Menuju konten utama

Kemenpar Gandeng UGM Buat Interpretatif Tour Candi Borobudur

Kemenparekraf sedang menggenjot kembali wisatawan lokal maupun mancanegara agar lebih tertarik ke daerah Borobudur.

Kemenpar Gandeng UGM Buat Interpretatif Tour Candi Borobudur
Wisatawan menikmati suasana matahari terbit di kawasan Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (15/12/2018). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww.

tirto.id - Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sedang merancang sebuah konsep wisata tour daerah Borobudur, Magelang, Jawa Tengah dengan gaya interpretative tour dan storytelling. Mereka menggandeng beberapa akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk ikut merancang konsep tour tersebut.

Salah satu anggota Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah, Religi, Seni, Tradisi, dan Budaya, Kemenparekraf RI, Revalino Tobing, mengatakan lembaganya sedang menggenjot kembali wisatawan lokal maupun mancanegara agar lebih tertarik kembali ke daerah Borobudur.

“Borobudur ini luar biasa sekali. Kalau orang hanya tahu tentang Bali, lho Borobudur juga ada. Ini juga terkenal. Jadi Borobudur yang sudah sekalian lama akan menarik sekali kalau teman-teman dari UGM mulai merancang sebuah storytelling dan interpretatif tour, ini penting sekali," kata dia saat pembukaan tour bersama awak media, Rabu (13/11/2019).

Menurut Revalino, Kemenparekraf penting mengundang para akademisi, khususnya sejarawan dan antropolog, untuk ikut terlibat dalam membentuk konsep tour wisata sejarah yang berbeda dari narasi-narasi sejarah selama ini telah ada.

"Karena jangan sampai orang datang sekali, dan kemudian dia bosan. Sementara candinya enggak mungkin kita ubah. Borobudur sekali datang sampai sekian lama bentuknya akan seperti itu. Yang perlu kita ubah adalah ceritanya. Tema cerita ini harus menarik. Sehingga orang datang dan datang lagi, tidak monoton," kata dia.

Di Candi Borobudur misalnya, kata Revalino, ada banyak sekali relief-relief yang bisa diceritakan dengan narasi alternatif lewat interpretative tour. Pasalnya, kata dia, selama ini tour guide yang membawa wisatawan ke Candi Borobudur hanya menceritakan sejarah candi yang normatif saja tanpa ada kisah-kisah lainnya.

"Bisa juga diangkat agama Buddha-nya sendiri. Bagaimana mengenai sejarahnya. Atau mengenai orang-orang sekitar Borobudur di masa lampau dan masa kini sehingga bagaimana faktor yang membuat Borobudur menunjang kehidupan mereka [warga sekitar] sampai sekarang. Semisal pengrajin gerabah di sekitar Borobudur sekarang, itu kan ada di relief-relief sejak zaman dahulu," kata dia.

Salah satu faktor mengapa konsep tour wisata itu perlu diubah, kata Revalino, adalah demi menunjang ekonomi rakyat lokal di sekitar Borobudur yang selama ini sepi dan kurang diminati wisatawan.

Menurut dia, selama ini wisatawan yang datang ke Candi Borobudur hanya terfokus ke candi saja dan langsung pulang setelahnya, tanpa berusaha mencari wisata alternatif di sekitar borobudur milik rakyat lokal.

"Salah satu faktornya karena tak ada narasi yang mengaitkan antara relief-relief masa lalu dengan kegiatan warga lokal saat ini. Menurut saya akademisi seperti sejarawan memiliki peran penting membangun narasi itu," kata Revalino.

Salah satu anggota Tim Penyusun Narasi Legenda Borobudur UGM, Louie Buana, membenarkan ucapan Revalino. Menurutnya, perlu ada keterlibatan awal untuk para akademisi dan dosen yang paham mengenai narasi-narasi alternatif dari sejarah Borobudur untuk diketahui para wisatawan agar lebih tertarik.

"Karena memang selama ini tour wisata Candi Borobudur hanya sebatas sejarah kapan dan oleh siapa candi dibangun, tanpa pernah dipaparkan cerita-cerita menarik di balik semua relief-reliefnya. Kami ingin mencoba memaparkan itu, tentu dengan kajian historis yang ketat dan saintifik," kata Louie.

Tim penyusun sendiri, kata Louie, terdiri dari banyak dosen sejarah, antropologi, dan kajian budaya UGM. Dan diawasi langsung oleh para guru besar.

Baca juga artikel terkait atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz