tirto.id - Pemerintah dan aparat mengulang-ulang bicara soal "hoaks" sejak demonstrasi hingga kerusuhan meletus di Manokwari pada 19 Agustus 2019, lalu disusul kota-kota lain di Papua dan Papua Barat. Karena hoaks pula pemerintah, melalui Kemkominfo dengan dasar penilaian lapangan Polri, memblokir akses internet di pulau paling timur Indonesia itu.
Bagi mereka, hoaks-lah penyebab kerusuhan di Papua. Di Surabaya, 19 Agustus 2019, Kapolri Tito Karnavian mengatakan ada akun-akun medsos yang sengaja memproduksi dan "menyebar hoaks" soal pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya oleh ormas dan aparat pada 16 Agustus 2019.
Hoaks ini membuat masyarakat Papua marah, turun ke jalan, hingga bertindak vandalis, kata Tito.
Tapi sebetulnya, "penyebaran hoaks juga dilakukan pejabat pemerintah," kata Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma kepada reporter Tirto, Selasa (10/9/2019).
Kemkominfo pernah menguji fakta twitan Veronica Koman, pengacara publik yang kini ditetapkan sebagai tersangka provokasi dan hoaks Papua, mengenai pengepungan aparat dan ormas terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Hasil uji fakta itu: Kemkominfo menyimpulkan cuitan Veronika sebagai "hoaks".
Dari hasil uji fakta Tirto, uji fakta Kemkominfo: Berisi kesimpulan yang mengandung informasi keliru dan mengarahkan tafsir informasi yang salah.
Kemkominfo menyebut Vero menyebarkan hoaks saat bilang dua mahasiswa Papua diculik. Masalahnya, Vero tidak pernah sekalipun bicara soal "penculikan". Ia hanya menyebut "penangkapan", dan itu benar berdasarkan definisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ferdinandus Setu, Plt. kepala Biro Humas Kemkominfo, mengakui adanya kesalahan dalam uji fakta itu. Menurutnya kesalahan karena waktu pengerjaan terlalu cepat.
"Tim kami bekerja dengan waktu yang sangat singkat, kemudian langsung merilis ke publik," katanya.
Pusat Penerangan TNI juga tidak luput menyebar informasi tidak benar. Twitter resmi Pusat Penerangan TNI pada 28 Agustus lalu memberi cap berita soal pembunuhan enam warga sipil di Deiyai, yang ditulis Reuters, sebagai "hoaks". Reuters mengutip Suara Papua, salah satu media online yang cukup berani.
Tapi stempel hoaks ini dibantah beberapa media internasional termasuk Al-Jazeera. Berdasarkan keterangan saksi mata, memang ada korban sipil tewas di Deiyai. Hal serupa diberitakan The Jakarta Post hingga The Guardian.
Yones Douw, ketua departemen keadilan dan perdamaian Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua, juga memastikan kepada reporter Tirto sedikitnya ada tujuh sipil tewas tertembak dalam aksi demonstrasi tolak rasisme di Deiyai.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) juga pernah memergoki Puspen TNI menyampaikan disinformasi lain. Awalnya, @Puspen_TNI mentwit soal kedekatan TNI dengan warga Papua. Sebuah video dilampirkan untuk mendukung klaim itu.
Belakangan diketahui video yang ditautkan adalah video anggota batalyon infanteri 715 Motuliato ketika meninggalkan daerah operasi pengamanan perbatasan di Timor Leste.
Twitan itu lalu dihapus @Puspen_TNI tanpa penjelasan.
Wiranto Ikutan Sebarkan Hoaks
Kemudian datanglah Menko Polhukam Wiranto yang turut menyebarkan informasi tidak benar. Ia menyebarkan informasi soal maklumat Majelis Rakyat Papua (MRP) yang meminta pelajar dan mahasiswa asal Papua tidak kembali ke kampung halamannya. Menurut Ketua MRP Timotius Murib, apa yang disebarkan Wiranto adalah hoaks.
MRP tidak pernah mengeluarkan maklumat seperti yang diungkapkan Wiranto. "Bukan dari MRP. Itu hoaks!" kata Murib kepada reporter Tirto, Selasa (10/9/2019).
Wiranto kembali membalas tuduhan ini dengan bertanya siapa yang lebih dipercaya reporter Tirto.
"Kamu percaya saya atau MRP? Percaya siapa? Percaya siapa?" ujar Wiranto di Sudirman, Jakarta, Rabu (11/9/2019).
"Hanya konfirmasi saja."
"Kamu percaya saya, percaya orang lain? Tidak mau jawab? Berarti kamu mau mengadukan. Saya tidak mau."
Sekitar 800an mahasiswa Papua dari berbagai daerah memutuskan pulang ke kampung halamannya karena merasa tidak aman. Aparat pun dianggap tidak menjamin keselamatan mereka. Sementara Wiranto bilang sebaiknya mereka tidak pulang karena kondisi kota mereka studi aman-aman saja.
Ketua DPR Papua, Yunus Wonda, membantah itu. "Hampir di semua kota studi anak-anak dapat tekanan, diteror, diintimidasi. Merasa tidak nyaman di berbagai kota studi," kata Yunus, Rabu (11/9/2019), seperti dikutip dari Tabloid Jubi.
Hal serupa diutarakan anggota Komisi bidang pemerintahan, politik, hukum dan HAM DPR Papua Laurenzus Kadepa. Salah satu contoh intimidasi adalah pelemparan ular ke Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Lalu, di beberapa kota, mahasiswa dan pelajar Papua didata oleh aparat setempat.
Mereka juga diminta ikut dalam perayaan-perayaan instansi tertentu. Misalnya, turut serta merayakan ulangtahun ke-71 Polisi Wanita (Polwan) oleh Polda DIY.
Untuk mereka yang sudah terlanjur pulang, Komando Daerah Militer (Kodam) XVII Cendrawasih mengatakan tentara sudah menyediakan dua pesawat Hercules untuk mengantarkan mahasiswa kembali ke daerah studinya, meski kini itu belum terealisasi.
Kapendam Cendrawasih Letkol Eko Daryanto mengatakan Kodam, Korem, dan Kodim sudah mendata mahasiswa yang pulang. Bagi Laurenzus Kadepa, ini intimidasi pula.
Mereka Kebal Hukum?
Soal hoaks-hoaks itu, Feri Kusuma menegaskan, "Seharusnya mereka [penyebarnya] diproses secara hukum juga. Kepolisian harus menindak tegas mereka yang menyebarkan berita bohong."
Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo beralasan mereka yang dianggap menyebar hoaks lantas dijadikan tersangka karena memang ada "fakta hukumnya".
Dengan mencontoh kasus Vero, dia bilang, "VK melakukan provokasi, dan itu pelanggaran hukum."
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara meminta pemerintah dan aparat tidak mengulangi lagi perbuatannya. Bagaimanapun publik berhak atas informasi yang benar dan sesuai fakta.
"Kami mendorong semua pihak termasuk pemerintah untuk memberikan data dan informasi yang valid terkait sebuah peristiwa," ujar Beka kepada reporter Tirto, Selasa.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino