tirto.id - Salat id di lapangan Madrasah milik Gus Amar berakhir sudah. Warga saling bersalam-salaman. Tidak sedikit yang langsung mengadakan reuni kecil-kecilan. Bersua kawan lama, berbincang sejenak sebelum kembali ke rumah bersama keluarga. Semua tumpah ruah. Wajah berseri, senyum yang mengembang tak henti-hentinya muncul dari wajah para jamaah salat id.
Gus Amar sudah kembali ke rumah, beberapa tetangga sudah datang ke kediamannya di samping madrasah. Tilmidun terlihat dengan seseorang. Ia adalah sosok yang sebelumnya diceritakan Tilmidun ke Gus Amar.
Begitu sadar bahwa orang yang bersama Tilmidun adalah sosok yang diceritakan semalam, Gus Amar memberi kode untuk pindah agak masuk ke dalam rumahnya.
“Mari, mari, tak perlu sungkan,” kata Gus Amar kepada seseorang yang dari perawakannya sudah paruh baya.
“Tilmidun sudah cerita kok maksud kedatangan sampeyan,” kata Gus Amar mencoba akrab.
Yang diajak bicara hanya terdiam, lalu memandang ke arah Tilmidun.
Tilmidun yang dipandang jadi salah tingkah. “Enggak kok, saya belum cerita semuanya,” kata Tilmidun membela diri.
“Silakan cerita, mungkin saya bisa bantu,” kata Gus Amar.
Pria ini masih sungkan dan rasa takut tersirat dari garis-garis wajahnya, tapi hari itu terlihat ia memang sudah lama ingin mengungkapkan pengakuan dosa.
“Gus Amar,” kata pria ini memulai percakapan.
“Iya,” jawab Gus Amar ramah.
“Saya telah melakukan dosa yang begitu besar yang membuat saya merasa tidak pantas dimaafkan oleh siapapun, bahkan termasuk Allah,” kata pria ini.
Gus Amar membenarkan letak duduknya. “Memang dosa apa yang sampeyan lakukan sampai merasa begitu? Bukankah sampeyan juga tahu, tidak ada dosa yang tidak dimaafkan oleh Allah selama hambanya masih dalam keadaan hidup dan sadar?”
“Iya Gus, saya tahu, tapi dosa saya ini terlalu besar,” kata pria ini.
“Apakah sebesar dosa syirik yang tidak diampuni?” tanya Gus Amar.
“Lebih dari itu,” kata pria ini.
“Memangnya apa? Sampeyan pernah membunuh seseorang? Bahkan membunuh seseorang pun belum tentu lebih besar dosanya daripada dosa syirik,” tanya Gus Amar mencoba memancing.
Pria ini diam. Seolah sedang mencari kata yang tepat untuk menjelaskan ke Gus Amar.
“Saya malu menceritakannya,” kata pria ini.
“Saya tidak memaksa sampeyan untuk cerita. Jika sampeyan tidak mau cerita, bagaimana saya bisa menilai dosa sampeyan besar atau tidak?” kata Gus Amar.
“Baiklah, akan saya ceritakan,” kata pria ini.
“Nah begitu dong dari tadi,” kata Gus Amar tersenyum.
“Sebelumnya saya perlu ceritakan bagaimana kehidupan saya dulu, Gus. Dulu pekerjaan saya adalah orang yang memberi pinjaman uang kepada orang-orang yang terdesak. Semacam rentenir. Tentu kerjaan saya bukan sembarangan memberi utang. Utang yang saya berikan memang saya rancang akan membebani mereka karena bunga pinjaman yang mencekik. Itulah yang kemudian membuat saya pernah sangat sukses. Saya kaya raya dan merasa bisa membeli apapun saat itu,” kata pria ini.
Gus Amar diam, masih menyimak.
“Suatu saat, ada seseorang petani miskin yang punya utang menumpuk di tempat saya. Saya tahu benar, besaran utangnya bisa membuat saya memaksanya untuk menyerahkan tanahnya yang begitu luas. Tanah yang jadi sumber penghidupannya, tapi saya tidak melakukan itu. Gus Amar tahu apa sebabnya?” tanya pria ini.
Gus Amar yang masih serius menyimak terkejut mendengar pertanyaan dadakan tersebut. “Sampeyan merasa kasihan?” tebak Gus Amar.
“Tidak.”
“Lantas?”
“Petani itu punya anak gadis yang sangat cantik. Paling cantik di daerah saya. Tidak ada yang bisa menandingi kecantikannya. Karena kecantikan itu, saya bahkan sampai rela utang-utangnya lunas asal petani tersebut bersedia menikahkan putrinya ke saya,” kata pria itu.
“Lantas sampeyan menikah dengan putri petani tersebut?” tebak Gus Amar.
“Benar, saya menikahinya. Tentu saja setelah pemaksaan yang luar biasa dari anak buah saya,” kata pria ini.
Wajah Gus Amar mulai berubah. Yang tadinya berwajah ramah, kali ini tidak ada kesan ramah di wajah itu.
“Oleh karenanya sampeyan merasa berdosa sekali?” tanya Gus Amar mencoba menyimpulkan.
“Tidak, dosa saya yang itu belum seberapa,” kata pria ini.
Meski terkejut, Gus Amar masih penasaran dengan kelanjutannya. “Lalu dosa yang mana yang mengganggu sampeyan?”
“Saya lanjutkan dulu ceritanya,” kata pria ini. “Setelah kami menikah, kelakuan saya sebagai seorang suami buruk sekali. Mabuk-mabukan, main judi, bahkan sampai main perempuan. Istri saya berulangkali ingin menceraikan saya. Tapi ancaman saya nyata. Jika ia menceraikan saya, tanah bapaknya akan saya ambil paksa karena utang tersebut tidak jadi lunas. Hampir setiap malam kami bertengkar. Pertengkaran yang akan berakhir dengan saya memukuli istri saya sampai babak belur. Sampai kemudian pada suatu saat keinginan istri saya untuk bercerai itu hilang,” kata pria ini lalu menahan napas.
“Mengapa?” tanya Gus Amar penasaran.
“Istri saya hamil. Kehamilan yang sempat membuat kehidupan saya sedikit berubah lebih baik. Saya jadi jarang mabuk-mabukan. Main judi pun sudah saya tinggalkan. Tapi itu tidak berlangsung lama sampai anak saya lahir. Seorang perempuan. Bayi mungil yang sama cantiknya dengan istri saya,” kata pria ini.
Keadaan hening begitu pria ini mengambil jeda ceritanya. Setelah mengambil napas panjang, ia memulainya lagi.
“Sampai kemudian anak saya ini tumbuh jadi seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Bahkan melebihi kecantikan ibunya. Kecantikan yang malah membuat saya sangat takut,” kata pria ini.
“Takut? Takut kenapa?” tanya Gus Amar.
“Takut kalau anak gadis saya akan bertemu dengan pria seperti saya. Sosok brengsek seperti saya. Akhirnya, barangkali karena bisikan setan, daripada anak gadis saya dirampas keperawanannya oleh orang lain, saya akhirnya… saya akhirnya…” pria ini tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
Kali ini ada getaran hebat yang ia pendam. Mata pria ini berkaca. Tapi itu tak berlangsung lama, ia pun terlihat ingin menyelelesaikan ceritanya.
Gus Amar pun kehilangan kata-kata untuk melanjutkannya, tapi kalimat itu keluar juga, “Sampeyan, memperkosanya?”
Pria di hadapan Gus Amar ini terdiam, lalu menjawab…
“Benar, Gus. Saya memperkosanya,” kata pria ini larut dalam tangis ketakutan dan malu. “Saya memperkosanya. Memperkosa darah daging saya sendiri.”
“Astaghfirullahaladzim. Naudzubillah,” Gus Amar langsung merebahkan dirinya di sandaran kursi. Badannya langsung lemas.
“Besar sekali dosa sampeyan, Pak,” kali ini Gus Amar tidak tahu harus berkata manis apalagi di hadapan pria ini.
Akan tetapi, masih dalam tangisnya, pria ini berkata, “Tapi, tapi dosa itu masih belum seberapa Gus.”
Gus Amar hampir saja terjatuh dari kursi ketika mendengarnya. Entah telinganya masih sanggup mendengar lanjutan cerita mengerikan dari pria di hadapannya ini atau tidak, tapi sepertinya pria di hadapannya masih sanggup untuk menceritakan semua catatan dosanya.
(Nantikan bagian III cerita Tilmidun pada Senin, 26 Juni 2017)
*) Diadaptasi dari salah satu riwayat dalam kitab Durrotun Nasihin karangan Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir al-Khaubawiyyi. Sebuah kitab yang beberapa isinya terdapat riwayat hadis daif dan palsu. Meskipun begitu, beberapa riwayat di dalamnya adalah kisah-kisah yang menakjubkan serta bisa dijadikan pelajaran.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang memuat kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagian lagi termuat dalam buku/kitab-kitab. Ia dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti