tirto.id - Tirto menemui Latief Wiyata di rumahnya, di bilangan Kebraon, Surabaya. Dia kurang sehat malam itu. Suaranya sedikit serak. Sering pula terbatuk. Namun pensiunan dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember ini tetap bersemangat jika berbicara soal carok.
Sebagai lelaki Madura, dia merasa banyak salah paham yang beredar soal carok. Ia banyak tidak sependapat soal carok. Misalkan, banyak orang menganggap semua orang Madura yang berkelahi disebut carok.
"Padahal ada pula atokar," kata Latief, "yang merupakan pertengkaran biasa."
Latief lahir di Desa Parsanga, Sumenep. Dia tinggal di Sumenep hingga lulus SD. Selepasnya dia pindah ke Pamekasan, kemudian melanjutkan SMA di Bangkalan. Latief melanjutkan studi di jurusan Administrasi Negara, FISIP, Universitas Jember. Kemudian mengambil jurusan Sosiologi di Universitas Indonesia untuk program pascasarjana, dan mengambil program Doktoral di bidang Antropologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Banyak kajiannya mengambil tema Madura, tanah kelahirannya. Latief pernah menulis beberapa buku. Tapi kalau boleh memilih satu yang paling berpengaruh, itu adalah buku Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Buku ini pertama kali diterbitkan LKis Yogyakarta pada 2002. Kemudian dicetak ulang pada 2006.
Buku ini merupakan hasil penelitian yang panjang dan intensif. Latief menghabiskan waktu sekitar 3 tahun hingga buku ini selesai. Buku ini menjadi rujukan banyak orang yang ingin memahami carok. Hingga sekarang, belum ada lagi buku yang membahas carok sedalam buku milik Latief.
Sebagai orang Madura, ia mengaku menghadapi kepelikan saat meneliti tentang kampung halamannya. "Saya harus bisa memisahkan, kapan saya jadi orang Madura, dan kapan harus jadi peneliti," katanya. "Soalnya kalau tidak begitu, nanti jadi bias."
Namun ada kalanya, dalam menulis penelitiannya, dia harus bersikap sebagai orang Madura. Hal ini terutama untuk menjelaskan istilah yang tidak bisa diterjemahkan. Misalkan kata todus dan malo. Kalau dialihbahasakan, dua kata itu punya arti yang sama: malu. Tapi keduanya mempunyai pengertian yang berbeda.
"Harus ditulis malo. Kalau malu, beda artinya," katanya tegas. "Kalau todus itu segan, malo berkaitan dengan harga diri.”
Malam itu Tirto berbicang banyak dengan Latief tentang kultur Madura, carok, hingga apa yang ingin dia teliti lebih mendalam di waktu-waktu mendatang.
Orang Madura selama ini digambarkan polos, suka bercanda, lucu, tapi di satu sisi juga diidentikkan dengan kekerasan. Bagaimana pandangan Anda?
Anda harus tahu, di mana ada masyarakat dengan tradisi kekerasan, di sana ada tradisi humor yang berkembang. Biasanya begitu. Di Jakarta, misalkan. Orang Betawi dianggap orang yang keras. Tapi mereka juga orang yang humoris. Ya semacam penyeimbang.
Selain Anda, apakah ada orang lain yang sudah meneliti carok secara mendalam dan menerbitkannya sebagai buku tentang carok?
Kalau soal carok, buku soal carok, saya pikir belum ada. Saya justru mengharapkan adanya buku tandingan. Ada seorang peneliti dari Prancis, Glenn Smith, yang lama tinggal di Indonesia dan Madura. Dia tertarik meneliti carok. Tapi sampai sekarang belum selesai, sudah 15 tahun.
Kenapa anda tertarik meneliti carok?
Ya karena ini gejala yang sangat fenomenal, yang hingga saya menelitinya, belum ada penelitian yang mendalam. Hanya pengamatan, atau artikel di koran. Akhirnya tidak jelas apa itu carok. Jadi saya ingin meneliti, apa sebenarnya carok. Saya menelitinya tiga tahun.
Sebelumnya, belum ada yang menjelaskan soal konsep todus dan malo ini. Padahal itu adalah konsep penting, konsep kunci untuk memahami carok.
Selama meneliti carok, apa konsep yang sering disalahpahami?
Mereka menganggap semua konflik kekerasan itu carok. Padahal ada carok, ada atokar alias pertengkaran biasa. Kalau carok itu salah satu indikatornya jelas. Faktor utamanya karena malo. Jelas itu. Kedua, harus luka berat atau mati. Baru itu dikatakan carok. Yang ketiga, carok itu dilakukan oleh laki-laki, bukan perempuan.
Bukan berarti perempuan Madura tidak mau mempertahankan diri dengan kekerasan. Bisa, cuma ada kendala kultural. Oleh karena itu ada ucapan, "sayang aku ini perempuan, kalau aku lelaki, aku carok kamu." Ini bukti kalau perempuan bisa, tapi ada kendala kultural.
Karena itu carok adalah yang dilakukan laki melawan laki. Sesama orang Madura. Dengan orang lain, saya belum mendapat kejelasan bahwa apakah perkelahian dengan suku lain itu disebut carok. Dan carok itu dilakukan di Madura. Hanya di Madura.
Jadi secara konsep, carok itu harus orang Madura melawan orang Madura?
Iya, gitu. Mungkin bisa dikatakan sebagai reproduksi carok. Kalau dikatakan apakah sekarang tidak ada carok, ya masih banyak. Di tingkatan elite dan akar rumput mungkin berbeda (pemahamannya).
Kalau di akar rumput pemahamannya seperti apa?
Ya konflik kekerasan dan berakhir pembunuhan. Sedangkan di elit ya berbeda. Makanya harus berhati-hati dengan terminologi itu.
Ada banyak orang berkata anak muda sekarang mulai meninggalkan carok. Tapi Anda pernah bilang selama orang Madura masih punya harga diri, carok masih akan ada?
Iya, masih. Carok itu, kan, membela harga diri. Mungkin sekarang harus dijelaskan pembelaannya. Mungkin sudah berubah. Bergeser. Tapi yang tak berubah, kalau harga diri orang Madura terusik, mereka akan bersikap.
Dalam kultur Madura, apakah ada penyelesaian lain terkait masalah harga diri ini?
Sampai saat ini ya tak ada. Paling ya penyelesaian hukum. Tapi itu pun masih bisa direkayasa.
Carok itu lebih dekat pada kebanggaan karena membela harga diri, ataukah akhirnya setelah carok dia merasa malu karena melakukan perbuatan kriminal?
Dalam konteks Madura, pelaku carok biasanya puas. Karena dia bisa menebus harga diri yang terusik. Ya walaupun itu dari kacamata hukum salah. Tapi ini, kan, bukan masalah hukum semata. Banyak kejadian kalau orang itu sudah carok dan menang, dia menjadi orang kuat yang disegani.
Apakah para pelaku sadar bahwa carok ini akan melahirkan dendam?
Kalau dendam ada. Itu sebabnya ada juga kejadian begitu dia keluar dari penjara, dibunuh oleh musuhnya. Dendam turunan itu ada. Dan yang lebih parah dulu, sekarang sih sudah sulit, alat celurit yang dipakai membunuh itu disimpan. Sebagai kebanggaan bagi anak cucu. Sekarang sih itu sudah tidak bisa, dijadikan alat bukti.
Jadi ketika saya meneliti, saya menemukan beberapa informan yang membanggakan celurit orang tuanya. Masih disimpan. Sampai darahnya menghitam. Dulu, orang juga membanggakan luka bekas carok. Jadi semacam kebanggaan. Karena dia betul-betul sudah carok. Tapi tidak tahu kalau sekarang.
Anda mendapatkan privilege sebagai orang Madura saat melakukan penelitian dan mencari narasumber penelitian?
Belum tentu. Bisa jadi narasumber itu kadang melebih-lebihkan, untuk mempertegas carok itu benar atau membangun citranya. Jadi harus hati-hati untuk penelitian sosial. Juga harus diseleksi. Waktu ke sana, saya tidak menunjukan sebagai peneliti. Saya pakai baju biasa. Bahkan orang mengira saya penjual keliling. Saya ke warung, ngopi. Ya ngobrol biasa. Tidak formal.
Pengalaman saya, pakai alat rekam itu bikin orang tidak mau cerita. Selain itu juga tidak efisien. Soalnya kita harus mendengarkan lagi rekamannya. Rekaman bagus kalau untuk mengingat.
Dari hasil penelitian, biasanya apa yang menyebabkan carok?
Pertama perempuan, kedua urusan warisan. Ketiga urusan kerja, misalkan rebutan air. Di Madura, kan, gersang. Jadi termasuk sumber-sumber daya yang langka itu menjadi potensi terjadinya konflik carok.
Orang Madura itu akan marah kalau istri diganggu. Atau bekas istri dikawin oleh orang lain, ada semacam aturan minta izin ke mantan suaminya. Kalau tidak dilakukan, bisa menimbulkan konflik. Sebab takutnya aib suaminya akan diceritakan oleh istri. Begitu pula dengan bekas tunangan. Harus ada lapor, izin.
Sebagai orang Madura, menurut Anda apakah penyelesaian carok masih relevan di masa sekarang?
Ini, sih, bukan soal perlu atau tidak. Saya bilang, mungkin sekarang frekuensi carok itu berkurang. Tapi substansinya tetap: membela harga diri. Bagaimana realisasinya? Ya sekarang reproduksi carok. Kalau dulu, kan, orang langsung membunuh. Setelah saya pulang dari lapangan, ada kasus orang yang ditabrak dulu pakai mobil. Jadi diintai, terus ditabrak. Baru dibacok. Alibinya, dia ketabrak mobil. Ini kan reproduksi carok. Tapi substansinya tetap.
Sekarang dengan perkembangan handphone, ada yang berubah. Kalau dulu, kan, diincar. Tapi dengan adanya teknologi, pasti ada yang berubah. Saya belum tahu perubahannya seperti apa.
Carok itu tidak melulu duel berhadapan?
Iya, bisa dibacok dari belakang. Istilahnya: nyelep. Kebanggaan mungkin berkurang, tapi kepuasannya tetap, bisa menghabisi musuh besar. Tapi memang orang-orang sekarang, sih, tidak mempersoalkan proses. Yang penting musuh mati.
Ada tidak kasus carok yang berakhir damai setelah mediasi, misalkan oleh kyai?
Tidak pernah ada. Ada kasus sih seperti itu. Tapi karena mereka keluarga kyai. Di Pamekasan waktu itu.
Kalau anda punya kesempatan untuk meneliti tentang carok lagi, apa yang akan anda lebih dalami?
Ya banyak hal. Di buku saya itu, saya kurang membahas posisi wanita dalam kultur Madura. Bagaimana tingkat pemahaman orang Madura tentang agama. Hanya sekilas-sekilas. Sebagai penguat argumen saja. Juga makna celurit dan sholawat. Itu tidak saya dalami.
Juga tentang wanita. Di budaya Madura, wanita itu kan dilindungi. Kenapa harus dengan carok? Ini, kan, menandakan posisi wanita lebih tinggi ketimbang pria. Kenapa? Karena lelaki mau berkorban untuk membela wanita. Ini belum sempat saya eksplor lebih dalam. Ini perlu dieksplor lagi.
Saya ini bingung. Orang Madura, kan, dikenal beragama, taat pula. Tapi herannya, sebagian besar carok ini terjadi di kawasan pondok pesantren. Saya enggak tahu kenapa. Apa karena pendidikan agamanya kurang baik, atau ajarannya yang kurang berhasil.
Tapi tentu waktu itu saya tidak mungkin mengeksplor semuanya. Nanti malah enggak selesai. Karena keterbatasan waktu, ya biarlah hal-hal itu jadi pekerjaan rumah ilmuwan yang lain. Saya akan lebih senang kalau buku itu menginspirasi orang lain untuk membuat buku yang sejenis.
Sampai sekarang saya masih mengharapkan buku lain tentang carok sebagai komparasi. Buku yang serius yang lahir dari penelitian yang mendalam. Tapi sampai sekarang belum ada.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS