Menuju konten utama
27 Oktober 2010

Keteguhan Hati Mbah Marijan - Mozaik Tirto

Gunung Merapi punya posisi vital dalam sejarah Jawa, ikut menentukan tumbuh dan matinya sebuah peradaban dan kerajaan.

Keteguhan Hati Mbah Marijan - Mozaik Tirto
Lahir pada 1927, Maridjan menjalani kehidupan dari awal sampai akhir hayatnya hanya di Kinahrejo. Ia sudah menjalani peran sebagai penjaga Merapi, melanjutkan jejak ayahnya yang sudah lebih dulu menjadi juru kunci salah satu gunung api paling aktif di dunia itu. Pada 1970, saat ayahnya masih hidup, Maridjan sudah diangkat sebagai abdi dalem Kraton Yogyakarta untuk menyertai tugas sang ayah.

Sebagai juru kunci Merapi, Mbah Maridjan mengerti betul polah-tingkah gunung yang dikeramatkannya itu. Letusan-letusan kecil terjadi saban 2 atau 4 tahun. Erupsi yang sedikit lebih besar biasanya berkurun waktu antara 10 sampai 15 tahun. Sedangkan ancaman yang benar-benar harus diwaspadai memang belum bisa dipastikan siklusnya, tapi yang jelas lebih memakan waktu lama.

Mbah Maridjan selalu enggan jika diminta mengungsi manakala ada tanda-tanda Merapi bakal menguap lagi. Bahkan, ia pernah dua kali menolak permintaan Sultan HB X, Raja Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY yang seharusnya menjadi junjungannya.

Dan, tanggal 26 Oktober 2010, erupsi Merapi mencapai puncaknya. Mbah Maridjan tetap teguh pendirian, berdiam diri di dalam rumahnya, hingga akhirnya ditemukan tak bernyawa dalam posisi bersujud. Sang juru kunci rupanya sudah sangat siap dengan apapun yang bakal terjadi.

Erupsi Merapi 2010 tercatat salah satu yang paling dahsyat. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan 341 orang tewas, 368 orang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit, dan 61.154 orang dievakuasi. Adapun kerugian materi mencapai Rp 4,23 triliun, termasuk 3.307 bangunan yang mengalami kerusakan.
Baca juga artikel terkait ERUPSI MERAPI atau tulisan lainnya dari Riva

Editor: Riva