tirto.id - Carok merupakan sebuah tradisi di Madura yang bisa terdengar sangat menakutkan bagi masyarakat daerah lain. Carok dikenal sebagai duel yang dilakukan orang Madura untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Ironisnya, tradisi duel ini sudah menelan banyak korban. Selama kurun waktu tahun 2024, carok dilaporkan sudah beberapa kali terjadi di Pulau Garam.
Salah satu peristiwa terjadi pada tanggal 12 Januari 2024. Setidaknya enam orang terlibat carok di Bangkalan, Madura. Hal ini terjadi sebagai akibat ada pihak yang merasa tersinggung saat mengalami hinaan. Mereka lantas menyelesaikan konflik dengan cara carok hingga menewaskan empat orang.
Kemudian tanggal 30 Juni 2024. Terjadi kasus serupa di Bangkalan. Latar belakang masalah adalah urusan keluarga. Satu orang dilaporkan meninggal dunia. Sementara pada 17 November 2024, carok kembali menelan korban jiwa di Kabupaten Sampang akibat perbedaan pilihan politik menjelang Pilkada.
Masih banyak kasus carok lain yang terjadi di Madura. Lalu, apa itu carok dan bagaimana asal-usulnya? Simak ulasan berikut.
Arti Kata Carok & Motifnya
Carok adalah tradisi duel atau perkelahian antar dua pihak yang sedang berselisih untuk menyelesaikan konflik. Carok biasanya menjadi jalan terakhir bagi masyarakat Madura untuk membereskan suatu masalah.
Menurut jurnal Tradisi Carok Adat Madura dalam Perspektif Kriminologi dan Alternatif Penyelesaian Perkara Menggunakan Prinsip Restorative Justice, yang ditulis Aina Aurora Mustikajati, Alif Rizqi Ramadhan, dan Riska Andi Fitriono terbit November 2021, carok berarti perkelahian dalam bahasa Kawi Kuno.
Carok juga bisa diartikan sebagai ecaca erok-orok yang bermakna dibantai atau dimutilasi (dicacah). Carok tentunya tidak dilakukan tanpa alasan.
Motif utama yang mendasari carok kebanyakan adalah demi mempertahankan harga diri. Tapi ada pula carok yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik lain, seperti sengketa tanah.
Carok umumnya dilakukan laki-laki, bisa secara individu maupun berkelompok. Orang yang terlibat carok juga biasa menggunakan celurit yang menjadi senjata khas Madura.
Carok pun tidak dilakukan sembarangan. Orang-orang yang terlibat harus memenuhi beberapa syarat. Mulai dari memiliki bekal bela diri, tamping sereng (jampi-jampi atau ilmu kebal), hingga banda (modal).
Sejarah Carok Madura
Carok memang sudah menjadi tradisi yang diwariskan turun-temurun di Madura. Namun, istilah carok sendiri baru muncul sekitar abad ke-17 pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Cerita rakyat berkembang mengenai carok di Madura. Konon, carok bermula dari terjadinya perkelahian antara Sakera dengan antek-antek Belanda bernama Markasan dan Carik Rembang. Sakera sendiri dikenal sebagai mandor tebu di pabrik gula milik Belanda.
Pihak Belanda kemudian ingin mencari lahan untuk mengembangkan bisnis pabrik gula. Carik Rembang lantas memilih cara licik untuk mendapatkan tanah warga. Sakera yang tak tega akhirnya membela warga. Tapi, Carik Rembang melaporkan tindakan Sakera kepada pihak Belanda.
Belanda yang tak suka dengan tindakan Sakera kemudian mengutus seorang jagoan bernama Markasan untuk membunuhnya. Duel Sakera dan Markasan tak terhindarkan. Cerita berlanjut setelah Sakera dilumpuhkan. Ia meninggal di tangan Belanda.
Sejak saat itu, sosok Sakera sangat dikenal luas sekaligus menjadi legenda di Madura. Aksi berani yang dilakukan Sakera disebut-sebut menjadi inspirasi warga Madura dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Penyebab dan Alasan Carok
Carok tidak terjadi begitu saja dan ada alasan kuat yang mendasari. Penyebab utama budaya carok adalah rasa harga diri yang tinggi dan martabat masyarakat Madura. Ketika harga diri dilukai, maka carok bisa meletus kapan saja.
Sebuah peribahasa berbunyi katembheng pote mata, ango’a poteya tolang. Secara bahasa berarti ketimbang putih mata, lebih baik putih tulang. Peribahasa ini bermakna daripada menanggung malu, lebih baik berkalang di tanah.
Masyarakat Madura selalu memegang teguh peribahasa itu. Mereka sangat menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan. Apabila ada orang lain yang menghina atau menginjak-injak harga diri pribadi maupun keluarga, maka mereka tak segan-segan untuk melawan.
Banyak faktor yang bisa memicu terjadinya carok. Salah satu adalah ketika kehormatan seorang istri atau anak perempuan dilecehkan. Bagi orang Madura, mengganggu istri orang lain sama seperti dengan cari mati atau bermain nyawa.
Tak hanya menyangkut istri atau keluarga, carok juga bisa terjadi ketika harga diri pelaku carok terluka, muncul perselisihan atau sengketa, hingga persaingan bisnis.
Carok akhirnya dianggap sebagai sebuah pertarungan demi kehormatan. Carok dinilai sebagai satu-satunya cara untuk menegakkan keadilan dalam menyelesaikan suatu masalah.
Bahkan, carok dianggap sebagai bukti kejantanan dan kekuasaan seorang laki-laki. Karena itulah tak sedikit orang Madura yang memiliki sebuah pemikiran: bukan laki-laki jika tidak berani carok.
Penulis: Erika Erilia
Editor: Beni Jo & Yulaika Ramadhani