Menuju konten utama

Memahami Bahtsul Masail GP Ansor Soal Pemimpin Non-Muslim

Alasan dan konteks mengapa GP Ansor mebolehkan memilih pemimpin non-muslim.

Memahami Bahtsul Masail GP Ansor Soal Pemimpin Non-Muslim
Bahtsul Masail pemuda NU Jawa, Madura, dan Bali. FOTO/Istimewa

tirto.id - Lajnah bahtsul masail dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang mengeluarkan keputusan bahwa seorang muslim tidak diharamkan untuk memilih pemimpin non-muslim (12/3) bukan hal mengejutkan. Selain karena Nahdlatul Ulama (NU) secara terbuka tidak condong pada salah satu pilihan politik, NU juga punya riwayat panjang dalam membolehkan atau membebaskan jamaah Nahdliyin pada pilihannya, terutama dalam memilih pemimpinnya jelang Pemilu atau Pilkada.

Pembahasan pada bahtsul masail adalah salah satu tradisi intelektual NU yang mengakomodasi ilmu-ilmu keislaman dalam kitab kuning yang ditulis dengan huruf Arab tanpa harakat (tanda baca), sehingga sering juga disebut “kitab gundul”. Istilah “kitab kuning” muncul karena umumnya kitab ini dicetak dengan kertas kualitas rendah berwarna kekuning-kuningan dan kadang lembarannya lepas karena tidak dijilid.

Tradisi ini lahir karena NU muncul sebagai representasi santri-santri pesantren yang sistem pengajaran beserta rujukan perspektif keagamaannya berasal dari kitab-kitab kuning. Pada akhirnya, keberadaan kitab kuning di pesantren bersinergi dengan sejarah inteletual dan kecakapan literasi jamaah Nahdliyin.

Masalahnya, dalam Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail (Zahro, 2004: 31), kitab kuning juga memiliki kekurangan. Seperti kurang mengikuti perkembangan ilmu fikih modern, yang artinya rata-rata sebagian pesantren cenderung berpatokan pada kitab hasil pemikiran ulama terdahulu, yang bisa saja kurang relevan dengan perkembangan zaman.

Sehingga kadang diperlukan cara-cara lain untuk menyikapi situasi, kondisi atau konteks tertentu yang mendesak. Arena seperti bahtsul masail adalah salah satu cara untuk menyelesaikan kekurangan ini.

Kedua, dengan metode sorogan (guru/kiai mengajari seorang santri saja) maupun bandongan (guru/kiai mengajari banyak santri sekaligus membutuhkan waktu yang sangat lama karena santri harus memahami nahwu-shorof (ilmu linguistik bahasa Arab)-nya terlebih dahulu, sehingga mengakibatkan pemahaman isi kitab kadang cukup lambat dipahami. Akan tetapi, aspek ini pada akhirnya membuat santri paham betul akan gramatikal sebuah hukum dalam Islam beserta penggunaannya dalam menghukumi sebuah perkara.

Tradisi kitab kuning inilah yang kemudian menjadi dasar dari bahtsul masail. Sebab, seperti pendekar-pendekar dalam dunia persilatan yang dikumpulkan dalam satu padepokan untuk mencari ilmu silat paling sakti, para santri akan mengkaji sebuah perkara dengan pendekatan-pendakatan dengan kajian kitab kuning untuk mencari kebenaran yang hakiki.

Duel ilmu pun akan terjadi antara satu santri dengan santri yang lain. Kadang berlangsung alot, sekalipun tidak jarang berlangsung jenaka. Artinya, bahtsul masail bukanlah arena perdebatan. Bukan untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Semua peserta dipersilakan untuk menguji suatu perkara atau hukum dengan bekal pemahaman kitab-kitab kuning yang telah ditempa selama bertahun-tahun.

Untuk lebih memahami apa itu bahtsu masail, baca artikel kami yang lebih lengkap: Cara NU Menyikapi Perbedaan dengan Bahtsul Masail.
Salah satu alasan yang dikemukakan pada hasil dari bahtsul masail GP Ansor adalah dasar konstitusi negara. Dinyatakan bahwa setiap pemimpin tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut boleh dipilih.

“Seorang warga negara, dalam ranah pribadi, dapat memilih atau tidak memilih non-muslim sebagai pemimpin format pemerintahan,” jelas KH. Najib Bukhori di Kantor Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.

“Terpilihnya non-muslim di dalam kontestasi politik berdasarkan konstitusi adalah sah jika seseorang non-muslim terpilih sebagai kepala daerah,” jelas Kiai Najib.

Selain atas dasar konstitusi negara, keputusan ini juga bisa digunakan untuk meredakan ketegangan akibat isu pilkada DKI. Ketegangan yang punya peluang untuk saling membuat Islam saling berseteru. Seperti yang terjadi dengan munculnya beberapa spanduk yang menolak melakukan salat jenazah bagi umat muslim yang memilih pemimpin non-muslim beberapa waktu lalu.

Tirto melakukan penelusuran yang rinci dan detail mengenai isu penolakan salat jenazah kepada para pendukung Ahok. Baca:

Sengkarut Pilkada Pada Jenazah Nenek Hindun

Rohbaniah Tak Nyoblos Tapi Ditolak Disolati

Sebelum Menolak Menyalati Jenazah, Belahlah Dadanya

Yaqut Cholil Qoumas menyayangkan semakin masifnya bentuk intoleransi ini tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. “Kalau orang disuruh meninggalkan kewajiban ini dosa siapa? Kan tidak boleh begitu,” ujar Ketua Umum Pengurus Pusat GP Ansor ini, yang juga merupakan putra K.H. Cholil Bisri ini.

Yaqut Cholil tidak hanya berpendapat, tapi bahkan mencoba menjadi bagian solusi. "Kalau ada warga Muslim yang meninggal dan tidak diurus jenazahnya karena perbedaan politik, saya perintahkan kepada sahabat-sahabat Ansor untuk merawat jenazah itu. Baik untuk menyalatkan, mengafani, menguburkan, bahkan menahlilkan selama 40 hari," ujarnya (baca juga: Pendapat Muhammadiyah dan GP Ansor Soal Spanduk Penolakan Salat Jenazah).

Hasil ini seolah melegitimasi apa yang disampaikan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU, Rumadi Ahmad. Ia mengatakan bahwa kendati MUI dan Muhamadiyah sudah jelas mengatakan memilih pemimpin kafir tidak boleh, namun NU punya fatwa yang membolehkan.

“NU membolehkan memilih pemimpin non muslim dalam tiga keadaan. Pertama, tidak ada muslim yang mampu menjadi pemimpin. Kedua, pemimpin muslim yang ada dianggap berpeluang berkhianat. Ketiga, non muslim tersebut tidak berbahaya bagi umat Islam,” katanya dalam diskusi bertema "PKB: Ahok atau Anies", di Tebet, Jakarta Selatan, pada Februari lalu.

Rumidi merujuk pada hasil muktamar NU di Pesantren Lirboyo, Jawa Timur pada tahun 1999. Di mana diperbolehkan memilih pemimpin non-muslim jika, pertama, memang tidak ada orang Islam yang mampu memimpin. Kedua, ada calon pemimpin yang beragama Islam, tapi karena dikhawatirkan berkhianat, maka diperbolehkan memilih alternatif non-muslim. Ketiga, jika pemimpin non-muslim dianggap tidak menjadi ancaman bagi umat Islam. Keempat, jika merujuk pada ayat yang mengharamkan asbabul nuzul-nya dianggap pada situasi peperangan, maka menjadi kurang relevan karena situasi saat ini sedang damai.

Perlu diketahui, pada era Muktamar NU 1999 berlangsung, situasi sedang pada masa Pemilu pertama era reformasi. Pemilu yang kemudian menghasilkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden dengan Megawati sebagai Wakil Presiden memunculkan penolakan karena sosok Megawati yang dianggap tidak layak menjadi pemimpin karena perempuan. Hal yang kemudian segera direspons NU dengan pembahasan mengenai respons Islam terhadap sistem demokrasi.

Saat itu pembahasan mukmatar lebih menyoroti tentang bagaimana sikap Islam terhadap agenda yang lebih luas: sistem demokrasi. Dengan membahas demokrasi, maka risiko-risiko di dalamnya yang membuat perempuan atau seorang non-muslim menjadi pemimpin punya peluang bisa dikaji secara luas dengan cukup mendalam.

Beberapa dasar yang digunakan ulama pada waktu itu, seperti yang dikutip dari Studi Analisis Keputusan Muktamar XXX Nahdhlatul Ulama Tentang Respons Islam Terhadap Demokrasi (Taufiqurrohman, 2009: 55[t6] ), bahwa aturan dalam pemerintahan harus lebih didasarkan pada empat dasar.

Pertama, Al-Syura (musyawarah). Bahwa pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan pihak-pihak yang punya kepentingan lebih diutamakan daripada memaksakan kehendak. Kedua, Al-Musawa (kesetaraan) merupakan kesamaan derajat. Di mana setiap warga negara punya hak yang sama untuk menjadi pemimpin.

Ketiga, Al-‘Adalah (keadilan) bahwa suatu keputusan baik secara hukum atau menjadikan seseorang menjadi pemimpin harus dilakukan dengan proses yang adil. Sebab dengan proses yang adil, diharapkan akan terpilih pemimpin yang adil pula. Keempat, Al-Hurriyah (kebebasan), yang menjadikan setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat. Sepanjang dilakukan dengan cara yang baik dan dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar.

Infografik Masa'il diskusi ala NU

Dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Van Bruinessen, 1999: 213), NU mengorganisir bahtsul masail pada tingkat cabang dan wilayah. Fatwa yang paling tinggi adalah yang keluar dari Muktamar Nasional Alim Ulama. Di mana fatwa-fatwa dari muktamar sebelumnya dikumpulkan dan diterbitkan menjadi satu untuk dijadikan sebagai rujukan.

Artinya, validitas dan reabilitas hasil Muktamar NU pada 1999 tersebut bisa dipertanggungjawabkan karena punya kedudukan paling tinggi. Itulah yang kemudian membuat kiai atau tokoh umat Islam tida ada yang berani membantah hasil keputusan Muktamar NU. Yang muncul kemudian adalah perbedaan tafsir akan hasil muktamar.

Paling tidak ada dua tafsir dari hasil muktamar NU tersebut. Pertama, seperti yang disampaikan KH. Salafudin Wahid (Gus Solah). Gus Solah menganggap bahwa premis umat muslim dilarang memilih pemimpin non-muslim harus diutamakan, baru kemudian ada ketentuan yang menyebabkan terjadi pengecualian jika keadaan dalam kondisi darurat. Tafsir kedua, premis yang diutamakan adalah umat muslim diperbolehkan memilih pemimpin non-muslim, dan ketentuan jika belum ada pemimpin muslim yang lebih baik berada sebagai kelengkapan syarat berikutnya.

Perbedaan tafsir akan hasil bahtsul masail sangat lumrah terjadi. Sebab sekalipun hasil yang keluar punya dasar kuat, sifat bahtsul masail tidaklah mengikat karena jamaah Nahdliyin sangat cair dan punya kecenderungan terhadap patron mereka masing-masing. Patron yang merujuk pada tokoh atau kiai. Artinya, jamaah Nahdliyin akan lebih mengikuti fatwa patron mereka daripada fatwa yang keluar dari GP Ansor maupun dari PBNU.

Baca juga artikel terkait POLEMIK PEMIMPIN NON-MUSLIM atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS