tirto.id - Kedua tangan Gunawan menggenggam kertas sukim berjumlah banyak hingga tebalnya serupa dua kali lipat buku kamus Bahasa Indonesia. Ia bergerak lamban menuju tong pembakaran. Di depan tong yang membara, pria berusia 67 tahun itu membisu sembari pelan-pelan melemparkan kertas lembar demi lembar. Ada semburat harapan dalam bola matanya, menjulur seiring dengan kertas yang menjadi abu.
Kertas sukim ialah kertas mulia yang digunakan dalam sembahyang Tionghoa; peruntukan harapan: mempelancar rezeki, penyembuhan penyakit, pengabulan keinginan, dan keselamatan.
“[Kertas suki mini] Sebagai alat transaksi saya di alam sana [baka],” ujar Gunawan saat berbincang dengan reporter Tirto, Jumat (12/2/2021).
Gunawan dan istri Sutiana dan kedua anaknya tiba di Vihara Gayatri, Tapos, Kota Depok pukul delapan pagi, saat belum banyak orang lain berdatangan. Berbekal masker menutupi bagian mulut dan hidung, keluarga asal Cibinong, Jawa Barat tersebut khusyuk berdoa.
Keluarga Gunawan berjalan di tengah aroma hio dan lilin yang mencolok, mereka menelusuri ruang demi ruang sembahyang. Ada banyak ruang di Vihara Gayatri, setiap ruang memiliki dewa atau dewi tersendiri, seperti Dewi Kwan Im, Dewa Kwan Kong, Dharmasala. Ruang lain yang memiliki perbedaan mencolok yakni Ruang Semar, berisi lukisan Prabu Siliwangi dan patung macan.
Dalam situasi pandemi COVID-19, Gunawan menyadari keputusan merayakan Imlek di luar rumah sangat berisiko terpapar virus. Namun dorongan iman lebih kuat membuatnya berpasrah diri. Ia merasa lebih khusyuk beribadah di wihara.
“Kami hanya sembahyang, kalau dilarang, ya, tidak bisa dong. Sudah adat kok. Habis ini pulang,” ujarnya.
“Kami tetap yang aman-aman saja. [Mematuhi] protokol kesehatan,” sahut istrinya.
Usai sembahyang di seluruh ruangan, Gunawan dan keluarga menuju permandian tujuh sumur. Berhubung kadung keluar rumah, ia merasa tak paripurna jika belum membasahi sekujur tubuhnya. Ia berharap dengan melakukan ritual pamungkas tersebut akan terhindar dari COVID-19.
Pengurus Vihara Gayatri, Darmawan menjelaskan manfaat tiap sumur yang bermata air itu. Semisal Sumur Sri Ningsih memiliki keyakinan dapat menenangkan diri dan pikiran; Sumur Waras mampu menyembuhkan ragam penyakit; Sri Lungguh berkhasiat memberikan tahta tinggi; Sumur Kunaratih Kumadjaya untuk melancarkan jodoh asmara; Sumur Sri Rezeki demi melancarkan usaha; Sumur Dewi Sri Mulyasari demi pengobatan; dan Sumur Sri Pontjo Warno untuk tolak bala.
Permandian sumur tidak terlalu ramai saat imlek, lantaran kebanyakan umat hanya datang untuk sembahyang. Situasi sepi didukung oleh pembatasan kunjungan yang diterapkan pengurus dalam rangka menjaga protokol kesehatan.
“Sebelum pandemik jumlah kunjungan bisa mencapai 400 orang dari pagi hingga sore. Sekarang tidak sampai 200 orang,” ujar Darmawan saat berbincang dengan reporter Tirto.
Kapolres Metro Depok, Kombes Pol Imran Edwin Siregar yang berkunjung ke sana mengizinkan masyarakat Tionghoa merayakan imlek di vihara, namun “tetap taati protokol kesehatan, perayaannya jangan euforia.”
Tidak Perayaan Besar Saat Ini
Perayaan Imlek 2021 terasa berbeda sekaligus biasa saja bagi Budi Santoso Tanuwibowo. Pada tahun kerbau emas ini, Imlek dirayakan secara minimalis di kediaman pribadi. Menjadi biasa karena sudah setahun terakhir—sejak pandemik COVID-19—Budi sembahyang di rumah.
Budi sebenarnya memiliki pilihan untuk keluar rumah dan sembahyang di wihara dan tetap tertib protokol kesehatan. Tapi beban dan tanggung jawab sebagai Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) berada di pundaknya. Terlebih ia sudah bertekad membatasi diri dari hiruk-pikuk dunia luar demi terjaga dari paparan virus.
Persoalan masih ada tempat ibadah yang membuka gerbang untuk umat sembahyang, ia kembalikan ke pihak-pihak berwenang untuk menindaklanjuti.
“Kami menahan diri [keluar rumah] karena risikonya tinggi. Sudah banyak orang terdekat jadi korban [COVID-19],” ujarnya kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon.
Budi merupakan salah satu tokoh penting Khonghucu Indonesia. Ketika Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia, ia dan Ws. Bingky Irawan menemui Gus Dur dan meminta izin agar Hari Raya Tahun Baru Imlek bisa dirayakan secara nasional. Gus Dur mengamini dan menyarankan dirayakan dua kali.
Pada 2000, perayaan Imlek Nasional pertama digelar di Balai Sudirman Jakarta dan Perayaan Cap Gomeh pertama di Surabaya. Budi mengenang perayaan tersebut sukses besar dan mendapatkan respons luar biasa dan kelebihan dana, sehingga “dana lebihnya kami sumbangkan ke Papua sebagai sumbangsih kami.”
“Sekarang tidak bisa lagi Imlek melibatkan ribuan orang seperti dulu,” keluhnya.
Sejak Maret 2020 atau saat kasus pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan pemerintah, MATAKIN mengimbau kepada seluruh umat untuk mengurangi aktivitas di luar rumah termasuk sembahyang dari rumah dan berkonsentrasi menjaga kesehatan.
Budi hanya merayakan Imlek bersama istri dan anak di rumah. Semalam mereka menggelar makan besar dengan menu rumahan yang sederhana. Namun momentumnya begitu khidmat bagi mereka.
Begitu hari imlek tiba, ia khusyuk sembahyang dari rumah. Tahun ini ia tidak menerima kunjungan tamu. Segala doa dan ucapan selamat untuk kerabat dilakukan secara daring.
“Kalau bertemu dengan teman yang memiliki energi, semangat, dan pikiran yang sama dengan kita, itu menyenangkan. Aku rindu bisa ketemu dan ngobrol [langsung] dengan mereka,” ujar Budi.
Kondisi terkungkung pandemik dimanfaatkan Budi untuk berkontemplasi. Ia membentengi diri dari toksin pikiran: pertikaian yang disebabkan perbedaan pandangan politik—hal yang baginya sangat menguras energi dan tidak tepat guna dalam kondisi saat ini.
“Kita mesti sadar demokrasi tidak hanya memberikan hak memilih tapi juga ketegaran menghadapi kenyataan bahwa teman kita beda pilihan. Jadi jangan dibawa baper terus,” ujarnya.
Ia berpedoman pada ajaran Khonghucu: Jika jalan bertiga pasti ada yang bisa dijadikan guru, bila ada yang baik akan aku tiru, bila ada yang kurang baik aku periksa diriku sendiri.
Sehingga ia lebih memfokuskan diri pada akar persoalan sekarang: pandemik; untuk mencari solusi mandiri agar mata rantai segera terputus. Sebab baginya, COVID-19 merupakan ujian dari Tuhan yang bisa umat manusia selesaikan dengan cara berpikir.
“Kita sudah diberikan akal budi untuk menyelesaikannya, terapkan saja 3M. Kalau kita Bengal dan mengabaikan, ya bahaya,” ujarnya.
Urusan kesehatan saat ini menjadi fokus utama Budi. Perihal Imlek, ia pribadi tidak mau repot mempersoalkan tempat sembahyang. Sebab baginya, “yang terpenting dari sembahyang ialah ketulusan hati.”
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana