Menuju konten utama

Ketika Krisis Global, Jokowi Minta Ekonom Berpikir Seperti Abunawas

Di tengah situasi ekonomi dan krisis global, Jokowi meminta kepada para ekonom agar bisa berpikir di luar dari standar pemikiran yang biasa.

Ketika Krisis Global, Jokowi Minta Ekonom Berpikir Seperti Abunawas
Presiden Joko Widodo memberikan arahan saat pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Inflasi tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/8/2022). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada para ekonom agar bisa berpikir di luar dari standar pemikiran yang biasa. Menurutnya, di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi saat ini, dibutuhkan pemikiran yang cemerlang atau out of the box untuk membantu pemulihan ekonomi.

"Saya titip ke ekonomi, jangan menggunakan pakem-pakem yang ada. Jangan menggunakan standar yang ada, karena ini sangat tidak normal. Dibutuhkan pemikiran yang Abunawas yang kancil-kancil," kata Jokowi dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, di Jakarta, Rabu (7/9/2022).

Dalam kesempatan sama, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati bahkan menantang sejumlah ekonom untuk ikut menghitung asumsi harga minyak mentah Indonesia atau ICP di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023.

"Saya tanya nih ke 100 ekonom, proyeksi minyak Anda tahun depan seperti apa? Cara ngitungnya gimana? Saya pingin tahu," kata Sri Mulyani,

Pemerintah sendiri mematok harga asumsi minyak mentah Indonesia atau ICP sebesar 90 dolar AS per barel dalam RAPBN 2023. Angka ini lebih rendah dari asumsi proyeksi 2022 yang mencapai 95 dolar AS hingga 105 dolar AS per barel.

Sri Mulyani menjelaskan, di tengah kondisi ketidakpastian pemerintah menghitung asumsi harga minyak berdasarkan data agency yang memang otoritatif di bidang minyak. Misalnya berkaca pada data Bloomberg konsensus dan juga beberapa outlook lainnya.

"Tapi paling tidak kita mengidentifikasi dua faktor yang akan sangat dominan mempengaruhi harga minyak termasuk komoditas di tahun depan," jelasnya.

Faktor pertama, pemerintah akan selalu melihat apakah dunia akan memasuki resesi atau tidak. Sebab, Amerika Serikat (AS) dan Eropa saat ini tengah menghadapi potensi resesi sangat tinggi lantaran inflasi kedua negara tersebut yang melonjak.

"Kita akan melihat, kalau seandainya negara maju masuk resesi, pasti permintaan minyak turun, maka tekanan terhadap kenaikan harga diperkirakan atau diharapkan akan menurun. Harga mungkin akan turun, tidak lagi mencapai di atas 100 dolar AS per barel," jelasnya

Kemudian faktor lainnya adalah melihat potensi ketegangan antara Rusia dan Ukraina. Jika perang antara keduanya berlangsung lama, maka dampaknya akan terasa dari sisi suplai minyak. Terlebih, Rusia menjadi negara kedua penghasil minyak terbesar di dunia.

"Kita sudah tahu minyak menjadi instrumen perang. Masing-masing menggunakannya itu. Putin (Presiden Rusia) menggunakan gas supply ke Eropa, diberhentikan, pihak G7 dan NATO mengembargo minyak dari Rusia," jelasnya.

Baca juga artikel terkait KRISIS EKONOMI GLOBAL atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri