakai saja UU yang sudah ada. Karena semuanya yang diatur MoU itu kemudian menjadi redundant [mubazir]," kata Hanafi.
Hanafi menyatakan, apabila TNI ingin dilibatkan dalam penanganan Kamtibmas maka harus dibuat Peraturan Presiden (PP). Karena, selama ini keterlibatan TNI dalam penanganan Kamtibmas selalu disandarkan pada Pasal 7 UU TNI No 34 tahun 2004 yang mengatur perihal Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Padahal, menurut Hanafi, untuk dapat melakukan OMSP kaitannya bekerja sama dengan kepolisian harus ada dasar hukum yang lebih kuat dari MoU.
Dalam ayat 3 pasal 7 UU TNI dikatakan TNI bisa melakukan OMSP berdasarkan kebijakan keputusan politik negara.
"Jadi kalau ada apa-apa biar jelas mempertanggungjawabkannya secara hukum. Karena kita kan punya mekanisme uji materiil dan uji formil melalui Mahkamah Konstitusi," kata Hanafi.
Perbedaan Pendapat Soal MoU TNI-Polri Tangani Kamtibmas
Pendapat Hanafi ini berbeda dengan Anggota Komisi I F-Golkar, Dave Laksono. Menurutnya, bantuan TNI dalam pengamanan kamtibmas boleh saja disesuaikan dengan undang-undang yang diatur dalam pasal OMSP UU TNI.
"Boleh saja. Yang belum ada ini kan Undang-Undang kerja sama TNI, jadi dibuat MoU tersebut agar ada landasan hukumnya," kata Dave kepada Tirto.
Terlebih, menurut Dave, MoU tersebut juga menyepakati soal pembiayaan operasi pemeliharaan kamtibmas yang selama ini tidak mempunyai landasan hukum. "Nah itu kalau menggunakan APBN harus ada landasan hukumnya. Maka dibuatlah MoU tersebut," kata Dave.
Politisi Golkar ini juga tak khawatir dengan adanya tindakan represi oleh TNI dalam melakukan pemeliharaan kamtibmas, seperti yang terjadi pada kasus terbunuhnya La Gode, di NTT. Pasalnya, TNI sudah jauh berbeda dengan masa Orba. Ia menilai TNI hari ini sudah lebih ramah terhadap HAM.
Lagi pula, kata Dave, TNI dalam hal ini tidak bergerak sendiri, melainkan didampingi dan sesuai dengan arahan kepolisian. "Ada batasan-batasan yang TNI boleh lakukan dan tidak boleh lakukan. Penangkapan TNI tidak bisa melakukan. Itu wilayahnya kepolisian," kata Dave.
Ada pun MoU antara TNI dan Polri ditandatangani pada 23 Januari 2018, di Jakarta. MoU soal perbantuan tentara dalam menangani konflik sosial dan unjuk rasa itu disepakati berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua pihak.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto