tirto.id - Granit Xhaka merupakan salah satu pesepakbola muslim anggota tim nasional Swiss yang paling masyhur. Di balik karier gemerlapnya di lapangan hijau, ada cinta dan dendam yang membentuk kepribadian gelandang Arsenal ini.
Xhaka lahir di Basel, Swiss, tanggal 27 September 1992 dari orangtua berdarah Albania. Mayoritas etnis Albania beragama Islam yang merupakan warisan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Sebagian kawasan Balkan, termasuk Albania, pernah dikuasai kekhalifahan ini sejak abad ke-15.
Albania mengakui kemerdekaan negeri tetangganya, Kosovo, dari Yugoslavia pada 2 Juli 1990. Ini artinya, Albania ikut menentang etnis Serbia. Cukup banyak warga muslim Albania yang menetap di Kosovo kala itu, termasuk Raqip Xhaka yang tidak lain adalah ayahanda Granit.
Ragip menjadi tahanan politik Yuglosavia selama kurang lebih 3,5 tahun lantaran melawan rezim Slobodan Milosevic. Tiga bulan sebelum dibui, Ragip yang juga punya darah Kosovo, menikahi perempuan bernama Elmaze.
Saat Raqip bebas pada 1990, perang masih berkecamuk di Kosovo. Ia dan Elmaze memutuskan pindah ke Swiss. Di Distrik Kleinbasel, pinggiran kota Basel, pasangan imigran ini menetap. Di sinilah Granit Xhaka dan kakaknya, Taulan, lahir.
Mengidolakan Ayah-Ibu
Granit Xhaka sangat mengagumi ayah dan ibunya. Ia kagum kepada sang ayah sebagai pria berprinsip kuat, juga kepada Elmaze atas kesetiaan ibundanya itu selama Raqip dipenjara.
"Ayah saya bangga sebagai orang Kosovo [berdarah Albania]. Ia berpikir bahwa Kosovo berhak merdeka. Ia berdiri di atas hak mereka," tandas Granit Xhaka dalam wawancara dengan The Guardian.
"Ayahku menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Aku dan Taulant tumbuh dengan mental tersebut. Ia idola kami yang mengajarkan Anda harus selalu kuat untuk mencapai sesuatu. Itulah mengapa di lapangan, kami memiliki mental kuat," imbuhnya.
Demikian pula kesan Xhaka terhadap sang ibu. "Aku sangat menghormati ibuku. Aku belum pernah mendengar seorang wanita bersama dengan pria selama tiga bulan, kemudian menunggunya selama 3,5 tahun. Ibuku orang yang luar biasa," beber Xhaka.
Namun, Xhaka sempat mengecewakan ibunya. Sang ibunda yang seorang muslimah tentu saja tidak ingin putranya merajah tubuh. Xhaka terlanjur melakukan hal itu. Tato pertamanya tergurat di punggung.
Meskipun sempat kecewa, Elmaze teramat sayang dengan Xhaka. Lambat laun, Hati sang ibu pun melunak dan merelakan sang putra tercinta memenuhi lengan kirinya dengan tato penuh makna serta kenangan.
Juara Dunia Membuka Asa
Di umur 16 tahun, Granit Xhaka hampir memutuskan untuk tidak melanjutkan cita-citanya menjadi pesepakbola. Ia mendapat cedera parah di bagian lutut. Padahal, Xhaka telah masuk skuad Timnas Swiss U17 yang bakal melakoni turnamen Piala Dunia U17 2009 di Nigeria.
Xhaka terancam gagal ikut ke Nigeria karena cederanya itu. Nasib baik, berkat kesabaran dan sedikit keberuntungan, kondisi Xhaka pulih lebih cepat. Ditambah lagi, salah seorang pemain Swiss U17 mengalami cedera menjelang turnamen. Xhaka pun dipanggil kembali masuk skuad.
Pada akhirnya, Swiss U17 tampil sebagai juara Piala Dunia U17 2009 usai mengalahkan tuan rumah dengan skor 1-0. Xhaka nyaris bermain penuh sebelum ditarik keluar beberapa detik jelang laga final itu usai.
Setelah momen itu, karier Xhaka seakan meroket dan menembus tim utama Basel pada usia 17 tahun. Dua tahun kemudian, atau pada 2012, Xhaka hijrah ke Jerman untuk membela Borussia Monchengladbach.
Empat musim cemerlang di Borussia-Park membuat Arsene Wenger memboyongnya ke Arsenal pada 2016 dengan nilai transfer lebih dari 30 juta euro.
Tampil cemerlang bersama The Gunners membuat Xhaka dipercaya menjabat kapten di skuad Timnas Swiss untuk tampil di putaran final Piala Dunia 2018 di Rusia.
Demi Kosovo dan Albania
Laga kedua Grup E Piala Dunia 2018 tidak bakal dilupakan oleh Xhaka: Swiss menghadapi Serbia. Ingat, Xhaka berdarah Albania-Kosovo yang punya turunan riwayat kelam dengan Yugoslavia yang kala itu didominasi etnis Serbia.
Xhaka dan kawan-kawan yang harus mendapatkan tambahan 3 poin justru tertinggal dari Serbia setelah Alexander Mitrovic mencetak gol cepat di menit 5. Swiss tidak mampu membalas hingga paruh pertama rampung.
Berbekal tekad "membalas dendam" masa lalu lantaran perlakuan etnis Serbia terhadap ayahnya, juga kepada orang-orang etnis Albania dan Kosovo, Xhaka berusaha bangkit. Terlebih, ia adalah kapten tim Swiss.
Gairah membara Xhaka langsung membuahkan hasil. Babak kedua baru berjalan 7 menit, ia sukses menjebol gawang Serbia lewat tendangan keras dari luar kotak penalti.
Gol balasan ini dirayakan dengan amat emosional. Xhaka melakukan selebrasi dengan mengapit kedua jempolnya membentuk elang atau Albanian Eagle yang merupakan simbol Albania. Jari-jari dikepakkannya seakan burung yang terbang bebas.
Swiss akhirnya berhasil mengalahkan Serbia berkat gol Xherdan Shaqiri di menit akhir. Shaqiri merayakan golnya dengan cara serupa.
Pemain Liverpool ini adalah warga muslim Kosovo yang terpaksa pindah ke Swiss karena polemik dengan etnis Serbia di Yugoslavia kala itu. Bedanya, Shaqiri dilahirkan di Kosovo, sedangkan Xhaka lahir saat orangtuanya sudah tiba di Swiss.
Aksi Xhaka dan Shaqiri tak pelak memunculkan kontroversi. Keduanya dikecam dan terancam denda. Bahkan, pelatih Timnas Swiss keturunan Bosnia, Vladimir Petkovic, turut mengkritik selebrasi dua anak asuhnya tersebut.
Pada 2017 atau sebelum Piala Dunia 2018 dihelat, Xhaka pernah menegaskan identitasnya sebagai orang berdarah Albania dan Kosovo yang lahir di Swiss.
"Swiss adalah rumah di mana saya lahir dan tumbuh, tetapi saya tidak akan melupakan asal orangtua saya. Darah saya Albania, dan tidak seorang pun dapat mengambilnya dari saya," tandas Xhaka.
"Tidak masalah jika Swiss melihat saya sebagai orang Swiss atau orang Albania atau Kosovo. Saya bermain untuk orangtua saya, teman saya, untuk Swiss dan Albania juga Kosovo," tambahnya.
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Iswara N Raditya