tirto.id - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Kontras Aceh, LBH Banda Aceh, Katahati Institute, Perludem, dan ICW menyoroti keputusan Kementerian Dalam Negeri yang menetapkan Mayjen TNI (Purn) Achmad Marzuki sebagai Penjabat (PJ) Gubernur Provinsi Aceh.
Marzuki merupakan prajurit TNI yang pernah menjabat sebagai Pangdam Iskandar Muda pada 2020-2021 dan saat ini telah berstatus sebagai purnawirawan. Ia juga sempat menjabat sebagai Tenaga Ahli Pengkaji bidang Kewaspadaan Nasional Lemhannas.
"Kami menilai diangkatnya Achmad Marzuki menunjukkan bahwa latar belakang militer masih dijadikan pertimbangan untuk mengisi jabatan sipil. Hal ini merupakan langkah yang tidak tepat, sebab tidak berdasarkan pada prinsip merit sistem yang menghendaki penempatan posisi pada jabatan publik yang harus diisi berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan kinerjanya," ujar Staf Divisi Hukum KontraS, Adelita Kasih, via keterangan tertulis, Selasa (5/7/2022).
Pada prosesnya, nama Marzuki menjadi satu dari tiga nama calon penjabat yang diusulkan DPR Aceh ke Kemendagri. Kemendagri juga lebih memilihnya tanpa memperhatikan aspek politis dan historis yang panjang. Adelita menyatakan hal ini melukai hati masyarakat Aceh, lantaran sejarah panjang konflik dan pelanggaran HAM serta sejumlah korban yang belum terpenuhi haknya terutama hak atas pemulihan harusnya menjadi pertimbangan.
"Wakil rakyat Aceh dan Kemendagri tidak mempertimbangkan aspek historis konflik di Aceh. Dua tahun setengah bukanlah waktu yang singkat, namun dalam kepemimpinan transisinya ada sejumlah pekerjaan rumah dalam upaya pemenuhan hak korban pelanggaran HAM termasuk pendekatan humanis," jelas Adelita.
Koalisi sipil juga menyindir Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada bulan lalu yang menyatakan bahwa tidak akan menunjuk anggota TNI dan Polri sebagai penjabat kepala daerah. Selain itu, penunjukan juga tidak mengindahkan Perintah Mahkamah Konstitusi untuk mendasarkan penunjukan pada aturan pelaksana soal penunjukan PJ Kepala Daerah.
"Terlebih penting lagi, penunjukan langsung penjabat kepala daerah Aceh ini telah melanggar hak asasi manusia karena tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel karena tidak ada forum terbuka yang dapat diakses oleh publik yang berkepentingan khususnya masyarakat Aceh, untuk dapat terlibat dalam prosesnya," imbuh Adelita.
Padahal, Hak Atas Partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak konstitusional dalam konstitusi berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara.
Masyarakat sipil meminta Kemendagri tidak melantik dan/atau mencabut penunjukan penjabat Gubernur Aceh dan mendorong Kemendagri harus transparan, akuntabel, serta tidak menempatkan penjabat kepala daerah berlatar belakang anggota TNI dan Polri.
Penjelasan Kemendagri
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benni Irwan menegaskan tidak ada yang salah dengan prosedur penunjukan Achmad Marzuki sebagai PJ Gubernur Aceh.
"Bapak Achmad Marzuki bukan lagi anggota TNI aktif, beliau sudah mengundurkan diri dan pensiun dari dinas aktif keprajuritan TNI. Statusnya saat ini sudah purnawirawan dan beralih sebagai ASN Kemendagri dengan jabatan Staf Ahli Mendagri Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa, yang merupakan jabatan pimpinan tinggi madya," terang Benni dalam keterangan persnya, dikutip Rabu (6/7/2022).
Saat ini Achmad Marzuki berusia 55 tahun. Batas usia pensiun untuk TNI berbeda-beda setiap jabatannya. Untuk batas usia perwira memiliki batas usia pensiun yang paling tinggi, yakni 58 tahun.
Aturan tentang batas usia pensiun untuk anggota TNI ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Namun ditekankan kembali oleh Benni, yang bersangkutan telah pensiun dini, sehingga tidak lagi bisa dikatakan perwira aktif.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahreza Rizky