tirto.id - Sebut saja Gofur (bukan nama sebenarnya) telah memanfaatkan salah satu aplikasi pinjaman paylater ternama sejak empat tahun belakangan. Selepas mengakhiri masa lajangnya pada 2021, terlebih kini memiliki tanggung jawab membiayai kebutuhan dua anaknya, dia bergantung pada pinjaman daring untuk membeli kebutuhan rumah tangga.
Pria yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil ini bilang upah per bulan yang diterima kini belum dapat menambal kebutuhan rumah tangga. Setiap bulan, ada saja yang dibeli menggunakan paylater demi anak dan istrinya.
Paylater adalah layanan untuk menunda pembayaran dengan cara menyediakan fasilitas cicilan atau pelunasan terhadap tagihan transaksi.
“Karena uang yang dimiliki saat ini belum cukup untuk membeli kebutuhan yang dimaksud. Misalnya susu dan pampers sampai token listrik. Dimana saat susu abis, gaji belum masuk. Disitulah peran paylater dibutuhkan,” ujar dia kepada Tirto, Senin (10/11/2025).
Baginya, bergantung kebutuhan barang untuk konsumsi rumah tangga melalui bantuan paylater menjadi opsi yang realistis. Terlebih sulitnya meminjam uang kepada kolega atau apalagi perbankan. Aksesibilitas pinjaman daring pun menjadi daya tarik.
“Memilih pinjaman daring karena aksesnya lebih mudah tidak perlu panas-panasan ke bank. Tinggal klik dari rumah dan kenapa memilih paylater karena dengan mudah kebutuhan kita terpenuhi tanpa langsung mengeluarkan banyak uang sekaligus alias dicicil,” tuturnya.
Tren pinjaman daring sekaligus penggunaan paylater terus menanjak. Merujuk data Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, outstanding pembiayaan pinjaman daring per September 2025 tumbuh 22,16 persen secara tahunan, alias year-on-year (yoy) dibanding periode Agustus 2025 yang mencapai 21,62 persen secara yoy pula, dengan nominal sebesar Rp 90,99 triliun.

Di balik tumbuhnya tren pinjaman daring, data OJK mengungkapkan tingkat risiko kredit secara agregat (TWP90) berada di posisi 2,82 persen, atau naik sedikit dibanding periode Agustus 2025 yang berada di angka 2,60 persen.
Seturut itu, berdasarkan SLIK, pembiayaan Buy Now Pay Later (BNPL) oleh perusahaan pembiayaan pada September 2025 meningkat sebesar 88,65 persen secara yoy menjadi Rp10,31 triliun. Pertumbuhan ini lebih cepat dibanding Agustus 2025, yang tumbuh sebesar 79,91 persen yoy.
Dengan tren kenaikan paylater ini, Non-Performing Financing atau NPF, alias kredit macet, mencapai sebesar 2,92 persen.
Pihak OJK juga merilis temuan tren penyaluran pembiayaan pada industri pegadaian. Per September 2025, penyaluran pembiayaan tumbuh sebesar 30,92 persen yoy dibanding Agustus sebesar 28,67 persen secara yoy.
Jumlahnya tembus menjadi Rp111,68 triliun. Jumlah ini, dalam kalkulasi OJK, masih dalam tingkat risiko kredit terjaga. Adapun pembiayaan terbesar industri pegadaian disalurkan dalam bentuk produk gadai, yaitu sebesar Rp93 triliun atau 83,28 persen dari total pembiayaan yang disalurkan penyedia pembiayaan.
Ada Isu Daya Beli
Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menekankan bahwa naiknya angka penggunaan pinjaman daring dan paylater oleh masyarakat dapat dimaknai adanya isu dalam daya beli atau konsumsi rumah tangga. Pendapatan yang kini ada belum sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat, baik yang primer maupun sekunder.
Sejurus itu, Huda mewanti-wanti tren pemutusan hubungan kerja atau PHK belakangan ini turut mempengaruhi daya beli masyarakat. Pemenuhan kebutuhan hidup bagi mereka yang dipecat dari pekerjaannya menjadi kian berat. Kelompok masyarakat lingkup ini yang disebut terdampak untuk terus menggunakan aplikasi daring pembiayaan.

“Banyak korban PHK yang pada akhirnya meminjam pembiayaan alternatif seperti pinjaman daring ini untuk memenuhi kebutuhan. Karena bagaimanapun juga mereka harus tetap bertahan hidup. Sedangkan pendapatan mereka yang kena PHK bisa jadi berkurang drastis atau sama sekali tidak ada misalnya,” ujar Huda kepada Tirto, Senin (10/11).
“Ini juga berkaitan sekali dengan daya beli yang melemah karena pendapatan yang berkurang atau hilang. Maka yang dilihat adalah mereka harus memenuhi kebutuhan melalui pinjaman. Nah ketika memenuhi kebutuhan dengan mengandalkan pinjaman di bank, lalu ditolak, maka larinya ke pinjaman daring,” imbuhnya.
Merujuk data Badan Pusat Statistik atau BPS, tren pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam tiga tahun belakang tampak stagnan. Pada 2023, misalnya, angka konsumsi sebesar 4,94 persen. Lalu setahun berikutnya menurun menjadi 4,82 persen. Dan kembali di angka 4,94 persen pada 2024.
Ketika pesangon PHK atau kondisi keuangan mereka yang di-PHK tanpa pesangon tak lagi cukup menanggung pinjaman daring, Huda bilang yang terjadi adalah gagal bayar. Ini mengapa ada kenaikan dalam nilai NPF.
“Itu karena pertumbuhan outstanding tinggi, maka potensi untuk TWP90 meningkat itu akan sangat tinggi pula. Ini terkait pula ketika mereka yang terkena PHK, lalu mengambil pinjaman daring atau paylater, sedangkan penghasilan tidak ada, maka akan berdampak pada TWP 90 tinggi,” kata dia.
Huda juga menyoroti aksesibilitas pinjaman daring atau paylater yang menawarkan kemudahan atau tidak ribet dibanding lembaga keuangan perbankan. Kemudahan menjadi salah satu isu penting dibalik tingginya angka pembiayaan.
“Salah satunya dari sisi perubahan pola konsumsi masyarakat terkait layanan keuangan juga berubah, yang sebelumnya fisik menjadi online. Itu yang mendorong akhirnya permintaan penyediaan dana atau pinjaman alternatif secara daring atau paylater, itu menjadi meningkat. Ini yang mengakibatkan pertumbuhan outstanding paylater maupun pinjaman daring itu terus melejit,” urainya.
Menurut Huda, perlu ada intervensi dari pemerintah. Kelompok masyarakat yang terkena PHK mesti pula mendapat atensi khusus agar tidak terjebak dalam lubang hutang. Tapi, jangan pula melupakan pekerja eksisting yang sampai kini masih bertahan hidup dengan standar upah.
“Perlu ada intervensi kebijakan seperti kenaikan UMR yang lebih layak. Meminimalisir PHK. Juga perlu misal seperti bansos yang lebih diperbanyak dan tepat sasaran. Itu setidaknya bisa menolong masyarakat terdampak PHK,” ucap dia.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menekankan pertanyaan ihwal apakah lonjakan pinjaman daring hingga Rp 101,3 triliun pada September 2025 (data OJK) menandakan bahwa masyarakat Indonesia kini bergantung pada utang sebagai tumpuan daya beli—itu bukan sekadar pertanyaan retorika.
Menurutnya, lonjakan pinjaman daring bukan hanya menandakan kemajuan teknologi keuangan, tetapi juga mencerminkan tekanan yang lebih dalam pada ekonomi rumah tangga. Pinjol telah menjadi mesin daya beli bagi masyarakat, dan di balik pertumbuhannya tersimpan cermin rapuhnya fondasi ekonomi nasional.
“Bayangkan sebuah generator darurat yang digunakan untuk menyalakan listrik saat pemadaman. Awalnya, ia membantu rumah tangga bertahan. Namun, jika setiap hari listrik padam dan generator menjadi satu-satunya sumber energi, maka yang tampak bukan lagi efisiensi, melainkan ketergantungan. Begitulah nasib pinjol di Indonesia, awalnya menjadi solusi bagi keterbatasan akses keuangan, kini berubah menjadi sumber utama daya beli masyarakat,” ujar Achmad mengibaratkan, kepada Tirto pada Senin (10/11/2025).
Achmad mewanti-wanti bahwa outstanding pindar nasional yang mencapai lebih dari Rp101 triliun menandakan ekspansi luar biasa, yang menjadikan pindar sebagai jembatan finansial untuk memenuhi kebutuhan dasar — dari biaya pendidikan, kesehatan, hingga konsumsi harian.

“Ironisnya, di saat ekonomi nasional masih tumbuh sekitar 5 persen, kemampuan masyarakat untuk membiayai kebutuhannya sendiri justru melemah. Pinjol menjadi oksigen sintetis bagi ekonomi rumah tangga yang sesak napas,” kata dia.
Dia mengingatkan soal akses mudah, proses singkat, dan promosi agresif menjadikan pinjaman daring terasa seperti teman akrab di layar ponsel. Padahal di balik kenyamanan itu tersembunyi bunga tinggi, potensi gagal bayar, dan tekanan psikologis yang tidak kecil.
Dia menyoroti kredit macet di sektor ini juga terus meningkat, dengan tingkat gagal bayar di atas 2,8 persen pada akhir triwulan III 2025. Angka itu memang tampak kecil, tetapi di baliknya terdapat jutaan individu yang kesulitan melunasi utangnya.
“Fenomena ini mencerminkan ketimpangan antara gaya hidup digital yang serba cepat dengan ketahanan ekonomi riil yang lemah. Generasi muda bukan tidak produktif, tetapi mereka menghadapi realitas ekonomi di mana pendapatan tumbuh lebih lambat daripada kebutuhan,” ujar dia yang menyoroti generasi muda sebagai debitur tertinggi.
Kata Achmad, dari sisi makro, konsumsi rumah tangga masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, ketika konsumsi semakin dibiayai oleh utang jangka pendek seperti pinjol dan paylater, maka pertumbuhan itu kehilangan basis yang sehat.
“Ekonomi tampak bergerak, tetapi sebenarnya sebagian besar digerakkan oleh kredit yang menggerus daya beli masa depan. Begitu pula ekonomi hari ini, dipacu oleh pinjaman konsumtif, namun cicilan dan denda akan menjadi beban yang menahan konsumsi di masa depan,” ujarnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, katanya, ialah pertumbuhan konsumsi semu ini bisa menciptakan ilusi kesejahteraan. Masyarakat tampak aktif berbelanja, tetapi sebagian besar pengeluaran didorong oleh utang, bukan oleh peningkatan pendapatan.
“Ini adalah bentuk kemiskinan digital, di mana teknologi yang seharusnya memudahkan justru mempercepat kejatuhan finansial bagi mereka yang paling rentan,” ucapnya.
“Daya beli yang dipertahankan dengan utang membuat banyak keluarga hidup dalam lingkaran kekhawatiran permanen, antara menjaga reputasi skor kredit dan memenuhi kebutuhan hidup. Ketika kebutuhan dasar disubsidi oleh utang, maka krisis sosial tinggal menunggu waktu,” imbuhnya.

Menurutnya, perlu ada keberanian untuk menata ulang paradigma ini penting agar kebijakan tidak sekadar mengejar pertumbuhan angka, tetapi membangun ketahanan nyata. Pemerintah dan regulator perlu menata ulang fungsi pindar sebagai alat inklusi keuangan yang sehat.
“Perlu ada pembatasan rasio utang terhadap pendapatan, transparansi biaya pinjaman, serta sistem penilaian risiko yang lebih adil antar-platform,” kata dia.
Seturut itu, literasi keuangan harus menjadi program prioritas, bukan sekadar jargon, terutama di kalangan muda dan pekerja informal yang paling banyak terjerat pinjaman konsumtif. Kredit juga perlu diarahkan kembali ke sektor produktif.
“Jika pinjaman daring mampu menghubungkan modal dengan UMKM, petani, atau pelaku usaha kecil yang membutuhkan pembiayaan jangka pendek, maka fungsi pinjaman akan berubah dari konsumtif menjadi produktif. Saat kredit menghasilkan pendapatan, bukan sekadar membiayai konsumsi, ekonomi rumah tangga pun akan lebih kuat dan berdaya tahan,” kata dia.
Tak kalah penting, Achmad menekankan pemerintah mesti menurunkan beban hidup masyarakat lewat perbaikan harga pangan, transportasi, dan kesehatan. Ketika biaya hidup turun dan pendapatan meningkat, kebutuhan berutang untuk hal-hal dasar akan berkurang.
“Kebijakan fiskal dan sosial seharusnya difokuskan untuk memperkuat pendapatan riil, bukan menambal sementara lewat utang konsumtif. Artinya, budaya menunda konsumsi, menabung, dan mengelola risiko keuangan perlu dihidupkan kembali,” ujarnya.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































