tirto.id - Soleh terdiam beberapa saat. Pandangan terlihat kosong. Dia sedang mengingat lagi peristiwa yang terjadi pada 2007 silam.
Saat itu dia baru saja pulang dari sawah. Setelah menaruh barang bawaannya, pria yang menderita katarak ini berjalan menuju kamar. Tanpa diduga, seseorang menyergapnya dan mengayunkan celurit. Luput. Hanya kena bagian belakang lutut, membuat bagian fibullar collateral ligament-nya robek.
Kaget, Soleh refleks berusaha merebut celurit. Suasana gaduh terjadi. Lelaki yang menyergap Soleh adalah selingkuhan istrinya. Karena suasana gaduh itu, para tetangga yang kebetulan saudara Soleh berdatangan. Mereka kaget melihat Soleh bergumul dengan pria yang ternyata adalah pemilik sawah yang digaraP Soleh. Setelah bergelut beberapa saat, dibantu tiga orang saudaranya, Soleh berhasil merebut celurit musuh.
Dengan mata yang gelap --baik harfiah maupun literal-- Soleh mengayunkan celuritnya ke tubuh lawan. Jleb! Dua kali. Tiga kali. Jleb! Jleb! Hingga lawannya mati bersimbah darah.
"Setelah itu saya lapor polisi," katanya pelan, dalam bahasa Madura. Karena perbuatannya ini, Soleh dipenjara selama 2 tahun. Ia bebas pada 2009. Setelah itu Soleh menceraikan istrinya yang selingkuh itu, kemudian menikah lagi.
"Apa ya. Soleh itu orangnya polos. Sebelum ini dia enggak pernah berkelahi. Tapi ini masalah kehormatan," kata Ja'i, saudaranya yang ada di tempat kejadian saat insiden berlangsung. Ja’i juga dituntut membantu usaha pembunuhan. Dia dihukum lima bulan penjara.
Perempuan Dalam Kultur Madura
Dalam kultur Madura, perempuan menempati posisi yang unik. Sastrawan Madura Abdul Hadi WM, dalam wawancara dengan Franditya Utomo, mengatakan bahwa posisi perempuan dalam kultur Madura mungkin tidak setinggi seperti di Bugis. Tapi perempuan Madura punya hak yang membuatnya nyaris sejajar dengan lelaki.
Perempuan Madura, misalkan, berhak mengusir suaminya dari rumah kalau tidak memberi nafkah dan tidak pulang selama tiga bulan. Beberapa perempuan Madura juga punya ilmu santet, sehingga kalau suaminya selingkuh maka sang istri bisa membuatnya impoten. Abdul Hadi pun mengatakan perempuan Madura adalah perempuan pekerja. Saat suaminya bekerja jauh, misalkan merantau atau melaut, maka istrinya yang akan berladang, atau membatik, untuk menambah penghasilan.
Dalam kultur Madura, perempuan juga amat dihormati. Jika Nabi Muhammad mengatakan ibu tiga kali untuk merujuk orang yang harus dihormati, orang Madura mengenal bepa', bebhu', guru, ratoh (bapak, ibu, guru, raja) sebagai orang yang harus dihormati. Ibu harus dihormati melebihi hormat orang Madura pada guru ataupun raja.
Orang Madura juga punya penggambaran yang sangat puitis terhadap perempuan. Karena itu ada istilah meltas panjhelin, alias lambaian rotan, untuk menggambarkan cara berjalan perempuan yang indah. Selain itu ada pula ungkapan bagi keindahan dan kecantikan perempuan dalam kultur Madura: duh tang malate', ta’ gegger polana ojen, ban ta’ elop polana panas are. Kalau diartikan, "Oh bunga melatiku, yang tak gugur karena hujan dan tak layu karena terik matahari."
Karena posisi perempuan Madura yang amat dihormati, sebagian besar alasan carok adalah perkara perempuan. Perempuan adalah simbol harga diri bagi lelaki Madura. Mengganggu perempuan, itu berarti mengusik harga diri. Maka carok adalah penyelesaiannya.
"Ini kan menandakan kalau posisi wanita lebih tinggi ketimbang pria. Karena pria mau berkorban nyawa untuk membela wanita," kata Latief Wiyata, penulis buku Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.
Dalam buku Carok, disebutkan bahwa di Kabupaten Bangkalan, tempat penelitian Latief selama tiga tahun, motif carok adalah gangguan terhadap istri. Pada 1990 hingga 1994, ada 60,4 persen kasus carok yang berlatar belakang gangguan pada istri. Sisanya baru masalah utang piutang (9,2 persen), salah paham (16,9 persen), masalah tanah atau warisan (6,7 persen), atau perkara lain (6,8 persen).
Salah satu kasus yang ditulis Latief terjadi di Desa Rombut, Bangkalan, pada akhir 1999. Kejadiannya menjelang buka puasa Ramadhan. Carok ini melibatkan Mat Tiken (45) melawan dua orang yang masih saudara sepupu, yakni Kamaluddin (32) dan Mokarram (38).
Mat Tiken dikenal sebagai blater, yakni sebutan untuk orang yang perilakunya "...mengarah ke tindakan kriminal, seperti berjudi, mabuk-mabukan, dan main perempuan (melacur)." Menurut Latief, biasanya blater memiliki sifat pemberani. Ada elemen jago, atau jawara, dalam kepribadian seorang blater.
Dalam kultur Madura, blater menempati posisi yang khusus, seperti halnya kyai. Walau tidak selalu dihormati dengan sungguh-sungguh, namun blater selalu disegani. Tidak jarang mereka memiliki pengikut. Keberaniannya, juga kemampuannya dalam bela diri, apalagi jika sudah memiliki pengikut, membuat blater niscaya memiliki pengaruh hingga ke ranah pemerintahan, dari level desa hingga kecamatan.
Mat Tiken diketahui punya hubungan asmara dengan Sutiyani (25), istri Kamaluddin. Mengetahui istrinya selingkuh, Kamaluddin marah dan berniat mencarok Mat Tiken. Dia mengajak Mokarram untuk kemudian ngongghai (mendatangi rumah orang yang akan diajak carok) Mat Tiken.
Karena Mat Tiken dikenal sebagai jagoan yang punya kemampuan bela diri cukup baik, dua orang penantangnya tewas dengan sejumlah luka bacok di tubuh, terutama di bagian tubuh. Sedangkan Mat Tiken hanya mengalami luka ringan --yakni luka bacok sepanjang 10 centimeter di bahu kiri, dan jari kelingking kiri yang hampir putus.
Menurut pengakuan Mat Tiken pada Latief, setelah musuhnya tewas, Mat menjilati sisa darah yang masih menempel di celuritnya. Ini adalah perwujudan dari ungkapan Madura, lokana daghung bisa ejahi', lokana ate' tada' tambhana kajhabhana ngero' dara, alias "kalau daging yang terluka masih bisa diobati, tapi kalau hati yang terluka tak ada obatnya kecuali minum darah".
Antara Harga Diri dan Ego Lelaki
Meski posisi perempuan amat dihargai di Madura, tak bisa ditampik kalau kultur mereka menempatkan perempuan di bawah lelaki. Meski perempuan Madura ikut bekerja, semisal di ladang atau membatik, mereka juga terikat dengan anggapan bahwa tempat perempuan Madura ada di kasur, sumur, dan dapur. Tak jauh berbeda dengan konsep kanca wingking dalam kultur Jawa, yang menganggap kodrat perempuan adalah mengelola urusan rumah tangga, semisal mengurus anak, memasak, dan melayani suami di ranjang.
Peran perempuan pun juga dibatasi dalam kultur Madura. Hal ini tampak dalam carok. Menurut Huub de Jonge, peneliti Belanda yang pernah berkegiatan di Pusat Kajian Madura, carok hanya bisa dilakukan oleh lelaki. Bukan lelaki melawan perempuan. Apalagi perempuan melawan perempuan. Jika ada pertengkaran antara lelaki melawan perempuan, atau perempuan melawan perempuan, maka itu dianggap sebagai atokar (perkelahian) biasa, atau mate'e oreng (membunuh orang).
"Karena itu, kadang ada perempuan yang ngomong, 'Coba saya lelaki, sudah kucarok kamu’," kata Latief.
Menurut Latief, posisi perempuan yang berada di luar lingkaran carok ini juga dipertegas dengan ungkapan, oreng lake' mate acarok, orang bine' mate arembi. Artinya adalah lelaki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan anak.
Karena itu pula, dalam setiap carok, perempuan selalu tidak dilibatkan. Seperti dalam kasus yang menimpa Soleh. Meski Soleh diselingkuhi, berbuntut carok yang menyebabkan lawan Soleh tewas, sang istri sama sekali tidak dilukai oleh Soleh.
"Bagaimanapun, dia kan pernah jadi istri saya dan jadi ibu dari anak-anak saya," kata lelaki yang sekarang berusia 60-an ini.
Hal ini tentu menarik. Artinya, seorang lelaki Madura masih pantang melukai perempuan. Apalagi istrinya sendiri. Meskipun perempuan itu telah menyelingkuhinya. Namun di sisi lain, perempuan bisa menjadi simbol "kepemilikan" seorang lelaki.
Misalkan begini. Seorang pria baru saja bercerai dengan istrinya. Kemudian mantan istrinya akan menikah lagi. Jika calon suami barunya tidak meminta izin kepada suami lama, tak jarang ini bisa menimbulkan cek cok. Jangankan yang sudah pernah menikah. Carok juga bisa terjadi andai ada sepasang tunangan yang putus, kemudian tunangan barunya tidak meminta izin kepada yang lama.
"Jadi seolah-olah seorang pria kalah dengan pria lain dalam hal merebutkan perempuan," kata Latief. Alasan lain adalah perihal aib. "Ada ketakutan kalau mantan istri atau mantan tunangannya itu akan menceritakan aib mantan suaminya pada suami barunya." Karena itu, untuk mencegah konflik, calon suami lama ini seharusnya meminta izin pada mantan suaminya.
Ini artinya, dalam kultur Madura, perempuan adalah hak milik lelaki. Karena dianggap sudah menjadi hak milik lelaki, maka ia menjadi perkara harga diri jika hak miliknya diganggu. Motif carok memang selalu dilatarbelakangi pelanggaran hak kepemilikan. Mulai dari tanah, warisan, hingga tentu saja perempuan. Entah itu istri atau tunangan.
Maka jika perempuan miliknya diusik, seorang lelaki Madura rela melakukan carok demi menebus rasa todus-nya. Bahkan tak jarang carok ini melibatkan anggota keluarga yang lain.
Seperti yang terjadi pada kasus Kamaluddin dan Mokarram yang berakhir dengan kematian keduanya. Kata para tetangganya, perbuatan dua orang ini sia-sia karena menantang seorang jagoan carok, seorang blater. Ter-ater nyaba, kata mereka. Alias mengantarkan nyawa secara percuma.
Namun tentu, seperti yang selalu dijunjung orang Madura, lebih baik mati ketimbang menanggung malu. Perbuatan dua orang itu tentu tidak sia-sia, setidaknya berdasarkan alam pikiran “lebih baik berputih tulang ketimbang putih mata”.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti