tirto.id - Laskar perjuangan di Kalimantan mendapat dukungan dari Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV Jawa. Karena kurang mendapat informasi, saat divisi itu dibubarkan dan personelnya dimasukkan ke dalam Angkatan Darat, pasukan ini masih merasa bagian dari ALRI, setidaknya sampai tahun 1949.
Pada 1950, di Kalimantan dibentuk komando Tentara dan Teritorium VI/Tanjungpura yang berpusat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sementara Kalimantan Barat adalah Sub Teritorium I. Dalam buku Album Sejarah Seperempat Abad Komando Daerah Militer XII Tanjungpura, 17 Juli 1958-17 Juli 1983 (1983), Sub Teritorium ini dibentuk pada 2 Februari 1950 di Pontianak yang dipimpin Mayor Firmansjah.
Sebelum tahun 1952, di Kalimantan Barat terdapat Brigade G. Seperti terdapat dalam buku Tandjungpura Berdjuang: Sedjarah Kodam XII/Tandjungpura, Kalimantan Barat (1971:140), Brigade ini memberangkatkan Batalion 609 ke Jawa Barat untuk menumpas DI/TII. Pada 1 September 1952, Brigade G Sub Territorium Militer I/Kalimantan Barat diubah menjadi Resimen Infanteri 20 Territorium VI/Tanjungpura.
Kekuatan utama dalam Tentara dan Teritorium VI/Tanjungpura adalah tiga Resimen Infanteri (RI), yaitu RI-20 di Kalimantan Barat, RI-21 di Kalimantan Selatan, dan RI-22 di Kalimantan Timur. RI-20 pernah dipimpin Letnan Kolonel Maryadi dari 1 September 1952 hingga 30 Maret 1956, lalu digantikan Mayor Suharto sebagai pejabat sementara dari 30 Maret 1956 sampai 20 Agustus 1956. Setelah itu Letnan Kolonel Washington Siahaan dari 20 Agustus 1956 sampai Desember 1957, dan Letnan Kolonel Soeharto dari Desember 1957 hingga 17 Agustus 1958.
Ketika beberapa dewan daerah muncul, komandan resimen di Kalimantan Barat adalah
Letnan Kolonel Washington Siahaan yang begitu dipercaya Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution. Menurut Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Pancaroba Kedua (1984:159), Siahaan adalah pendukung otonomi daerah.
Siahaan kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Deputi II daripada KSAD. Ketika Nasution dan jajarannya merancang komando daerah militer, Letnan Kolonel Soeharto (bukan Soeharto pemimpin Orde Baru) yang menjadi komandan Resimen Infanteri 20 di Kalimantan Barat.
“Mulai tanggal 17 Juli 1958 Resimen Infanteri 20 Territorium VI/Tanjungpura ditingkatkan menjadi Komando Daerah Militer Kalimantan Barat (KDMKB), dengan Panglima Kodam pertama Letnan Kolonel Infanteri Soeharto,” tulis penyusun buku Album Sejarah Seperempat Abad Komando Daerah Militer XII Tanjungpura, 17 Juli 1958-17 Juli 1983 (1983:30).
Kalimantan kemudian dipecah menjadi empat daerah militer: Tanjungpura di Kalimantan Barat, Tambun Bungai di Kalimantan Tengah, Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Mulawarman di Kalimantan Timur. Masing-masing dipimpin oleh Letnan Kolonel. Ketika semuanya menjadi Kodam dan jumlah personelnya terus bertambah, maka pangkat para panglima harus Kolonel, lalu naik lagi menjadi Brigadir Jenderal.
Pada tanggal 12 Desember 1960, Komando Daerah Militer Kalimantan Barat (KDMKB) diubah menjadi Komando Daerah Militer XII/Tanjungpura yang berpusat di Pontianak. Nama Tanjungpura diambil dari nama kerajaan di Kalimantan Barat yang sudah ada sejak kerajaan Hindu-Budha berjaya di Jawa.
Sejak Desember 1959, Letnan Kolonel Soeharto selaku pemimpin KDMKB digantikan oleh Letnan Kolonel Soedharmo hingga September 1963. Setelah itu giliran Letnan Kolonel Musannif Ryachud yang menjabat dari 10 September 1963 hingga 30 Juni 1967. Ayah Jenderal Ryamizard Ryachudu ini dikenal sebagai seorang Sukarnois.
Musannif menjadi Pangdam Tanjungpura saat konfrontasi Ganyang Malaysia berlangsung. Ia sangat mendukung kebijakan-kebijakan Sukarno, termasuk Operasi Dwikora. Dalam Pleidoi Omar Dani: Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku (2001:54) yang disusun Benedicta A. Surodjo dan J. M. V. Soeparno, diceritakan bagaimana Musannif kecewa pada Nasution yang dianggap menghambat Operasi Dwikora dengan tidak menyalurkan dana semestinya.
Oleh karena itu, Ryacudu beserta istrinya diam-diam menyediakan dana untuk Operasi Dwikora. Suatu kali, Ryachudu pernah bilang dengan bangga: "Siapa yang berani menentang Nasakom, akan berhadapan dengan saya, Ryacudu!"
Setelah presiden daripada Soeharto berkuasa, Ryachudu digantikan oleh Brigadir Jenderal Antonius Josef Witono Sarsanto. Karier Musannif Ryachudu tak lagi bersinar, sama seperti karier anaknya (Ryamizard Ryachudu) yang selalu di bawah bayang-bayang Prabowo. Ketika Megawati menjadi presiden, karier Rayamizard pun naik menajdi KSAD.
Setelah Konfrontasi Ganyang Malaysia berlalu, Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku) dianggap sebagai gangguan keamanan. Kombatan PGRS/Paraku seperti diungkapkan Hendropriyono dalam Operasi Sandi Yudha: Menumpas Gerakan Klandestin (2014), awalnya adalah sukarelawan yang dilatih ABRI untuk melawan Malaysia. Pada 1970-an, Kodam Tanjungpura yang dulu sangat mendukung Operasi Dwikora ikut menghabisi PGRS/Paraku bersama pasukan baret merah.
PGRS/Paraku juga kerap dikaitkan dengan PKI. Salah seorang pemimpin dalam PGRS/Paraku adalah Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah, bekas ketua serikat buruh kiri. Ia ditembak mati pasukan baret merah pada 12 Januari 1974. Tempo (09/02/1974) melaporkan, setelah dibunuh jenazahnya dibawa ke markas Kodam Tanjungpura.
Sejak 1985, seluruh Kodam di Kalimantan disatukan dengan nama Kodam VI/ Tanjungpura yang berpusat di Balikpapan. Namun mulai tahun 2010, sejumlah Kodam yang sempat dinonaktifkan dihidupkan kembali, termasuk Kodam XII/Tanjungpura dengan wilayah teritorial Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kala itu Pangdam dijabat oleh Moeldoko. Kodam Tambun Bungai yang dulu membawahi Kalimantan Tengah dibubarkan.
Moeldoko digantikan oleh Geerhan Lantara, salah seorang jenderal yang mendukung Prabowo. Andika Perkasa yang kini menjadi KSAD, juga pernah menjadi Pangdam Tanjungpura.
Editor: Irfan Teguh Pribadi