tirto.id - Pagi belum benar-benar lunas, namun lelaki itu sudah duduk di selasar ndalem dalam keadaan rapi. Sementara masih banyak yang bermalas-malasan mengawali aktivitas, lelaki itu, sesubuh itu, sudah sangat siap untuk menghadapi rentetan acara yang padat.
Lelaki itu berperawakan kurus. Banyak tirakat, banyak merokok, dan sedikit makan. Gaya bicaranya berwibawa. Sekali buka suara, satu forum bisa terkesiap. Namun, di balik karisma dan kewibawaanya itu, lelaki bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh adalah sosok alim yang tidak begitu gemar berbicara. Irit. Ringkas. Sederhana.
Bahkan, untuk kategori yang terakhir disebutkan, Sahal punya pengalaman yang sangat menarik. Diceritakan, pada saat akan masuki gedung perhelatan Muktamar Ke-28 Nahdlatul Ulama (NU) di Yogyakarta tahun 1989, Kiai Sahal dilarang masuk oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser), yang menjaga acara.
“Sampeyan siapa?” Banser itu menjulurkan pertanyaan. “Kula Sahal (Saya Sahal),” demikian Sahal menjawab. Banser tersebut mengalami kebimbangan sesaat. Bagaimana pun, ia sudah diberi kabar oleh panitia bahwa Kiai Sahal akan segera hadir. Namun, ia tidak yakin sosok yang sedang mematung di hadapannya itu adalah Kiai Sahal Mahfudh.
“Kiai Sahal Mahfudh kok tampilannya begini,” pikir sang Banser. Maklum saja, sebab Kiai Sahal datang ke acara tersebut dengan pakaian sederhana. Tidak mengenakan pakaian lazimnya kiai dan ulama lainnya yang bergamis, bersorban, dan berudeng.
Lahir dari Keluarga Ulama
Sahal Mahfudh dilahirkan pada 17 Desember 1937 di desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa tengah. Ia tumbuh besar di pusaran keluarga pesantren yang selama beberapa generasi memiliki tradisi "melahirkan" ulama. Kiai Sahal adalah putra K.H. Mahfud Salam, adik sepupu salah satu pendiri NU K.H. M. Bisri Syansuri.
Lahir di lingkungan santri membuat Sahal kecil terbiasa dengan didikan ala pesantren yang mengedepankan disiplin penguasaan ilmu-ilmu agama. Setelah belajar di bawah asuhan kedua orang tuanya, Sahal muda beringsut ngangsukawruh pada Kiai Muhajir di Pesantren Bendo, Kediri. Ia kemudian hijrah ke Sarang, Rembang, ngaji di bawah asuhan Kiai Zubair.
Setelah menuntaskan dahaga keilmuannya di Sarang, Sahal melanjutkan petualangan intelektual ke Saudi Arabia. Di sana, ia bertemu langsung dengan Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadani, ulama kharismatik yang menjadi guru bagi banyak kiai dari Indonesia.
Tidak seperti ulama-ulama pesantren yang kebanyakan berdakwah melalui ceramah dan pengajian, Kiai Sahal adalah sosok yang memilih tulisan sebagai wahana untuk menguarkan gagasan sekaligus sebagai media perjuangan. Ia memilih "jalan sunyi".
Puluhan karya dihasilkan dari pemikiran dan permenungannya. Untuk menyebut beberapa saja, antara lain: Tharīqātul Ushûl ilā Ghāyatil Ushûl, Al-Bayānul Mulamma an Alfadzil Lumudz, Tsamāratul Hājiniyyah, Luma’aul Hikmah, Farāidul Ajibah, Ensiklpoedi Ijmak, Nuansa Fikih Sosial, dan Pesantren Mencari Makna.
Pada sebuah kolomnya berhulu “Kiai Pencari Mutiara” yang termuat dalam Melawan Melalui Lelucon (2007), Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa Kiai Sahal adalah sosok yang jago dalam bidang fikih sejak usia muda. Kiai Sahal kerap—kalau tidak dikatakan selalu—menjadi rujukan tempat bertanya yang acap kali menjelma sosok pemecah kebuntuan dalam forum-forum pembahasan masalah fikih (bahtsul masail) di lingkungan NU dan pesantren (hlm. 86)