Menuju konten utama
6 Februari 2011

Pembunuhan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik

Negara berperan melegitimasi kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah hingga terjadi serangan mematikan di Cikeusik pada 6 Februari 2011.

Pembunuhan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik
Ilustrasi Mozaik Tragedi Cikeusik. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dalam parade kebencian terhadap jemaat Ahmadiyah, tak seorang pun mengira puncak kekerasan itu terjadi di Cikeusik, sebuah desa terpencil di Banten, pada 6 Februari 2011, tepat hari ini 10 tahun lalu. Semua perhatian saat itu tertuju ke Pulau Lombok, tempat puluhan keluarga Ahmadiyah terpaksa mengungsi di Transito dalam gelombang pengusiran sejak 2001.

Terutama setelah Majelis Ulama Indonesia menegaskan fatwa anti-Ahmadiyah pada 2005, dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono merilis aturan pidana bagi kegiatan ajaran Ahmadiyah pada 2008, gelombang kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah Indonesia menjalar ke berbagai wilayah, bergerak gencar dari Lombok hingga Jawa Barat, dari Makassar hingga Riau.

Di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, sekitar tujuh jam perjalanan mobil dari Jakarta, gerakan anti-Ahmadiyah telah menemukan target pengusiran. Menamakan diri Gerakan Muslim Cikeusik, berisi sejumlah kiai dari berbagai tempat di Pandeglang, mereka telah merencanakan untuk "membubarkan" Ahmadiyah.

Ahmadiyah masuk ke Cikeusik melalui mubalig Khairuddin Barus pada 1994. Perkembangannya sempat terhenti ketika Barus pindah tugas ke Papua Nugini. Kemudian Ismail Suparman, warga Cikeusik, pulang dan melanjutkan peran Barus. Beberapa saudaranya masuk Ahmadiyah. Maka, di kampung yang takkan diketahui dalam peta pemberitaan seandainya tak ada serangan mematikan ini, ada lima keluarga yang berbaiat sebagai jemaat Ahmadiyah, semuanya punya ikatan saudara, terdiri dari 25 orang. Rumah Suparman menjadi pusat kegiatan Ahmadiyah di Cikeusik.

Sejak November 2010, Suparman telah dipaksa oleh para pejabat desa hingga camat, dari polisi hingga militer dan MUI, agar mau membuat pernyataan membubarkan Ahmadiyah. Ia bahkan diancam, "Kalau masih ada orang Ahmadiyah di Cikeusik, keselamatan kalian terancam."

Sepanjang Januari hingga awal Februari 2011, ancaman itu berupa teror, melalui pesan singkat, termasuk dari pejabat intelijen di instansi pemerintah Pandeglang.

Kapolres Pandeglang Alex Fauzy telah “mengamankan” Ismail Suparman dan istri serta seorang anak mereka pada 5 Februari. Alasan polisi, istri Suparman yang berkewarganegaraan Filipina telah “melanggar status keimigrasian.” Namun, alasan lain yang diketahui Suparman setelah tiba di kantor polisi bahwa dia “diamankan” karena ada isu penyerangan “warga” terhadap Ahmadiyah Cikeusik. Suparman marah, “Mengapa tidak saat mendatangi rumah saya diberitahu?” Ia mencemaskan saudara-saudaranya di rumah.

Kabar bakal “ada serangan terhadap jemaat Ahmadiyah cabang Cikeusik” inilah yang kemudian diterima oleh Deden Sudjana.

Sudjana, seorang Ahmadi—sebutan bagi muslim Ahmadiyah—yang tinggal di Jakarta, memimpin rombongan dari Bogor, Jakarta, dan Serang untuk pergi ke Cikeusik. Rombongan ini berjumlah 17 orang, menaiki mobil APV dan Kijang Innova. Di antara mereka ada Roni Pasaroni, Tubagus Chandra, dan Warsono. Ketiganya kelak tewas di lokasi kekerasan.

Mereka tiba di rumah Suparman sekitar pukul 8 pagi dan bertemu dengan enam jemaat Ahmadiyah yang masih bertahan di kampung. Cuaca mendung dan gerimis. Mereka sarapan dan rehat.

Seorang bintara tingkat dua, ajun inspektur bernama Hasanudin yang berpakaian sipil, mendatangi rombongan Deden Sudjana. Dalam rekaman peristiwa sebelum serangan mematikan itu, Hasanudin mengobrol dengan Sudjana. Ia menyebut Gerakan Muslim Cikeusik telah mengultimatum kepolisian agar Ahmadiyah Cikeusik “harus bubar” dalam waktu seminggu. Sebelum mendatangi rumah Suparman, sebagai kepala unit reserse kriminal dari Polsek Cikeusik, Hasan “telah memonitor” gelombang massa menuju Kampung Peundeuy. Ia berkata telah mengerahkan pasukan dari Polsek dan Dalmas Polres Pandeglang. Ia memperhitungkan kekuatan. Jika sedikit massa yang datang, polisi bisa mencegahnya. Tapi, jika ada 100 atau 1.000 orang, polisi tidak dapat membantu.

“Apa boleh buat,” kata Hasan, sambil memberi saran kepada Sudjana, “untuk menghindar atau tidak melakukan perlawanan.”

Sudjana menolak saran Hasan dengan alasan rumah Suparman adalah “aset Ahmadiyah yang harus dipertahankan.”

“Saya datang ke sini karena isunya rumah mau diobrak-abrik oleh sekelompok orang… Kenapa harus membenci Ahmadiyah? Apa salahnya? Kalau tidak suka … Jangan membakar, mengusik, memaki, menimpuk, melempar. Ini negara hukum."

“Kalau bapak bisa berdiri di atas semua golongan, saya terima kasih sekali.”

Penyerangan

Segera setelah obrolan antara Hasanudin dan Deden Sudjana, sekitar pukul 10:31, massa dari arah jembatan bergerak ke rumah Ismail Suparman. Sebagian dari mereka memakai pita berwarna biru dan hijau. Ada yang menyiapkan golok di balik jaket. Deden Sudjana semula meladeni mereka, dengan menangkis pukulan, dan rombongannya melempari batu. Massa mundur. Mereka mengeluarkan golok dan mengacung-acungkan ke udara. Mereka teriak “kafir” berkali-kali. Mereka mendesak rombongan Sudjana.

Mula-mula massa berjumlah 500-an orang, kemudian bertambah 1.500-an orang. Rombongan Sudjana, yang bertahan dengan batu dan hanya 17 orang, terdesak. Menyelamatkan diri ke sawah di belakang rumah. Dalam satu jam sesudahnya, rumah Suparman hancur seketika. Kedua mobil dibakar. Rombongan Sudjana dikejar-kejar. Ada yang dipukul, dilempari balok dan batu besar, ditikam, dihantam dengan benda-benda keras lain, ada yang pingsan, ada yang nyaris mati, dan ada yang tewas di tempat.

Seorang saudara perempuan Suparman, yang terjebak dalam serangan mematikan ini, mengusir histeris massa penyerang sembari mencari-cari saudaranya. Ia menarik-narik polisi--yang diam saja melihat adegan kekerasan dan perusakan--agar membantunya untuk menghentikan massa. Ia menjerit-jerit merentangkan tangan agar massa tak mengejar rombongan Sudjana.

Sementara anaknya, saat itu berumur 15 tahun, kalut dan lari dan bersembunyi, mendapati saudaranya di balik parit sungai, lalu berjalan mengendap-endap menyusuri batang sungai, berenang melintasi jembatan, kemudian bersembunyi di sebuah rumah. Seluruh keluarga Suparman selamat. Seluruh keluarga ini nantinya diungsikan ke wilayah aman di Tangerang.

Kelak, dalam kesaksian terpisah, dua dari 17 orang rombongan Deden Sudjana dicegat massa saat melarikan diri, dipukuli sambil dibawa ke kantor kecamatan. Di antara rombongan ini nantinya berada dalam pengawasan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Korban Tewas dan Terluka

Tiga korban tewas dari muslim Ahmadiyah adalah Tubagus Chandra, Roni Pasaroni, dan Warsono. Ketiganya diautopsi di Rumah Sakit Daerah Serang, sehari kemudian.

Hasil autopsi Chandra menjelaskan detail-detail luka pada bagian tubuh depan, lengan, leher, dada, punggung, dan tungkai bawah. Singkatnya, nyaris sekujur tubuh terluka. Detail “kekerasan tumpul” berupa “lecet geser di dada dan wajah” menunjukkan “tubuh korban digerakkan ke atas permukaan tidak rata,” demikian dokter yang mengautopsinya. “Digerakkan” artinya diseret. Chandra mengalami “patah berkeping”—istilah medis untuk tulang-tulang remuk pada bagian kepala dan sekujur badan. Ada pendarahan menyebar luas di bagian otak kepala. Kesimpulannya, kematian korban disebabkan “patah tengkorak.”

Sementara untuk Roni Pasaroni mengalami patah berkeping—tulang-tulangnya hancur. Ada luka di rahang. Ada lecet geser di bagian tulang iga. Rahang atas kepala patah. Ada resapan darah di kepala. Punggung bawahnya menunjukkan luka sayat; tanda ia disabet benda tajam selagi dikeroyok.

Pada jenazah Warsono, kepalanya sobek. Ada lecet geser pada bagian dada, menunjukkan ia diseret. Ada pendarahan di kepalanya. Para penyerang melukai bagian zakar dengan benda tumpul.

Perkiraan saat kematian: kurang dari dua belas jam sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan ketiga jenazah itu pukul 22:55. Dokter forensik menyebut masih ada penyiksaan saat mereka tewas. Jika dikaitkan dengan psikologi pelaku, tulisnya, ada rasa benci atau marah.

Lima Ahmadi lain terluka parah. Di antara mereka ada Bebi Sabarlah yang terluka berat di sekitar mulut; rahangnya terus-menerus mengeluarkan darah.

Ahmad Masihuddin terluka di batok kepala dan punggung serta luka sobek di pelipis kanan. Kepalanya dipukul bambu. Lehernya hendak digorok—belakangan tak terjadi. Ia diseret ke halaman rumah Suparman lantas dipukuli beramai-ramai. Ia bisa selamat karena polisi merangkulnya dan menenangkan massa. Segera ia dibawa ke pikap polisi, ditemani tujuh personel polisi, lalu dilarikan ke rumah sakit. Para penyerang mengambil tas pinggangnya berisi uang Rp1,1 juta dan Blackberry Gemini.

Deden Sudjana terkena sabetan golok di lengan kanan, yang bikin nyaris putus jaringan syaraf. Ujung golok itu mengenai kepalanya. Kaki kirinya kena sabetan. Jantungnya hendak ditusuk, tapi ia mengelak, menimpa tangan kiri. Kakinya dibacok.

Infografik Mozaik Cikeusik

Infografik Mozaik Pembunuhan Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik 6 Februari 2011. tirto.id/Sabit

Persidangan

Kepolisian Indonesia segera menetapkan 12 pelaku kekerasan, satu di antaranya masih di bawah umur, berjalan secara simultan di tiga ruangan terpisah di Pengadilan Negeri Serang, sejak 26 April 2011. Mereka didakwa pasal penghasutan dan pengeroyokan, bukan pasal pembunuhan. Semuanya warga sipil. Tak ada aparat polisi yang dihukum pidana karena melakukan pembiaran.

Sidang-sidang itu dijaga ketat oleh 300-1.000 personel polisi termasuk Tim Gegana, dengan jumlah pengunjung 100-200 orang, termasuk ibu-ibu dan anak-anak. Di antara mereka ada yang mengenakan atribut “Front Pembela Islam Banten”, selain pada dua kali persidangan pertama ada pengunjung dari Jama’at Ansharut Tauhid, organisasi yang disebut “radikal Islam” didirikan Abu Bakar Ba’asyir pada 2008.

Pada 28 Juli 2011, ke-12 terdakwa itu divonis ringan, 3-6 bulan penjara.

Sementara Deden Sudjana, yang membela diri, terseret pidana. Pada 20 Mei, ia resmi ditahan di Lapas Serang. Pada 8 Juni, ia menjalani sidang perdana. Sudjana diancam pidana penghasutan, melawan perintah petugas, dan penganiayaan. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, salah satu kuasa hukum dari koalisi bernama Tim Advokasi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Warga Negara, menyatakan dakwaan terhadap Sudjana merupakan bentuk “kriminalisasi dan viktimisasi terhadap korban.” Pada 15 Agustus 2011, Sudjana divonis 6 bulan penjara.

Pada Rabu, 16 November, Sudjana menghirup udara bebas setelah menjalani hukuman pidana di Lapas Serang. Saudara yang menjemputnya berkata "terharu" karena adiknya "tabah dan kuat menjalani masa hukuman." Namun juga "ngenes" dengan mempertanyakan hukum diskriminatif terhadap saudaranya serta minoritas agama lain di Indonesia. Saat tiba di rumahnya di Jakarta, Sudjana disambut haru. Saudara perempuannya berkata, “Saya lega tapi prihatin. Masalah keyakinan dibawa ke arah politis, yang kemudian ke arah kriminalisasi."

Baru-baru ini, saya mengontak Ahmad Masihuddin, seorang penyintas dari penyerangan Cikeusik. Ia sempat bekerja di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), organisasi advokasi hak asasi manusia di Jakarta. Pengalamannya di lembaga yang didirikan oleh almarhum Munir ini, katanya kepada saya, berguna saat ia bekerja sesudahnya di organisasi kemanusiaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Masihuddin menjalani kesehatan yang berat. Kepalanya gampang pusing. Hidungnya, yang tulang-tulangnya rusak, telah dioperasi penuh dan diimplan. Mata kanannya masih lamur; ada bagian dari retinanya yang rusak, dibantu dengan memakai kaca mata. Ia gampang semaput. Dalam satu fase perawatan, ia bahkan sempat minum 15 butir obat dalam sehari. Lambungnya jadi gampang sakit. Ia khawatir malah obat yang akan merusak kesehatannya.

Pada Desember 2020, berkat bantuan seseorang, ia menjalani pemeriksaan medis secara menyeluruh, termasuk memindai jaringan saraf di otak kepalanya. Diagnosisnya terbaru, ia mengalami stroke ringan alias serangan iskemik sesaat. Ada penyumbatan darah ke otak. Ia harus rutin minum obat pengencer darah.

"Dibawa santai saja, kalau sudah merasa capek, ya istirahat," katanya tertawa di ujung telepon. Masihuddin kini berumur 34 tahun, telah menikah, dan anak keduanya baru lahir bulan lalu.

Baca juga artikel terkait PENYERANGAN AHMADIYAH atau tulisan lainnya dari Fahri Salam

tirto.id - Politik
Penulis: Fahri Salam
Editor: Irfan Teguh Pribadi