Menuju konten utama

Komdigi Mewadahi Diskusi Tentang Nasib Jurnalisme di Era AI

Melalui program Media Talks, Komdigi bersama Dewan Pers mewadahi diskusi bagi para jurnalis bersama pakar membahas masa depan jurnalisme di era AI.

Komdigi Mewadahi Diskusi Tentang Nasib Jurnalisme di Era AI
Media Talks: Masa Depan Jurnalisme di Era AI yang diselenggarakan oleh Komdigi dan Dewan Pers di Aston Denpasar, Bali, pada 9 September 2025 (tirto.id/Nadhi)

tirto.id - Media Talks dengan tema besar “Masa Depan Jurnalisme di Era AI” telah rampung dihelat pada Selasa (09/09/2025) oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dengan menggandeng Dewan Pers di Aston Denpasar, Bali. Acara tersebut menghadirkan talkshow dan workshop bagi jurnalis media lokal dan media baru di Bali, dengan total peserta mencapai 91 orang.

Acara dibuka oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media, Very Radian Wicaksono, yang mengatakan bahwa kecerdasan buatan (AI) membawa peluang sekaligus tantangan bagi dunia digital.

"Tantangan tersebut adalah bagaimana jurnalis dapat menjaga etika, memastikan akurasi, serta menghindari penyebaran misinformasi."

- Very Radian Wicaksono

"Fokus utama diarahkan pada upaya membantu media memproduksi konten yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, menyajikan isu nasional dengan cara yang lebih mudah dipahami, serta mendorong kolaborasi lintas media dalam menyuarakan kebijakan publik," papar Very dalam sambutannya, Selasa.

Very menjelaskan bahwa pemerintah pusat tengah menggulirkan berbagai program prioritas yang menyentuh kehidupan masyarakat, seperti Sekolah Rakyat. Dia berharap, media dapat menghadirkan informasi mengenai program tersebut dengan bahasa sederhana, visualisasi yang menarik, dan narasi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

"Dengan begitu, publik tidak hanya mengetahui, tetapi juga memahami, merasakan manfaat, bahkan ikut memiliki program tersebut," lanjutnya.

Acara dilanjutkan dengan sesi talkshow yang mengahdirkan tiga orang narasumber sekaligus, yakni Ketua Komisi Kemitraan, Hubungan Antar Lembaga, dan Infrastruktur Dewan Pers, Rosarita Niken; Pemimpin Redaksi TirtoID, Rachmadin Ismail; dan Dosen Komunikasi dari Universitas Udayana, Dewi Yuri Cahyani. Ketiganya mengulas mengenai pengaruh AI dalam kehidupan pers.

Niken dari Dewan Pers menjelaskan bahwa AI menjadi tantangan sekaligus peluang dalam jurnalisme. Sebagai bagian dari perkembangan teknologi, AI memudahkan jurnalis dalam meningkatkan kapasitas kerja, memudahkan dalam mengolah data-data besar, hingga membuat investigative reporting.

Namun, pada praktiknya, AI dapat menjadi pisau bermata dua karena bias dari materi yang dibuatnya.

"AI itu pandai karena dia dimasuki data-data yang banyak, tetapi ketika AI itu belum mendapatkan asupan data yang komprehensif, maka dia tidak bisa menjawab pertanyaan dari kita," ujar Niken.

Berdasarkan data dari Dewan Pers, sebelum AI menjadi masif, banyak produk jurnalistik yang tidak sesuai dengan kode etik dan berujung pengaduan kepada Dewan Pers. Pada tahun 2022, terdapat 691 kasus yang dilaporkan kepada Dewan Pers.

Jumlah tersebut meningkat menjadi 817 kasus pada tahun 2023, lalu melandai menjadi 678 kasus pada tahun 2024. Aduan tersebut didominasi oleh berita yang tidak akurat, judul yang menyesatkan, pelanggaran privasi, serta kurangnya verifikasi informasi.

"Tahun 2025 baru setengah tahun. Sampai bulan Juni, ada 625 kasus. Jadi, masih ada 200 kasus yang belum selesai. Dengan adanya AI ini di tahun 2025, ternyata makin banyak (pengaduan)," tambahnya.

Media Talks Masa Depan Jurnalisme

Media Talks: Masa Depan Jurnalisme di Era AI yang diselenggarakan oleh Komdigi dan Dewan Pers di Aston Denpasar, Bali, pada 9 September 2025 (tirto.id/Nadhi)

Menjawab tantangan yang diakibatkan dari perkembangan AI, Dewan Pers telah mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik. Dalam penggunaan AI, kontrol manusia, verifikasi dan akurasi, serta transparansi menjadi hal-hal penting yang perlu diperhatikan oleh jurnalis.

Produk aturan tersebut juga mencakup larangan penggunaan AI dalam memproduksi konten yang dapat melanggar hak cipta dan privasi seseorang hingga penyelesaian sengketa penggunaan AI. Selain itu, Niken menegaskan bahwa AI tidak memiliki etika dan tanggung jawab hukum, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai karya jurnalistik.

"Tugas jurnalis ini tidak bisa digantikan karena berita-berita atau informasi yang sesuai dengan kode etik jurnalistik adalah ketaatan pada verifikasi, supaya berita yang diproduksi adalah berita yang akurat, berita yang benar," kata Niken.

Niken menegaskan bahwa kontrol manusia harus ada dari awal hingga akhir dari produksi suatu berita, sehingga yang masuk (input) dan keluar (output) adalah hal-hal yang kredibel dan aktual bagi pembaca. Dia juga menyebut verifikasi, akurasi, dan transparansi adalah hal-hal yang harus ada ketika menggunakan teknologi.

“Jika sebuah karya melibatkan AI, seperti gambar, suara, teks, dan lain sebagainya, di situ harus dijelaskan bahwa ini adalah produk AI. Kemudian, larangan konten tertentu, kita harus selektif dengan SARA, ujaran kebencian, terorisme, dan hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada,” tegasnya.

Cara Media Bertahan di Tengah Teknologi

Setelah Dewan Pers, Rachmadin Ismail dari TirtoID mendapatkan giliran untuk berbicara dari sisi redaksi mengenai penggunaan AI di ruang redaksi. Dalam pemaparannya, Rachmadin menjelaskan bahwa kondisi media sedang tidak baik-baik saja karena adanya perubahan algoritma, serta persoalan bisnis dan pola konten. Salah satu penyebab perubahan tersebut adalah fitur AI overview yang muncul di mesin pencari.

“Sebelumnya, akan muncul saat googling dan orang butuh klik untuk membacanya (artikel). Namun, setelah ada fitur itu, jadi turun kliknya karena isi kontennya sudah dirangkum oleh AI overview itu di laman Google-nya,” terang Rachmadin.

Media Talks Masa Depan Jurnalisme

Media Talks: Masa Depan Jurnalisme di Era AI yang diselenggarakan oleh Komdigi dan Dewan Pers di Aston Denpasar, Bali, pada 9 September 2025 (tirto.id/Nadhi)

Akibat munculnya fitur tersebut, Rachmadin melihat adanya penurunan traffic secara signifikan ke website. Dari sisi media, hal tersebut merupakan mimpi buruk karena dapat menurunkan pendapatan. Namun, pengguna dapat merasa puas karena pengalamannya menjadi lebih singkat untuk menemukan informasi.

“Kondisi itu akhirnya membuat kami harus berputar otak: bagaimana caranya agar tetap eksis? Lalu, kami akhirnya mensiasatinya. Kami akhirnya berpikir, cara yang paling ideal di era sekarang ini adalah dengan menjadi media yang basisnya fact-checking. Kami merasa perlu ada satu media yang punya peluang muncul untuk menjadi kurator konten,” jelasnya.

Dengan menjadi kurator konten tersebut, TirtoID menggunakan bantuan teknologi agar produksi konten dapat berlangsung lebih cepat, sekaligus menangkal isu hoaks yang berhubungan dengan keilmuan dan sains. Menurut Rachmadin, bantuan teknologi untuk fact-checking dapat membuat media lebih bertahan, sebab dunia sedang bergeser ke era kredibilitas dan informasi yang aktual.

Selain pentingnya kurasi konten, Rachmadin juga menjelaskan bahwa media membutuhkan kolaborasi, baik dengan pakar, media lainnya, atau kreator, untuk sama-sama melawan misinformasi. Dengan kolaborasi tersebut pula, ancaman-ancaman yang mungkin terjadi terhadap media dapat ditangkal.

“Dengan membentuk ekosistem pakar, kreator, komunitas, dan media, kita menjadi satu ekosistem informasi digital yang ternyata kontennya lebih sehat, lebih scientific-based, dan lebih informatif. Itu idealnya,” kata Rachmadin.

Sementara itu, Dewi Yuri Cahyani dari Universitas Udayana memaparkan studi-studi secara akademis yang melihat sejauh mana adopsi AI di negara-negara maju, serta negara-negara selatan dan ekonomi berkembang, seperti Indonesia. Dia melihat AI memberikan dampak positif bagi media mengenai efisiensi dari segi waktu dan biaya, tetapi memberikan ketimpangan.

“Misalnya, outlet berita yang besar punya sumber daya yang cukup, dia mempunyai investasi yang cukup, dia bisa membuat in-house AI tools, yang bisa digunakan sesuai kebutuhan. Sementara yang kecil, yang tidak punya cukup sumber daya, dia kemudian ketergantungan terhadap platform AI,” jelasnya.

Dewi juga setuju bahwa teknologi membuat seseorang dikhawatirkan tidak lagi mempunyai kontrol terhadap konten. Oleh sebab itu, cara yang harus diambil adalah dengan berkolaborasi dan mencari ceruk yang tidak mungkin atau tidak mudah direplikasi oleh kecerdasan buatan.

Menurutnya, human centred journalism (jurnalisme yang berpusat kepada manusia) dapat menjadi solusi untuk bersaing dengan kecerdasan buatan.

“Kecerdasan buatan kita hari ini belum bisa mereplikasi kemampuan berpikir kritis dan etika yang dimiliki oleh manusia."

- Dewi Yuri Cahyani

Antusiasme Peserta dalam Mengikuti Acara

Media Talks Masa Depan Jurnalisme

Media Talks: Masa Depan Jurnalisme di Era AI yang diselenggarakan oleh Komdigi dan Dewan Pers di Aston Denpasar, Bali, pada 9 September 2025 (tirto.id/Nadhi)

Dalam acara Media Talks, terlihat peserta yang hadir bersemangat untuk bertanya dan mengikuti setiap rangkaian acaranya. Misalnya, Arnoldus Dhae yang merupakan wartawan dari Reportase Bali. Dari Media Talks, dia mendapati bahwa kebutuhan untuk verifikasi dan menjamin akurasi data untuk menjawab tantangan jurnalistik dengan pakem yang sudah ada.

“Hari ini sangat membantu, bagaimana kita dicerahkan bahwa AI tidak menjadi satu-satunya (rujukan), tetap harus ada verifikasi final dari seorang jurnalis. Meskipun, AI banyak sekali manfaatnya, terutama untuk membantu orang mendatangkan referensi yang akurat,” jelasnya ketika ditemui Tirto di sela acara.

Arnoldus mengaku masih menggunakan AI untuk menunjang kinerja jurnalistiknya, tetapi dia mengatakan orisinalitas sebuah produk tetap menjadi tanggung jawab jurnalis itu sendiri. Selain itu, dia menilai Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2025 mengenai Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik perlu disosialisasikan kepada kalangan jurnalis.

“Saya pikir ini harus lebih dimaksimalkan agar publik juga bisa mengetahui, membedakan mana yang merupakan produk AI dan juga mana yang menjadi produk orisinal dari seorang jurnalis,” tambahnya.

Senior Editor dari Bali Tribune, Djoko Mulyono, yang hadir dalam acara tersebut mengatakan Media Talks membantu jurnalis di semua strata, termasuk jurnalis senior. Dari acara tersebut, Djoko melihat bahwa jurnalis seharusnya tidak tergantung kepada AI, terutama melihat banyaknya jurnalis yang sudah ikut uji kompetensi.

“Selalu usahakan check dan recheck karena tidak semua yang kita dapatkan di social media yang lain itu benar. Hal ini supaya marwah dari kode etik jurnalistik kita bisa terangkat kembali. Mudah-mudahan pertemuan ini bisa berlanjut, tidak hanya sampai di sini.”

- Djoko Mulyono

Menurutnya, Media Talks membuka perspektifnya sehingga dia mengetahui dan paham tentang apa yang harus dilakukan sebagai seorang jurnalis. Dia berharap, gelar Media Talks berikutnya dapat diselenggarakan dengan coaching clinic agar jurnalis lebih memahami materi yang disampaikan.

“Ini langkah yang bagus. Tidak semua orang paham tentang apa itu AI, bahkan AI ini bukan hanya bisa membantu produk untuk jurnalistik, tapi di semua aktivitas kegiatan sehari-hari di lapangan,” kata dia.

Dari sisi jurnalis sosial media, Made Indra dari Bali Nggih, mengatakan bahwa dia cukup terkesan dengan Media Talks karena menyajikan bagaimana perkembangan AI hingga penggunaannya di era saat ini. Menurut Indra, pengetahuan tentang aplikasi yang berhubungan dengan AI membantu pihaknya untuk melakukan riset lebih lanjut.

“Harapannya, lebih mengetahui bagaimana tentang menormalisasi penggunaan AI di bidang jurnalistiknya sendiri agar lebih luas, terutama mengenai fact-checking sendiri. Jadi untuk mengurangi hoaks di ruang publik,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KOMINFO atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - News Plus
Reporter: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Rina Nurjanah