tirto.id - Dari tujuh orang pendiri Partai Amanat Nasional, hanya Amien Rais yang masih aktif dalam kancah politik nasional belakangan. Faisal Basri, Goenawan Mohammad, Hatta Rajasa, Rizal Ramli, Emil Salim, dan A.M. Fatwa, semuanya tak ambil bagian dalam kontestasi internal partai berlambang matahari terbit. Namun, Amien Rais tak mampu membuat kesuksesannya sebagai king maker untuk kedua kalinya. Dia justru terancam dikucilkan dari partai yang ia dirikan 21 tahun silam.
Setelah pemilu presiden 2014, arah politik PAN sudah jelas, merapat sebagai partai pendukung pemenang pilpres Joko Widodo-Jusuf Kalla. Selang lima tahun, saat pilpres 2019, PAN berubah sikap. Kendati tak mendapat jatah presiden-wakil presiden, PAN bergabung dengan Gerindra, Demokrat, dan PKS mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Amien Rais adalah salah satu--jika bukan penyebab utama--PAN berubah haluan. Selagi Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan masih dukungan partai di pilpres 2019, Amien lebih dulu mengambil sikap. Kepada wartawan, Amien menyatakan PAN tidak akan mendukung Jokowi untuk pilpres 2019.
Amien bahkan menuding dukungan Zulhas selama ini sebagai sandiwara belaka. Imbasnya, PAN sempat terpecah saat rapat kerja nasional (rakernas) Agustus 2018. Ada kader yang ingin mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin, ada juga yang lebih setuju memihak Prabowo-Sandiaga. Zulhas menjadi penentu utama sikap PAN, tapi semua orang paham, Amien Rais-lah yang selama ini ngotot mendukung Prabowo.
"Pak Amien itu kan tokoh senior memang orang khusus, dari dulu seperti itu, ndak apa apa, sebagai Ketua Dewan Kehormatan tentu masukan pendapat Pak Amien menjadi pertimbangan penting untuk Partai Amanat Nasional untuk mengambil keputusan," kata Zulkifli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/4/2018) seperti dilansir Merdeka.
Setelah kekalahan di pilpres 2019, PAN tidak mendapat apa-apa. Deklarasi dukungan pada Prabowo-Sandi seperti perwujudan keputusan impulsif semata. Tidak ada keuntungan elektoral di pileg, tidak ada jatah kabinet, tidak ada pula jaminan PAN akan mengusung tokohnya di pilpres 2024 mendatang.
PAN bersama Partai Keadilan Sejahtera menjadi partai yang koyak. Tidak hanya karena pencapaian elektoral yang minim, tapi juga kontestasi di internal partai. PKS mulai ditinggalkan beberapa kadernya seperti Fahri Hamzah dan Anis Matta karena perseteruan dengan Presiden Sohibul Iman. Percikan perseteruan di PAN juga laten muncul ke ruang publik.
Pertama, keinginan Zulhas menjadi ketua partai dua periode yang tak disetujui Amien Rais. Kedua, susunan pengurus PAN 2020-2025 di mana Zulhas yang berhasil menjadi ketua umum, mengganti posisi Ketua Dewan Kehormatan Amien dengan Soetrisno Bachir. Puncaknya, Hanafi Rais, anak Amien Rais, keluar dari kepengurusan PAN.
Turunnya Hanafi menambah lengkap hilangnya dominasi politik trah "Rais" di kepengurusan PAN. Perlahan, karir dan warisan politik Amien di PAN pun terancam --jika belum hilang sepenuhnya.
Partai Baru Jadi Pilihan?
Setelah keluarnya Hanafi, isu kemunculan partai baru yang akan dipimpin oleh Amien Rais makin dilantangkan oleh pendukung Amien. Politikus PAN Putra Jaya Husin menyebut skemanya tengah disiapkan dan tidak butuh biaya banyak untuk membentuk partai baru.
"Dulu PAN bikin biayanya berapa? Dulu PAN hanya Rp 88 juta," ungkap Putra seperti dilansir Merdeka, Jumat (15/5/2020).
Pertanyaannya, sejauh mana partai baru ini bisa bersaing?
Sebelum menakar kekuatan partai baru Amien, satu poin penting adalah bentuk partai seperti apa yang ingin diusung ayah dari Hanum Rais? Berbasis agama atau nasionalis? Melihat dari sepak terjang Amien belakangan yang dekat dengan Persaudaraan Alumni 212, kemungkinan besar partai Amien akan bercorak agama, lebih tepatnya Islam--bersaing dengan PKB, PBB, PKS, dan PPP.
Dengan mempertimbangkan pencapaian partai Islam yang sekarang masih bertahan, jalan Amien mempertahankan partai baru yang ingin meraih dukungan berdasar agama tidaklah mudah.
Pada pemilu 2004, total perolehan suara empat partai islami berasas Islam hanya 18,77 persen suara nasional. PBB mendapat 2,62 persen perolehan suara nasional. Sementara itu, PPP mendapat 8,16 persen. PKS dan PPNUI menyusul dengan perolehan suara masing-masing sebesar 7,2 persen dan 0,79 persen.
Lima tahun lewat, suara partai Islam kembali melorot pada Pemilu 2009. PBB dan PPNUI bahkan harus digusur dari parlemen karena perolehan suara keduanya tidak memenuhi ambang batas parlemen. PBB mendapat 1,79 persen suara sedangkan PNUI (kelanjutan dari PPNUI) mendapat 0,14 persen. Di tahun 2014, PBB kembali harus ikhlas tidak masuk parlemen, begitu pun di 2019. PNUI tidak terdengar kabarnya setelah lengser dan tidak ikut pemilu di 2014.
Hanya, PPP, PKB, PAN, dan PKS yang terus bertahan dan mengirimkan kadernya ke parlemen sejak 2004. Perolehan suara mereka juga tidak stabil setiap pemilu.
PKS misalnya, turun dari 7,88 persen di Pemilu 2009 menjadi 6,79 persen di Pemilu 2014. PKB mendapat 4,94 persen suara di Pemilu 2009, kemudian menanjak menjadi 9,04 persen di Pemilu 2014. PAN mendapat 6,01 persen di Pemilu 2009 dan naik menjadi 7,59 persen di Pemilu 2014. PPP memperoleh 5,32 persen di Pemilu 2009 dan meningkat 6,53 persen di Pemilu 2014.
Namun ketika tahun 2019, keempat partai ini kembali mengalami perubahan suara. PKS menuai 8,21 persen suara nasional, PKB kembali naik dengan 9,69 persen suara, PAN turun ke 6,84 persen, dan PPP juga kian terpuruk dengan 4,52 persen perolehan suara nasional.
Faktanya, tidak pernah ada partai berbasis agama yang berhasil memenangkan pemilu legislatif. Dengan Pemilu 2019 ini, peluang partai agama untuk berkontestasi politik semakin menipis. Direktur Charta Politika, Yunarto Wijaya menganggap, politik aliran mendekati ajal.
“[Partai agama] Orientasinya kepentingan, bukan lagi ideologi. Ini yang sebabkan suara partai berbasis agama cenderung menurun,” ujar Yunarto seperti dikutip Beritasatuhari Rabu (31/10/2018).
Bersaing dengan partai nasionalis lebih sulit lagi. Beberapa partai nasionalis yang sudah merumput lebih dulu telah membuktikannya. Mereka keok di hadapan Partai Golkar atau PDIP. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya mendapat suara nasional sebesar 1,89 persen, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) beroleh 2,67 persen suara, dan Partai Garuda hanya mendapat 0,50 persen, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia sebanyak 0,22 persen suara, dan Partai Berkarya yang membawa beberapa alumni Partai Golkar hanya 2,09 persen suara.
Peluang partai baru Amien juga terancam dengan adanya Partai Gelora, partai yang lahir di 2019, dimotori Fahri Hamzah dan Anis Matta. Beberapa pengamat, seperti Direktur Populi Center, Usep S Ahyar menganggap kesuksesan partai baru sangat bergantung pada tokoh yang bisa menjadi andalan merebut suara masyarakat.
"Figur-figur yang diangkat oleh partai baru itu masih kalah dibanding figur di partai lama," kata Usep seperti dilansir Vice soal kegagalan partai baru merangsek ke Senayan.
Dengan kegagalan Amien di PAN mempromosikan Mulfachri Harapan melengserkan Zulhas, tentu nafas partai barunya di masa mendatang, bila memang menjadi nyata, patut dipertanyakan.
Mengandalkan Hanafi Rais?
Jika partai baru Amien Rais terbentuk, tokoh mana yang bisa melambungkan nama partai dan membawanya lolos ke parlemen? Kegagalan Amien di PAN tidak bisa jadi senjata membawa partai barunya sukses di tingkat nasional.
Rekam jejak Amien sebagai mantan pimpinan Muhammadiyah nyatanya juga tak menjadi jaminan. Ia gagal merebut kursi Ketua Umum PAN dari Zulkifli Hasan. Tidak ada jaminan bahwa kader Muhammadiyah akan mengalihkan suaranya ke partai baru Amien Rais.
Dalam survei elektabilitas yang dilakukan 2018 dan 2019, nama Amien Rais juga tidak menjadi pilihan kuat dalam bursa calon presiden atau wakil presiden. Alvara Research Center misalnya, justru melambungkan nama Zulkifkli Hasan. Sedangkan LSI Denny JA memprediksi Sandiaga Uno akan berlabuh ke PAN untuk berkontestasi di pilpres 2024.
Sejauh ini, kader PAN yang cukup dikenal publik dan punya banyak dukungan adalah Hanafi Rais, anak Amien Rais. Sebagai satu-satunya anak Amien Rais yang berhasil melenggang ke parlemen sebagai anggota DPR, Hanafi mempunyai perolehan suara tertinggi di daerah pemilihannya di Yogyakarta.
Dalam Pemilu 2019, Hanafi berhasil menjadi caleg yang memperoleh suara tertinggi kedua di Yogyakarta. Dia juga satu-satunya kader PAN yang berhasil lolos sebagai anggota DPR dari dapil Yogyakarta.
Dengan kandasnya perlawanan Amien di PAN melawan Zulhas, peluang Hanafi untuk duduk di tampuk kepemimpinan PAN hampir pasti kandas. Adanya partai baru adalah secercah harapan buat Amien untuk terus bergelut di dunia politik, atau meninggalkan warisan bagi karir politik anaknya, Hanafi. Satu yang jelas, karir politik Amien dan Hanafi di PAN sekarang tinggal menghitung hari.
Editor: Windu Jusuf