tirto.id - Muhammad Munawir (21) membunuh Medelin (20) pada 1 Februari 2021. Munawir marah karena Medelin tidak menuruti keinginannya untuk berhubungan seks.
Dalam catatan kronologis Polres Kutai Barat yang diperoleh reporter Tirto, Munawir bertemu Medelin di sebuah angkringan pada 17 Januari 2021. Medelin meminjam uang kepada Munawir sebesar Rp 2 juta. Munawir memberikan bukan dengan niat membantu tapi menyetubuhi Medelin namun ditolak.
Munawir sakit hati dan berencana membunuh Medelin pada 1 Februari 2020. Ia menyusun siasat: mengirimkan pesan via WhatsApp kepada Medelin yang isinya ajakan berhubungan seks dengan iming-iming Rp 600 ribu.
Munawir lalu menjemput Medelin dan membawa ke rumahnya. Di sana Medelin meminta uang yang dijanjikan sebelum menuruti keinginan berhubungan seks. Alih-alih memberikan uang—sejak awal Munawir tidak membawa uang—ia malah membuka celana memaksa Medelin. Medelin menolak.
Munawir naik pitam dan mengambil belati di kamar dan mengacungkannya ke Medelin. Medelin sempat merebut dan menusuk kaki Munawir, namun Munawir berbalik merampas dan menusuk leher Medelin hingga tewas.
“Dari hasil visum et repertum Dokter Rumah Sakit Umum HIS Sendawar ditemukan luka di bagian leher depan korban,” ujar Kapolres Kutai Barat AKBP Irwan Yuli Prasetyo kepada reporter Tirto, Kamis (11/2/2021).
Munawir disangkakan Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP, dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lama dua puluh tahun.
Isu Pidana Bergeser SARA
Setelah tersangka diamankan Polres Kutai Barat, menurut AKBP Irwan Yuli Prasetyo, isu pidana bergeser menjadi isu SARA. Munawir berdarah Madura sementara Medelin Dayak Tunjung. Menurut Irwan, tergesernya isu terjadi lantaran “terbangun opini negatif di media sosial.”
Pada Rabu (10/2/2021) siang, tagar Madura, Dayak, dan Sampit menjadi ramai di Twitter. Beberapa warganet menghubungan kejadian terkini dengan peristiwa berdarah di masa silam.
Untuk mengantisipasi konflik horizontal, tersangka menjalani sidang adat pada 4 Februari 2020. Kepala Lembaga Adat Besar Kutai Barat Manar Dimansyah Gamas menetapkan denda 4.120 antang atau guci atau setara Rp1,648 miliar. Tersangka juga diwajibkan membayar proses adat kematian senilai Rp250 juta.
“Kami memberi waktu enam bulan terhitung sejak hari ini untuk menyelesaikannya,” ujar Manar.
Staf Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy menilai penggeseran isu pidana menjadi SARA bisa disebabkan selain karena disinformasi yang berkembang di masyarakat, juga kelalaian aparat saat menangani kasus. Agar apa yang terjadi di masa lalu tak berulang, menurutnya “pemerintah dan aparat harus bergerak cepat melakukan pendekatan demokratis: melibatkan pemimpin masyarakat, pemimpin agama, dan pemimpin adat untuk duduk bersama membahas dan meluruskan masalah.”
Sementara Komisioner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara menyarankan agar para tokoh dari kedua suku dipertemukan dan “hasil pertemuan dibawa sampai ke akar rumput sehingga masyarakat paham hasilnya.”
Beka juga menyarankan agar pemerintah dan aparat mengantisipasi ujaran kebencian dan provokasi SARA lanjutan di media sosial. “Langkah-langkah hukum diperlukan juga untuk antisipasi ujaran kebencian dan provokasi SARA,” ujar Beka kepada reporter Tirto, Kamis.
Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Pol Ade Yaya Suryana menjamin situasi di wilayah hukumnya akan tetap kondusif. “Media harus ikut menjaga stabilitas kamtibmas kondusif, terlebih masalah SARA, jangan justru menjadi pemicu,” imbuhnya kepada reporter Tirto, Kamis.
Polisi sejauh ini sudah berkoordinasi dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) untuk “memberikan imbauan dengan menekankan inti permasalahan adalah tindak pidana kriminal murni.” “Tokoh adat memiliki peran penting memberikan informasi yang akurat dan meredam masyarakat adat untuk menyerahkan pada proses hukum,” jelas Irwan Yuli Prasetyo.
Irwan mengklaim kondisi di Kutai Barat saat ini “kondusif tanpa ada keresahan dan masyarakat melaksanakan aktivitas rutin seperti biasa.”
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino