tirto.id - Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memperkirakan harga daging akan tetap tinggi dalam beberapa bulan ke depan termasuk menjelang Lebaran. Berlanjutnya tren kenaikan harga menurutnya tidak akan bisa dihindari karena Australia, suplai utama sapi dan daging sapi, mengalami gangguan pasokan karena dilanda kebakaran hutan dan banjir.
Menurut data Kemendag, harga daging sapi per 12 Maret 2021 telah menyentuh Rp122.246/kg. Angka ini terus naik misalnya dari 11 Februari lalu yang mencapai Rp121.072/kg dan 11 Januari 2021 Rp120.693/kg.
Untuk mengatasinya, pemerintah melalui BUMN tengah berjibaku mencari pasokan dari berbagai negara. Bulog, misalnya, mengimpor 80 ribu ton daging kerbau dari India dan PT Berdikari mengimpor 20 ribu ton dari Brasil. Kementan bahkan tengah mendatangkan sapi bakalan dari Meksiko untuk digemukkan kemudian dipotong.
“Saya ingin utarakan bahwa harga ini akan naik. Tapi, mudah-mudahan persiapan yang dilakukan oleh Kemendag, kenaikan itu bisa lebih dijangkau,” ucap Lutfi saat konferensi pers virtual, Senin (15/3/2021).
Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Rochadi Tawaf mengatakan akibat kebakaran hutan dan banjir pada pasokan sapi di Australia memang cukup parah. Menurut Australian Bureau of Agricultural and Resource Economics and Sciences, populasi sapi di wilayah itu turun 19,9 persen dari 25,9 juta ekor (2010) menjadi 21,6 juta ekor (2020).
Dampak gangguan ini sangat fatal karena Australia selama ini merupakan satu-satunya sumber sapi hidup Indonesia. Imbasnya harga sapi yang tiba di Indonesia meroket hingga tingkat tertinggi dalam sejarah--impor sapi Australia dimulai sejak awal 1990. Tak mengherankan bila pada Januari 2021 lalu para pedagang daging sampai mogok berdagang.
Masalahnya, menurutnya langkah pemerintah untuk memasok sapi dari Meksiko dan Brasil tidak akan menyelesaikan masalah lantaran jarak kedua negara sangat jauh. Impor daging sekian puluh ribu ton menurutnya juga tak akan berdampak lantaran permintaan domestik yang sangat tinggi.
Ia justru mengkhawatirkan populasi sapi di Indonesia akan tergerus signifikan. Pasalnya pengusaha feedlot atau penggemukan sapi terpaksa mencari sapi bakalan dari populasi dalam negeri demi menutup permintaan yang ada.
“Kenaikan harga ini akan terus terjadi 2-3 tahun ke depan. Kalau tidak membenahi diri akan mahal terus,” ucap Rochadi kepada reporter Tirto, Rabu (17/3/2021).
Menurut Rochadi, situasi hari ini sebenarnya masih bisa diselesaikan jika pemerintah benar-benar serius menjalankan program swasembada daging yang dicanangkan sejak dulu. Kenyataannya banyak upaya peningkatan produksi tidak dilakukan dengan konsisten bahkan berantakan.
Rochadi mencontohkan roadmap sapi potong yang dibuat pemerintah bersama akademisi yang pernah mencanangkan impor sapi bakalan 3,5 juta ekor dalam 10 tahun--yang berarti minimal 350 ribu ekor per tahun. Faktanya hanya 3.000-6.000 ekor yang diimpor.
Lalu keputusan pengembangan Belgian Blue yang harganya sangat mahal padahal anggaran pemerintah terbatas. Di sisi lain, jenis sapi ini juga tidak cocok dengan jenis sapi domestik yang sudah dimiliki Indonesia.
Ada pula rencana pemerintah untuk mendorong peternakan ke arah industrialisasi. Menurutnya hal ini ide yang buruk karena 98 persen populasi dalam negeri kenyataannya dikuasai peternak rakyat. Ia mempertanyakan, “mau dikemanakan nanti rakyat ini?”
Rochadi pun tak heran bila peningkatan produksi daging Indonesia kerap tertinggal dari kebutuhan. Menurut riset Qasa yang diolah dari data BPS, rata-rata pertumbuhan produksi daging hanya 1,3 persen per tahun padahal pertumbuhan permintaan daging tahunan bisa mencapai 6,4 persen. Dengan angka itu, praktis Indonesia terus-menerus langganan defisit daging dan terus-menerus harus impor.
Menurut data Kementerian Pertanian, perkiraan kebutuhan daging tahun 2020 mencapai 623.642 ton dan diperkirakan akan meningkat 11,76 persen menjadi 696.956 ton di 2021. Sementara pertumbuhan produksi diperkirakan hanya naik 0,82 persen, yaitu dari 422.523 ton di 2020 ke 425.978 ton di 2021.
Data Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat produksi daging Indonesia juga relatif stagnan dalam lima tahun terakhir di kisaran 490-500 ribu ton. Produksi 2015 misalnya sempat mencapai 506.661 ton tetapi pada 2019 hanya 490.421 ton.
“Pemerintah selama ini enggak peduli. Apa yang mereka buat, mereka langgar. Enggak konsisten sama programnya,” ucap Rochadi.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memastikan kalau ketersediaan daging masih cukup bahkan sampai hari besar keagamaan dan nasional (HBKN) mendatang. Kementan, katanya, telah berupaya memastikan sapi yang sudah dipotong bisa segera diisi lagi stoknya agar tetap terjaga sepanjang tahun.
Meski demikian, ia juga mengamini bahwa Indonesia harus memiliki program jangka panjang untuk mengatasi ketersediaan sapi dalam negeri. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu bergantung pada negara lain.
"Kita harus sama-sama merencanakan bagaimana selanjutnya untuk menjaga kestabilan ketersediaan sapi," ucap Syahrul, Kamis (4/3/2021).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino