tirto.id - “Sampe mati pun, gua gak akan pindah.”
Heru mengucapkan kalimat itu sembari membersihkan abu bekas kebakaran. Api melalap lantai dua rumahnya, sedangkan lantai satu masih bisa diselamatkan.
Nasib Heru lebih beruntung ketimbang ratusan tetangganya.
Kampung pinggir kali di Jalan Tomang Raya, Jakarta Barat, mengalami kebakaran hebat pada 21 Januari 2019 dini hari. Sekitar 250 rumah ludes dilahap si jago merah. Warga setempat mengatakan, setidaknya ini adalah kebakaran besar ketiga selama empat puluh tahun terakhir.
Siang hari, beberapa jam setelah kebakaran, sudah banyak warga yang membereskan puing. Abu sudah dikeruk dan disingkirkan ke pinggir turap. Sejumlah orang juga tampak mengais puing, siapa tahu ada barang berharga yang masih bisa diselamatkan.
Karena kebakaran ini, Heru terpaksa libur dulu dari pekerjaannya sebagai tukang ojek online. Pria 52 tahun ini lebih memilih mengurus rumahnya. Dia dibantu beberapa rekan sesama pengemudi ojek membersihkan puing hangus dari lantai dua rumah.
“Minimal sehari dulu enggak narik. Mau gimana lagi, rumah ini kan mesti diurus dulu. Jadi harapannya, pemerintah memberikan bantuanlah,” ujar Heru.
Kebakaran ini makin membuat pening banyak warga yang punya anak karena itu terjadi menjelang masa Ujian Nasional (UN). Seragam, buku, tas, dan perlengkapan sekolah banyak yang jadi abu. Heru harus memutar otak untuk mencari dana darurat untuk membeli seragam darurat untuk anaknya yang duduk di kelas 4 SD.
“Pusing. Kalau saya kerja, rumah enggak keurus. Kalau ngurus rumah dan enggak kerja, gimana dapat duit buat beli seragam?”
Namun, di antara semua kesedihan yang menimpanya itu, Heru tetap tegar dan tak mau pindah. Begitu pula warga lain. Hartidah (53), yang rumahnya rata dengan tanah, tak ingin pindah karena sudah menghabiskan nyaris seluruh hidupnya di Tomang. Rumah sanak saudaranya berdekatan. Bagi Hartidah maupun Heru, rumah yang lekat dengan kenangan itu tidak akan bisa terganti.
“Orang Betawi kan gitu. Yang namanya tanah air itu enggak boleh ditinggal,” ujar Heru mantap.
Butuh Bantuan
Kebakaran yang disebabkan oleh ledakan gas elpiji di rumah makan yang terletak di RW 15 ini menyebabkan setidaknya 185 rumah di 5 RT terbakar. Laporan terbaru menyebut rumah yang ludes terbakar ada 250.
Ini bukan kebakaran pertama yang menimpa warga di Tomang Raya. Hartidah samar mengingat kebakaran besar di dekade 1970, walau tidak sebesar sekarang. Ingatan sama juga disebutkan oleh Hendra Dulatip (55), warga RW 15.
“Dulu kebakaran karena korsleting listrik. Sekarang katanya karena kompor. Biar Polsek ajalah yang ngurus,” ujar Dulatip.
Saat ini, menurut Dulatip, yang terpenting adalah solusi jangka pendek. Dia ingin secepatnya membangun rumah lagi. Selain itu, diharapkan pendanaan, logistik, kebersihan, listrik, posko pengungsian, juga layanan kesehatan bisa diupayakan dalam waktu cepat. Ia memaklumi bantuan yang masih sedikit datang di hari pertama.
“Saat ini, bantuan yang banyak datang ke sini itu makanan.”
Ujang (61), Wakil Ketua RW 14 sekaligus koordinator posko bantuan, menganggap kebakaran kali ini adalah ironi. Tiga hari sebelumnya, petugas PLN baru saja mengadakan sosialisasi dan pengecekan listrik di RW 14 dan RW 11. Pengecekan ini tak mengherankan, sebab kebakaran besar yang terjadi di Tomang pada dekade 70 dan 90 disebabkan oleh korsleting listrik.
“Pemerintah daerah sudah cukup bagus, bahkan Wali Kota sudah bilang [akan adakan] sosialisasi lagi. Jangan sampai kabel-kabel listrik itu tidak SNI. Jangan sampai ada tumpang-tindih sambungan kabel. Pemeriksaan kemarin juga begitu,” kata Ujang.
Ketika semua perangkat listrik dan kabel sudah aman, tak ada yang menyangka kebakaran akan datang dari sebab lain yang sama sekali tidak diduga: kompor meleduk. Karena kebakaran ini, sekitar 1.190 orang harus mengungsi.
“Persediaan logistik awal cukup untuk dua hari. Tapi kalau bantuan dana, saya belum tahu,” kata Ujang.
Ketika sedang sibuk bebersih, hujan deras tiba-tiba turun. Warga berlarian mencari tempat berteduh. Abu kebakaran yang sudah ditepikan, kembali meluber ke jalan dan mengotori lagi lantai rumah mereka.
Bersih-bersih harus dimulai lagi dari awal.
Penulis: Mulia Ramdhan Fauzani
Editor: Nuran Wibisono