Menuju konten utama

Carok Massal di Atas Tanah Percaton

Pada 12 Juni 2006, carok massal terjadi di Pamekasan. Tujuh orang tewas, puluhan lainnya luka berat. Salah seorang pelaku mengisahkan riwayatnya.

Carok Massal di Atas Tanah Percaton
Celurit senjata yang biasa digunakan untuk carok. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Pamekasan memang bukan tempat yang indah, tapi juga bukan tempat yang kelewat mengenaskan. Bahwa pernah terjadi peristiwa berdarah di Pamekasan pada 12 Juni 2006, itu tak membuat Pamekasan menjadi tiba-tiba mengerikan. Lagi pula sedikit saja orang luar yang masih mengingat peristiwa brutal itu.

Jadi, untuk sementara, biarkan Pamekasan mengisahkan dirinya sendiri, yang pada dasarnya, tak berbeda dengan daerah lain di Madura. Selepas Juli, cuaca akan berubah-ubah cepat. Pada siang hari, matahari seperti hanya satu dua jengkal di atas ubun-ubun. Namun menjelang sore hari, jangan kaget jika mendung datang tiba-tiba, lantas hujan pun turun.

Bulan Oktober para pemilik lahan mulai menanam cabai dan juga jagung. Beberapa memilih menanam aneka kacang-kacangan. Sekitar dua bulan lalu, karena curah hujan yang tinggi, sejumlah petani merugi karena tanaman tembakaunya gagal panen.

"Kalau sekarang semoga cabai ini hasilnya bagus," kata Yanto, salah seorang penduduk di desa Pakong.

Tapi berjalan sekitar 20 kilometer ke arah utara, semisal di daerah Tembaru atau Pasian, hawanya jauh lebih panas karena merupakan daerah pesisir yang langsung menghadap Laut Jawa. Sebagian besar orang di sana bekerja sebagai nelayan. Ada pula yang menekuni usaha pembuatan petis Madura dan petis hitam.

Ritme kehidupan di Pamekasan cenderung santai dan tenang. Orang-orangnya ramah senyum. Penjual rujak. Penjaja sate. Pengecer DVD karaoke Madura. Penjual buah. Kuli panggul. Petani. Semuanya menyambut hangat orang asing yang datang ke daerahnya.

Orang Pamekasan, seperti manusia dari tempat mana pun, punya ingatan yang kadang terbatas. Yanto lupa kapan pertama kali panen tembakaunya gagal. Solikhin, tetangganya, juga tak bisa mengingat kapan tanggal lahirnya. Sedangkan Misnari, warga Temburu, hanya tertawa kecil karena benar-benar alpa kapan pertama kali joran pancingnya menyaut ikan.

Tapi orang Pamekasan tak akan pernah lupa peristiwa berdarah yang terjadi pada 12 Juni 2006 silam.

Tanah Percaton Berbuntut Carok

Tragedi yang terjadi pada 2006 disebut sebagai salah satu yang paling berdarah-darah di Madura. Carok massal yang terjadi di desa Bujur Tengah, Kecamatan Batu Marmar, menyebabkan tujuh orang tewas dan puluhan lainnya luka berat.

Carok massal ini terjadi karena sengketa lahan tembakau seluas 5,8 hektar. Lahan sengketa berstatus tanah bengkok, tanah yang dipinjamkan sebagai fasilitas kepala desa. Di Madura, tanah ini disebut sebagai percaton, tanah raja yang diberikan untuk desa. Warga Bujur Tengah percaya tanah itu adalah peninggalan Kerajaan Majapahit yang secara turun temurun menjadi tanah milik desa.

Haji Baidlowi adalah mantan klebun (kepala desa) setempat. Dia menganggap tanah percaton sebagai miliknya. Sebab, selagi menjabat, Baidlowi menukar tanah itu dengan tanah miliknya seluas 4,4 hektare. Di tanah itu berdiri sebuah sekolah dasar. Tukar guling ini dianggap sah dan disetujui Pemerintah Daerah Jawa Timur pada 1999.

Beberapa tahun kemudian, jabatan kepala desa mengalami suksesi. Mursyidin, kepala desa yang baru, menganggap tukar guling itu tak sah. Ia meyakini bahwa tanah percaton tak boleh dimiliki secara individual, hanya boleh diperlakukan sebagai hak pakai selama seseorang masih menjabat sebagai kepala desa. Dan sebagai kepala desa yang baru, ia merasa berhak mengolah tanah tersebut. Maka ia pun memerintahkan orang-orangnya untuk menanami tanah percaton tersebut dengan tembakau.

Tak hanya itu, Mursyidin pun mempelajari lagi berkas-berkas proses tukar guling tanah yang diklaim Haji Baidlowi. Mursyidin menemukan tanda tangan palsu. Ia melaporkan kasus ini ke Polres Pamekasan pada Desember 2005. Pengadilan Negeri Pamekasan memvonis Baidlowi bersalah dan menjatuhkan hukuman enam bulan penjara. Namun dua bulan kemudian, Pengadilan Tinggi Jawa Timur menganulir vonis ini.

Permohonan banding yang dikabulkan PN Jawa Timur itulah yang membuat Baidlowi merasa berhak mengambil lagi tanah percaton. Dia mengumpulkan pendukungnya. Rencana ini kemudian beredar luas. Agar tak terjadi konflik fisik, Polres Pamekasan, disertai Polsek dan Camat Batu Marmar, berinisiatif membahas sengketa ini dengan beberapa orang warga. Perkara tanah ini memang rawan berbuntut carok. Pihak kepolisian tahu benar. Karenanya Kapolres Pamekasan kala itu, Ajun Komisaris Besar Adang Ginanjar, menyiapkan beberapa orang polisi di percaton.

HL Carok

Pagi itu, 12 Juni, Mursyidin dan beberapa pendukungnya bermaksud bertemu dengan Baidlowi untuk membicarakan soal tanah. Rumah dua orang petinggi desa ini hanya berjarak sekitar 500 meter saja. Ada enam mobil yang berangkat ke rumah Baidlowi, sisanya berjalan kaki. Tapi ternyata Baidlowi tak ada di rumah. Karenanya, rombongan Mursyidin pun bermaksud pulang.

Tapi baru berjalan beberapa ratus meter, ternyata sudah ada ratusan pendukung Baidlowi yang menghadang. Tentu dengan membawa celurit. Tiba-tiba saja ada suara ledakan bondet, istilah setempat untuk bom ikan. Rombongan Mursyidin buyar dan panik. Sebagian lari. Sebagian lagi melawan pendukung Baidlowi, saling serang dan bacok di atas lahan percaton yang diperebutkan itu.

Mursyidin yang membawa serta ibunya berusaha bersembunyi di sebuah rumah kosong. Tapi usahanya ketahuan. Beberapa orang kemudian menyeret keluar Mursyidin dan kemudian menyerangnya dengan celurit. Sang ibu berusaha melindungi anaknya, tapi turut dihujani sabetan celurit. Ibu dan anak ini pun tewas di tempat.

Polisi yang hanya berjumlah belasan tentu tak bisa berbuat banyak menghadapi ratusan massa yang kalap. Mereka baru bubar setelah ratusan polisi datang. Dari 7 orang korban tewas, 5 orang berasal dari kubu Mursyidin, termasuk Mursyidin dan ibunya. Sisanya pendukung Baidlowi.

Meski banyak disebut sebagai carok massal, banyak orang tak setuju kalau tragedi ini disebut sebagai carok. Pasalnya, carok tak pernah melibatkan perempuan. Di tragedi ini, satu orang perempuan tewas, yakni ibu Mursyidin.

"Ini peristiwa kriminal," kata Adang Ginanjar.

Ada 5 orang yang kemudian ditangkap, termasuk Baidlowi, yang ditangkap dalam persembunyian di tengah hutan Desa Talang Siring. Mereka menjalani hukuman beragam. Dari 8 tahun hingga 13 tahun.

Perjumpaan Dengan Sugali

"Kalau bertemu dengan narasumber yang pendiam dan kalem, hati-hati saja. Biasanya mereka itu jagoan," kata Latief pada suatu malam.

Peringatan soal pendiam dan kalem itu cocok disematkan pada Sugali (bukan nama sebenarnya). Tubuhnya tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 165 centimeter. Badannya sekal. Kumisnya tumbuh lebat, walau bukan kumis baplang. Kulitnya langsat. Suaranya kecil. Saat berbicara, dia seperti segan memandang lawan bicara. Pandangannya selalu diarahkan ke bawah.

Sugali juga orang yang polos dan baik hati, seperti stereotipe yang banyak dilekatkan pada orang Madura. Karena sifatnya yang polos dan cenderung naif itu, Sugali beberapa kali pernah tertipu.

Suatu malam, dia sedang dalam perjalanan pulang dari Sumatera menuju Jawa dengan bus umum. Saat bus yang dia tumpangi sedang antre untuk menyeberang ke Pelabuhan Merak, naiklah seorang perempuan dengan wajah melas. Dia bilang baru saja kecopetan, semua barang berharganya hilang. Yang tersisa hanya kalung emas saja.

Dari narasi yang diceritakan sang perempuan, kita tahu bahwa itu modus yang sering dipakai untuk menipu. Awalnya karena kasihan, Sugali memberinya uang Rp100 ribu. Tapi si perempuan terus merengek, minta agar kalungnya dibeli seharga Rp1 juta.

"Ini emas asli," bujuk si perempuan, "kalau dijual ke toko emas bisa laku mahal."

Didorong oleh rasa kasihan, dan dibutakan oleh kepolosan, Sugali dengan enteng saja mengeluarkan sepuluh lembar uang bergambar Soekarno Hatta hasil bekerja di Sumatera. Rencananya dia akan menjual emas itu sesampainya di Madura. Terbayang laba di pelupuk mata.

"Boh, sampai Madura saya dikasih tahu pemilik toko emas kalau itu imitasi," katanya tertawa pendek. Tak tampak rasa kesal atau marah.

Meski sama sekali jauh dari kesan sangar, Sugali dikenal sebagai jago. Di Madura, sebutan orang jago diberikan untuk orang yang menang carok. Semakin dia tak pernah kalah, semakin mentereng pula citranya di mata orang-orang. Ia salah seorang pendukung Baidlowi dan dari sanalah ia mencicipi dinginnya lantai penjara selama 5 tahun 5 bulan.

Dia masih ingat betul carok pertamanya. Terjadi pada 1998, saat ia masih remaja. Sugali sedang berjalan bersama beberapa kawannya untuk menonton layar tancap. Di tengah jalan, dia bertemu beberapa remaja dari desa tetangga. Dua desa ini memang dikenal sebagai musuh bebuyutan. Seringkali ada pertengkaran, yang juga berujung carok. Begitu pula malam itu.

Empat orang rombongan Sugali melawan tiga orang pemuda desa sebelah carok setelah cek cok. Dua orang tewas. Sugali termasuk yang ikut membunuh salah satu musuh. Dia baru berusia 17 tahun saat pertama kali membunuh orang dengan celurit.

"Waktu itu takut ya iya. Tapi bukan takut karena membunuh atau takut keluarga musuh balas dendam. Cuma takut dipenjara saja," katanya lempeng.

Sugali pun digelandang ke penjara. Dia dijatuhi hukuman 8 tahun. Setelah bebas, Sugali melanglang ke berbagai daerah menekuni beragam pekerjaan. Termasuk merampok, yang membuatnya dipenjara untuk kali kedua. Pemenjaraan yang kedua berlangsung selama 4 tahun.

Sebagai jago yang berkali-kali menghadapi serangan senjata tajam, rasanya mengherankan kalau Sugali tak pernah punya bekas luka. Sama sekali. Dalam carok, dikenal yang namanya tampeng sereng. Ini jimat yang dipakai agar kebal. Para jago biasanya punya pagar, alias jimat yang didapat dari dukun carok. Kyai yang dipercaya sakti biasanya melakukan nyabis, sejenis ritual untuk mengisi mantra ke pelaku carok. Tapi Sugali mengaku dia tak punya jimat.

"Biasanya kalau mau carok, saya pasti pamit ke ibu saya. Nanti dikasih air untuk diminum. Itu saja. Saya tak pernah nyabis ke Kyai," kata Sugali.

Sugali paham kalau dia punya banyak musuh. Terutama dari keluarga musuhnya yang sudah dia bunuh. Karena itu dia selalu membawa celurit ke mana-mana. Bahkan ke kamar mandi. Celurit andalannya sangat intimidatif. Panjangnya sekitar 60 centimeter. Dengan ujung yang melengkung tajam.

Masuk penjara tiga kali dan menghabiskan lebih dari 17 tahun di dalam penjara, membuat Sugali paham betul karakter manusia. Termasuk mereka yang mengaku bajingan, preman, ataupun jago. Baginya, kalau mau menjadi jago dalam jagat carok, orang harus bersiap menyerahkan segalanya.

"Jadi jagoan itu bukan sekadar jadi jagoan. Harus siap mati," katanya pendek.

Baca juga artikel terkait CAROK atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS