tirto.id - Kekerasan elektoral yang terjadi dalam konteks penyelenggaraan Pilkada 2024 di berbagai daerah perlu jadi perhatian bersama seluruh pihak terkait. Aksi kekerasan melibatkan pihak pendukung calon kepala daerah atau yang menyasar penyelenggara pemilu harus dimitigasi secara serius. Korban jiwa terkait penyelenggaraan Pilkada merupakan tamparan keras dari pelaksanaan pesta demokrasi di daerah yang masih minim antisipasi.
Konflik antarpendukung calon kepala daerah baru-baru ini terjadi di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Video amatir yang tersebar luas di media sosial menunjukkan kejadian berdarah ini diduga dipicu perbedaan dukungan kepada calon Bupati Sampang. Setelah ada cekcok verbal, kontak fisik menyebabkan satu warga tewas karena sabetan senjata tajam.
Peristiwa berdarah ini seharusnya tidak terjadi bila seluruh pihak terkait memitigasi potensi konflik secara serius. Pesta demokrasi di daerah seharusnya menjadi perayaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dengan sukacita dan adu gagasan. Kasus di Sampang menjadi alarm keras agar pelaksanaan Pilkada 2024 serentak yang kurang dari 10 hari lagi, berjalan damai dan penuh kegembiraan.
Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menilai kontestasi Pilkada memang sering kali lebih kompleks dibandingkan dengan pemilu nasional. Karena, nilai-nilai kedaerahan akan melekat kuat dalam setiap kampanye. Hal ini berpengaruh besar terhadap potret calon pemimpin yang dipersepsikan oleh masyarakat.
Dalam banyak kasus, kata dia, identitas daerah dan afiliasi kultural serta kekeluargaan lebih mendominasi dibandingkan isu-isu kebijakan. Ini membuat keterkaitan warga dengan paslon yang ada di daerah dan sensitivitas emosional pemilih semakin tinggi. Di beberapa daerah yang kaya sumber daya alam, Pilkada bahkan tidak hanya sekadar perebutan kursi politik.
“Namun, juga menjadi ajang perebutan sumber daya ekonomi dan kontrol atas kekuasaan lokal, yang sering kali menimbulkan ketegangan bahkan konflik sosial,” ucap Felia kepada reporter Tirto, Rabu (20/11/2024).
Dalam konteks pembacokan di Sampang yang menewaskan pendukung salah satu paslon bupati, dari sudut pandang politik, paslon tersebut didukung partai pemenang yang memiliki pengaruh besar. Paslon yang dimaksud adalah Slamet Junaidi dan Ahmad Mahfudz, yang didukung salah satunya oleh Partai NasDem yang mengantongi kursi DPRD terbanyak pada Pemilu 2024. Lalu diikuti dukungan PKB dan PKS yang kursinya lumayan diperhitungkan di DPRD Sampang. Menurut Felia, keberhasilan paslon ini meraih dukungan, amat bergantung pada keberpihakan kelompok-kelompok kunci yang memiliki kekuatan politik lokal.
“Dari sana, muncul rivalitas yang tidak sehat yang bisa juga kita hubungkan dengan tingkat kemiskinan dan IPM di Sampang seperti apa, sehingga sampai menimbulkan konflik dan korban,” jelas Felia.
Menurut Felia, calon kepala daerah punya peranan penting mengondisikan pendukungnya agar tidak terlibat dalam konflik atau tindak kekerasan. Karakter berpolitik orang Indonesia cenderung mengedepankan ketokohan daripada visi, misi dan program kerja. Felia menilai, calon kepala daerah punya pengaruh langsung kepada para pendukungnya.
Cakada seharusnya memiliki rasa tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat tentang urgensi menjaga kedamaian selama proses Pilkada 2024. Paslon dapat mengajak warga atau pendukungnya mengedepankan kampanye yang positif, edukatif, serta informatif. Hal ini mendorong masyarakat memilih berdasarkan visi, misi, dan program. Bukan termakan narasi kebencian atau provokasi.
“Penyelenggara pemilu – Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu – harus memperkuat pengawasan terhadap pelanggaran di lapangan, termasuk kampanye yang menggunakan narasi provokatif maupun SARA,” ujar Felia.
Peneliti dari Perludem, Usep Hasan Sadikin, menyampaikan bahwa beberapa daerah sudah dipetakan oleh Bawaslu sebagai titik-titik rawan. Kultur kekerasan elektoral, kata dia, tanda bahwa masyarakat dan elite politik di daerah masih permisif terhadap tindakan kekerasan. Lebih jauh, hal ini juga cerminan suatu negara yang memelihara kultur kekerasan saat pesta demokrasi rakyat dilakukan. Kekerasan elektoral dipandang sebagai persoalan sistemik.
“Di dalam sistem Pemilu ada secara sistemik, semakin sedikit kursi yang diperebutkan maka semakin kompetitif karakter kontestasinya. Dan pilkada ini sebagaimana pilpres kan paslon [memperebutkan] satu kursinya ya,” kata Usep kepada reporter Tirto, Rabu.
Atmosfer pemilu yang kompetitif berpotensi memicu kekerasan jika tidak dilakukan mitigasi. Semakin lokal pemilu diselenggarakan, semakin kental pula kompetisi menampung identitas yang bersifat primordial dan emosional.
Maka, jika ada ketersinggungan yang dipicu oleh elite politik atau pendukung paslon, akan amat mudah mendorong terjadinya aksi kekerasan. Di sini, menurut Usep, urgensi kesiapan dari penyelenggaraan pemilu: KPU dan Bawaslu. KPU harus memastikan hadir memberikan sosialisasi pendidikan pemilih dan memosisikan diri sebagai penyelenggara yang netral.
Di sisi lain, Bawaslu punya tugas untuk mencegah dan menindak pelanggaran pemilu. Sikap Bawaslu yang tegas dan bertaji amat penting membuat peristiwa kekerasan elektoral dapat dihentikan dan tidak menyebar. Menurut Usep, aparat penegak hukum tentu akan siap untuk membersamai penyelenggara pemilu dalam memitigasi kekerasan elektoral.
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, menyesalkan peristiwa warga tewas dibacok di Sampang, Jawa Timur karena berbeda pilihan dalam pelaksanaan Pilkada 2024. Bagja menyebutkan, pelaksanaan Pilkada seharusnya tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Ia menilai nyawa yang hilang tidak setara dengan kontestasi pemilihan kepala daerah.
Menurutnya, terdapat beberapa wilayah lainnya yang rawan timbul konflik antarpendukung Pilkada 2024, seperti: Bangkalan, Nduga, Papua Pegunungan, dan Pegunungan Bintan. Bagja menilai wilayah yang hanya terdiri atas dua paslon, akan lebih rawan konflik daripada wilayah yang memiliki lebih dari dua paslon. Ia menyebut bakal melakukan pengawasan dengan kepolisian terkait potensi konflik.
"Yang terjadi di Sampang itu patut kita sesalkan dan sekarang teman-teman Sentra Gakumdu dan kepolisian untuk melakukan supervisi terhadap perkara ini," ucapnya di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).
Mencabut Akar Kekerasan
Peneliti psikologi sosial di Laboratorium Psikologi Politik UI, Wawan Kurniawan, menyatakan bahwa kontestasi Pemilu atau Pilkada sering mempertegas garis-garis identitas sosial. Baik identitas berbasis agama, suku, maupun ideologi politik. Ketika kelompok merasa terancam eksistensinya, mereka akan cenderung meradikalisasi aksinya mempertahankan status atau dominasi.
Pada beberapa kajian neurosains, kata Wawan, menunjukkan bahwa amygdala — bagian otak yang terkait emosi seperti ketakutan dan kemarahan — lebih aktif saat individu merasa terancam secara identitas. Selain itu, ketidakpercayaan terhadap institusi demokrasi, seperti penyelenggara pemilu, juga dapat memicu respons agresif pendukung paslon atau parpol.
“Penelitian kognitif menunjukkan, ketidakpercayaan dapat meningkatkan hostile attribution bias, di mana individu lebih mungkin melihat tindakan pihak lain sebagai ancaman atau serangan,” ucap Wawan kepada reporter Tirto, Rabu.
Individu cenderung mengidealisasi seorang tokoh atau paslon berdasarkan satu aspek yang dikagumi: seperti kharisma atau pencapaian. Otak, khususnya prefrontal cortex, mengalami cognitive lock-in yang terjadi saat individu mengabaikan informasi negatif yang bertentangan dengan persepsi mereka. Hal ini dapat diperkuat dari pengaruh tokoh politik karismatik yang sering memanipulasi emosi massa melalui retorika.
Menurut Wawan, kekerasan elektoral sering dipicu oleh ketidakpercayaan terhadap proses. Penyelenggara pemilu dapat memperkuat mekanisme transparansi seperti lewat teknologi atau sistem audit yang independen. Mengingat potensi konflik, penyelenggara pemilu harus mengadopsi pendekatan psikologi konflik untuk mendeteksi dan mencegah kekerasan.
Sedangkan aparat penegak hukum, kata Wawan, masih sering gagal dalam mencegah kekerasan karena lemahnya pemetaan potensi konflik. Dibutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dan bersifat preventif seperti adanya pelatihan berbasis psikologi forensik untuk membaca dinamika emosi massa sebelum kekerasan terjadi.
“Pentingnya juga bagi APH, untuk memastikan tindakan mereka transparan dan tidak memihak. Sebab rasa ketidakadilan dalam menangani kekerasan mampu memperkuat siklus kekerasan dan memperparah situasi,” ucap Wawan.
Kornas Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Rendy NS Umboh, mewanti-wanti kepada penyelenggara pemilu dan APH agar bisa sinkron dalam mencegah eskalasi kekerasan elektoral jelang pencoblosan. Menurut Rendy, di masa tenang justru ada peningkatan dugaan pelanggaran pemilu yang masif terjadi. Seperti politik uang, intimidasi, pembagian sembako, perusakan posko pemenangan, hingga intimidasi dari aparat sendiri.
Rendy menilai, pendidikan politik masyarakat masih rendah sehingga amat mudah dipantik emosinya. Penyelenggara pemilu punya tugas bersama elite politik dan parpol agar dapat mencerdaskan cara berpolitik masyarakat. Calon kepala daerah harus menyadari bahwa ia adalah seorang tokoh publik meski belum terpilih sebagai pejabat publik. Artinya, ucap Rendy, mereka perlu menjaga sikap kenegarawanan untuk menjaga kondusifitas Pilkada.
“Pilkada ini pesta rakyat untuk bersenang-senang memilih pemimpin dan senang kedaulatan diberikan hak memilih, harusnya kta berbangga ada di dalam alam demokrasi, bukan saling adu kekerasan,” ujar Rendy kepada reporter Tirto, Rabu.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky