tirto.id - Digitalisasi kini bukan lagi sekadar tren teknologi, melainkan mesin utama yang mendorong transformasi ekonomi nasional. Di baliknya, ada kolaborasi lintas lembaga, dunia usaha, akademisi, hingga generasi muda yang bersama-sama membangun fondasi ekonomi digital Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan, proses digitalisasi—terutama sistem pembayaran—yang terus didorong bank sentral tak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperluas inklusivitas ekonomi. Ia mencontohkan keberhasilan QRIS (Quick Response Indonesian Standard), yang diluncurkan sejak 17 Agustus 2019 sebagai inovasi sistem pembayaran nasional.
Melalui QRIS, jutaan pedagang pasar tradisional yang dulunya hanya bertransaksi tunai kini dapat menerima pembayaran digital dan memiliki jejak keuangan yang membuka akses terhadap pembiayaan. Hingga pertengahan 2025, jumlah merchant QRIS mencapai 41 juta per September 2025, dengan pertumbuhan transaksi dua digit setiap tahunnya.
“Bank Indonesia memiliki 46 kantor wilayah, dan semuanya bergerak untuk mendigitalkan Indonesia: UMKM, ketahanan pangan, keuangan daerah, hingga pembayaran di tingkat pemerintah daerah,” ujar Perry dalam forum Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) x Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2025.
Karena itu lah, lanjut Perry, BI akan terus memperkuat sinergi dan inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, serta inklusivitas. Salah satu langkah strategisnya adalah rencana pembentukan Digital Innovation Center bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), dan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH).
"Mari membangun Digital Innovation Center yang betul-betul berkolaborasi, mengundang anak-anak muda, kita didik kewirausahaan mereka, kembangkan inovasi digitalnya, dan datangkan investornya," tutur Perry.
Selain Digital Innovation Center, upaya lain yang dilakukan BI adalah penyelenggaraan dua ajang besar inovasi digital nasional menjelang event FEKDI dan IFSE 2025.

Pertama, QRIS Jelajah Nusantara, kompetisi yang memperluas akseptasi pembayaran digital sekaligus mempromosikan budaya lokal melalui tarian, pakaian adat, kuliner, musik, dan cerita rakyat. Tahun ini, jumlah peserta mencapai 8.278, naik 25 persen dari tahun sebelumnya.
Kedua, Hackathon BI–OJK 2025, hasil kolaborasi BI dan OJK yang menjadi wadah bagi talenta muda Indonesia dalam menciptakan solusi berbasis teknologi. Program ini mempertemukan pelaku industri, akademisi, dan regulator untuk mengembangkan ide-ide inovatif. Dari 2.336 tim peserta, sebanyak 743 proposal dinyatakan layak—meningkat 63 persen dari tahun lalu—dan hanya 10 tim terbaik yang terpilih karena dinilai memiliki visi tajam serta komitmen menghadirkan solusi nyata bagi masyarakat.
"Tentu saja kita kembangkan berbagai hal. Tahun ini temanya adalah AI as a Service (AIaaS) for Digital Delivered Service Export, kemudian Financial Innovation & Public Services, juga untuk Risk Management & Consumer Protection," ujar Perry.

Tak heran, Plt. Sekretaris Jenderal Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Rizal Edwin Manansang, yang mewakili Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menilai bahwa FEKDI dan IFSE tahun ini bukan sekadar festival, melainkan juga cerminan dari semangat kolaborasi dan inovasi digital nasional yang terus tumbuh menuju transformasi ekonomi yang inklusif, efisien, dan berkelanjutan.
"Kolaborasi lintas sektor adalah fondasi utama dalam membangun inovasi yang berkelanjutan. Melalui sesi diskusi, pameran teknologi finansial, serta kompetisi Hackathon dan QRIS Jelajah, kita telah melihat berbagai solusi digital yang tidak hanya kreatif, tetapi juga relevan dengan kebutuhan nyata masyarakat," jelas Rizal.
Upaya kolaboratif dari industri, pemerintah dan regulator—berbarengan dengan sinergi kebijakan—memang mutlak diperlukan untuk mengawal keberlanjutan digitalisasi nasional. Ini menjadi salah satu poin penting yang dituangkan BI dalam Blue Print Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030.

Tak heran, Plt. Sekretaris Jenderal Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Rizal Edwin Manansang, yang mewakili Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menilai bahwa FEKDI dan IFSE tahun ini bukan sekadar festival, melainkan juga cerminan dari semangat kolaborasi dan inovasi digital nasional yang terus tumbuh menuju transformasi ekonomi yang inklusif, efisien, dan berkelanjutan.
"Kolaborasi lintas sektor adalah fondasi utama dalam membangun inovasi yang berkelanjutan. Melalui sesi diskusi, pameran teknologi finansial, serta kompetisi Hackathon dan QRIS Jelajah, kita telah melihat berbagai solusi digital yang tidak hanya kreatif, tetapi juga relevan dengan kebutuhan nyata masyarakat," jelas Rizal.
Upaya kolaboratif dari industri, pemerintah dan regulator—berbarengan dengan sinergi kebijakan—memang mutlak diperlukan untuk mengawal keberlanjutan digitalisasi nasional. Ini menjadi salah satu poin penting yang dituangkan BI dalam Blue Print Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030.

BSPI 2030 sendiri merupakan upaya BI untuk terus menjaga keberlanjutan digitalisasi sistem pembayaran dengan berfokus pada stabilitas dan penguatan manajemen risiko.
BSPI mengedepankan prinsip 4I-RD yang dijabarkan dalam lima inisiatif utama, yakni pengembangan infrastruktur sistem pembayaran, penguatan dan konsolidasi industri sistem pembayaran nasional, penguatan inovasi dan akseptasi digital, penguatan kerja sama internasional, dan pengembangan digital currency atau Rupiah Digital.
“Dengan 5 visi Sistem Pembayaran Indonesia 2030 yang diterjemahkan ke dalam 5 inisiatif utama sebagai landasan, BSPI 2030 berupaya untuk membangun sistem pembayaran nasional yang berdaya tahan dan konsolidatif yang menjadi syarat perlu bagi terciptanya integrasi ekonomi-keuangan digital nasional secara end-to-end,” tulis Perry dalam pengantarnya pada buku BSPI 2030.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis
Masuk tirto.id


































