tirto.id - Tentara kembali menyita buku. Kali ini sasaran mereka adalah toko buku yang berada di Padang, Sumatera Barat. Buku yang disita di antaranya berjudul Jasmerah, Kronik ’65, dan Gestapu ’65 PKI. Seperti yang sudah-sudah, TNI beralasan buku tersebut diduga berisi paham komunisme.
“Sementara paham tersebut sudah jelas dilarang di Indonesia,” kata Komandan Koramil 01 Padang, Mayor Infanteri P Simbolon, seperti dikutip dari Antara, Selasa (8/1/2019).
Penyitaan ini dilakukan bersama Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Padang Yuni Hariaman. Yuni mengatakan buku tersebut akan diteliti dengan mengacu kepada TAP MPRS XXV/1966 soal larangan menyebarkan gagasan komunisme/marxisme-leninisme.
“Berapa lama penelitiannya belum bisa diprediksi karena perlu melibatkan beberapa pihak, termasuk ahli dan akademisi,” kata Yuni.
Dinormalisasi
Hukum kita sebetulnya mengatur bahwa razia buku—atau pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak—tak lagi diperbolehkan. Ini berlaku sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Ketika itu MK memutuskan pelarangan buku musti lewat proses peradilan. Ada yang melapor, dan itu harus disertai pembuktian yang kuat.
“Tanpa melalui proses peradilan, merupakan proses eksekusi ekstra judisial yang tentu saja sangat ditentang di sebuah negara hukum,” kata Maria Farida, salah satu hakim konstitusi ketika membacakan putusan, seperti dikutip dari BBC.
Mengacu pada aturan ini, apa yang dilakukan TNI dan Kejaksaan jelas menyalahi prosedur.
Tapi toh apa yang dilakukan TNI dan Kejaksaan dinormalisasi oleh dua tim kampanye capres-cawapres yang akan berkompetisi pada Pemilu 2019. Mereka bisa berbeda dalam banyak hal, tapi sepakat soal pelarangan buku.
Anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin Eva Kusuma Sundari menyatakan penyitaan buku itu tak bisa ditangkal, tetapi harusnya dilakukan berdasarkan aturan yang berlaku.
“Kami setuju dan mendukung penyitaan buku-buku yang terlarang,” kata Eva saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (9/1/2018) pagi. “Toh, sudah ada instrumennya,” tambahnya.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, Ferdinand Hutahaean, malah mengatakan Kejaksaan dan TNI tak salah sama sekali.
“Itu [razia buku] adalah tugas dari Kejaksaan,” kata Ferdinand kepada reporter Tirto. “Kalau Kejaksaan bersama-sama dengan TNI tidak ada aturan yang dilanggar. TNI juga untuk turut serta menjaga negara,” tambahnya, sembari menganjurkan kalau diksi yang dipakai jangan 'razia'.
“Jangan dilihat itu sebagai sebuah razia, mungkin terlalu keras. Mereka melaksanakan tugas mereka,” ucapnya lagi.
Kadiv Hukum dan Advokasi Partai Demokrat ini juga menyebut yang perlu dilakukan bukan cuma razia toko buku dengan skala lokal. Hal yang sama, katanya, juga harus dilakukan di jaringan toko buku nasional semisal di Gramedia atau Gunung Agung.
Tak Menghormati Hak Masyarakat
Mengetahui jawaban dua politikus beda kubu ini, sejarawan sekaligus Editor Pelaksana Jurnal Masyarakat Sejarawan Indonesia Andi Achdian menyimpulkan capres-cawapres dan tim tak peduli dengan pendidikan.
“Saya kira harus dipertanyakan. Ini belum terlihat mereka peduli pendidikan. Pemerintah Jokowi tidak bisa merespons itu,” kata Andi kepada reporter Tirto.
Ia juga menyimpulkan kalau memang keduanya tidak menghormati hak-hak masyarakat yang lebih luas, dalam hal ini hak untuk memperoleh informasi.
“Padahal sejak reformasi kan sudah dibuka kebebasan itu, apalagi itu kan kebebasan akademik. Ini tidak berbeda dari saat Orde Baru. Saya melihat ada pembalikan arus sejarah karena pembatasan kebebasan akademik,” tambah Andi.
Andi juga menduga razia buku terkait dengan politik praktis. Indikasinya, razia dilakukan hanya beberapa bulan jelang pemilu.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino