Menuju konten utama

Kekerasan Berulang pada Mahasiswa, Bukti Aparat Abaikan Prosedur

Kampus seharusnya menjadi ruang aman yang terbebas dari segala bentuk kekerasan.

Kekerasan Berulang pada Mahasiswa, Bukti Aparat Abaikan Prosedur
Sejumlah personel Polres Ternate membentuk barikade untuk mengadang mahasiswa masuk ke dalam kantor DPRD saat melakukan pengamanan di depan kantor DPRD Kota Ternate di Ternate, Maluku Utara, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/Andri Saputra/nz

tirto.id - Senin (1/9/2025) malam, puluhan aparat kepolisian memasuki area sekitar Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) yang berlokasi di Taman Sari dan Sukasari, Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan rekaman kamera CCTV di Jalan Wastukencana yang beredar di media sosial, suasana di sekitar Kampus Unisba dan Unpas pada malam itu begitu mencekam. Truk kepolisian lalu-lalang, membawa puluhan aparat yang bersiap memukul mundur para mahasiswa demonstran.

Video lain yang beredar di Instagram juga menunjukkan aparat kepolisian berseragam lengkap beserta tameng dan pentungan tengah berjalan menyusuri depan Kampus Unisba. Aparat kepolisian juga terlihat menembakkan gas air mata ke dalam kampus, membuat para mahasiswa terjebak di dalam.

Para mahasiswa hanya bisa berlindung di gedung-gedung kampus karena asap gas air mata mengepung mereka.

Berdasarkan pantauan kontributor Tirto di lokasi pada Selasa (2/9/2025), tampak kaca di dekat gedung Unpas pecah akibat serbuan polisi pada malam sebelumnya. Setidaknya ada 48 proyektil peluru gas air mata yang berserakan di dalam kampus.

Sementara itu, Presiden Mahasiswa Unisba, Kamal Rahmatullah, mengatakan bahwa serangan ke arah mahasiswa di dalam kampus itu dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI. Serangan dimulai sekira tengah malam seusai mahasiswa menggelar aksi demonstrasi damai.

Menurutnya, aparat dengan persenjataan lengkap melakukan serangan secara membabi buta. Sejumlah mahasiswa pun menjadi korban karena serangan gas air mata yang sampai area kampus menyebabkan luka fisik hingga pernapasan.

"Serangan ini jelas merupakan bentuk tindakan represif, pelanggaran hukum yang menjijikan, dan penghinaan terhadap nilai-nilai demokrasi serta otonomi kampus," tutur Kamal dalam konferensi pers di kampus Unisba, Selasa pagi.

Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat angkat bicara ihwal insiden tersebut. Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Hendra Rochmawan, menyatakan peristiwa ini berawal saat petugas menggelar patroli ke berapa titik bersama TNI. Kemudian, mereka mengklaim mendapati tumpukan batu dan kayu juga bakar-bakaran ban di Jalan Taman Sari.

Polisi juga menduga ada sejumlah pihak yang merancang skenario provokasi dengan memancing petugas. Sebab, massa tersebut mundur sampai ke area Kampus Unisba dengan maksud agar aparat menyerang ke kampus.

“Di saat yang sama, ada sekelompok orang memakai baju hitam yang diduga sebagian besar anarko. Mereka itulah awalnya yang menutup dan blokade Jalan di Taman Sari, sambil anarkis, sehingga tim Patroli Skala Besar Gabungan TNI-Polri turun,” ujar Hendra kepada para wartawan, Selasa.

Lebih lanjut Hendra menerangkan bahwa massa yang mereka duga sebagai anarko terus memprovokasi dari dalam Kampus Unisba hingga melempar bom molotov ke tim patroli. Petugas akhirnya melakukan tindakan dengan menembakkan gas air mata ke jalan raya.

Hendra tak menampik bahwa asap gas air mata memang masuk ke dalam area kampus. Kendati demikian, hal itu dikarenakan tertiup angin.

“Ini yang kemudian provokator dari anarko inginkan dan memang menunggu momen untuk membenturkan antara mahasiswa dan petugas. Mereka membuat framing bahwa petugas masuk ke kampus, membawa senjata peluru karet, dan menembakkan gas air mata yang di mana semua itu hoaks,” ungkap Hendra.

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, berkomitmen untuk membuka ruang dialog dengan mahasiswa setelah terjadinya insiden tersebut. Dedi juga meminta agar aksi massa hadir secara murni untuk menyampaikan tuntutan, tanpa disusupi kelompok yang memicu kericuhan.

Dedi menjelaskan bahwamahasiswa Unisba sebenarnya telah membubarkan diri sejak Senin sore, sekira pukul 17.00. Sehingga, kericuhan pada Senin malam disebutnya dilakukan oleh kelompok lain yang sempat melakukan pengadanan.

“Dalam kegiatan unjuk rasa selalu ada potensi masuknya kelompok yang tidak ada kaitannya dengan kampus maupun tuntutan mahasiswa. Nah, inilah yang sering memicu kekacauan,” kata Dedi di Gedung Rektorat Unisba kepada para wartawan, Selasa.

Dedi juga meminta agar aksi demonstrasi dilakukan pada siang hari dan selesai sebelum malam hari. Hal tersebut untuk menghindari penyusup dan menjaga gerakan mahasiswa supaya tidak ternodai.

Dedi pun mengayakan bahwa “kelompok hitam-hitam” yang dituding menjadi provokator tengah diidentifikasi lebih lanjut oleh Polda Jabar.

“Kita tidak ingin nama mahasiswa tercoreng. Gerakan mahasiswa harus tetap murni karena mereka adalah agen perubahan. Kritik mereka adalah bahan koreksi bagi pemerintah,” pungkas Dedi.

Represi terhadap Mahasiswa Terus Berulang

Tindakan represif aparat kepolisian terhadap para mahasiswa selama rangkaian aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025 telah memakan korban. Bukan hanya korban luka-luka ataupun sesak napas akibat penggunaan gas air mata secara berlebihan, tindakan aparat juga sudah memakan korban jiwa.

Di Yogyakarta, seorang mahasiswa Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (Amikom) bernama Rheza Sendy Pratama meninggal dunia pada Minggu (31/8/2025) usai mengikuti aksi demonstrasi.

Kematian Rheza menjadi sorotan karena di sekujur tubuhnya terdapat luka-luka penganiayaan yang diduga dilakukan aparat kepolisian. Ayah Rheza, Yoyon Surono, bercerita bahwa dia sempat menemukan bekas pijakan sepatu dinas aparat kepolisian hingga luka di beberapa bagian tubuh anaknya.

"Tadi, ikut mandiin. Sini [leher] itu kayak patah apa gimana, terus sini [perut kanan] itu bekas pijakan kaki-kaki bekas PDL sepatu, terus sini ada sayatan-sayatan kayak bekas digebuk, terus kepala sini agak bocor, sini [wajah] kayak putih-putih kena gas air mata, sama kaki-tangan lecet, punggung lecet," kata Yoyon saat diwawancarai awak media di rumah duka di Sendangadi, Mlati, Sleman pada Minggu (31/8/2025).

Rheza pada awalnya melakukan aksi demonstrasi di depan Mapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berlokasi di kawasan Ring Road Utara. Dia sempat dilarikan ke RSUP Dr. Sardjito untuk mendapatkan pertolongan.

Namun, nahasnya, nyawa mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi angkatan 2023 itu tak tertolong.

Kapolda DIY, Irjen Pol Anggoro Sukartono, mengatakan Rheza diselamatkan dari TKP karena kondisinya yang lemah. Anggoro juga menyebut bahwa Rheza ditangani oleh kedokteran kepolisian dan dibawa menggunakan ambulans pinjaman dari RSUP Dr. Sardjito untuk mendapat penanganan medis.

Anggoro menjelaskan bahwa Rheza merupakan 1 dari 6 orang yang ditangkap polisi usai aksi demonstrasi.

“Dari 6 orang yang kami bawa ke rumah sakit, semua menjadi tanggung jawab pada saat kami serahkan. Pertolongan pertama sudah kami lakukan, tapi situasi itu kami lihat bagaimana perusuh datang ke tempat kami,” ucap Anggoro kepada para wartawan, Selasa.

Tak jauh dari Yogyakarta, seorang mahasiswa juga meregang nyawa setelah diduga dianiaya oleh aparat kepolisian. Dia adalah Iko Juliant Junior, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes). Sebelum meninggal dunia, Iko disebut sempat mengigau dan meminta untuk tidak lagi disiksa.

“Sebelum kepergiannya, Iko sempat mengigau, ‘Ampun, Pak. Tolong, Pak, jangan pukulin saya lagi’,” begitu keterangan dalam unggahan di akun Instagram @basuara, pada Senin (1/9/2025).

Pusat Bantuan Hukum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Unnes juga menyebut terdapat kejanggalan dalam kondisi kematian Iko. Dari foto fisik Iko, terlihat ada luka lebam di bagian wajah.

Namun, berbeda dengan informasi yang beredar di media sosial, pihak kepolisian justru menyebut Iko meninggal karena terlibat kecelakaan lalu lintas di Jalan Veteran, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Minggu (31/9/2025) dini hari.

"Penyelidikan oleh Satuan Lalu Lintas Polrestabes Semarang tentang adanya peristiwa kecelakaan lalu lintas di Jalan Veteran pada 31 Agustus dini hari," kata Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Artanto, di Semarang, Selasa (2/9/2025), dikutip dari Antara.

Dari hasil penyelidikan, kata Artanto, Iko yang berboncengan sepeda motor dengan rekannya itu melaju dari arah barat ke timur pada sekira pukul 03.05 WIB. Para korban dalam kecelakaan tersebut kemudian ditolong oleh personel Brimob yang sedang berjaga untuk kemudian dilarikan ke RS Dokter Kariadi Semarang.

Merunut Kematian Iko Mahasiswa Unnes

Papan pengumuman kematian Iko Juliat Junior terpampang di depan rumah mendiang di Beringin, Ngaliyan, Kota Semarang, Selasa (2/9/2025). Penyebab kematian Iko mahasiswa Unnes, menyisakan kejanggalan. Tirto.id/Baihaqi Annizar

Artanto menegaskan bahwa pihak kepolisian sudah mengambil langkah penyelidikan untuk mengungkap perkara tersebut. Dia mempersilakan kepada keluarga untuk melapor jika memang dinilai terdapat kejanggalan dalam peristiwa tersebut.

Tindakan kekerasan yang dialami para mahasiswa di Indonesia terbilang cukup tinggi. Sepanjang Januari–Juni 2025, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat 440 mahasiswa menjadi korban peristiwa pelanggaran kebebasan sipil. Sebagian besar kasus pelanggaran kebebasan sipil yang mereka alami adalah penangkapan sewenang-wenang dan pembubaran paksa demonstrasi disertai penyiksaan dan perlakuan kasar.

Dari sejumlah kelompok masyarakat lainnya yang mengalami tindakan pelanggaran kebebasan sipil, kelompok mahasiswa menjadi jumlah yang tertinggi. KontraS juga mencatat bahwa Polri menjadi institusi negara nomor satu yang paling banyak melakukan pelanggaran kebebasan sipil.

“Institusi Polri menjadi institusi negara yang berdasarkan catatan KontraS menempati urutan pertama aktor pelanggar kebebasan sipil dengan catatan menyumbang 52 Peristiwa,” tulis KontraS dalam laporannya, dikutip Selasa (2/9/2025).

KontraS juga melaporkan kekerasan serupa yang menimpa mahasiswa pada insiden kerusuhan pada 1998 silam. Salah satu contoh nyata kasus yang menimpa mahasiswa terjadi pada 12 Mei 1998. Pada hari itu, aparat melakukan penembakan terhadap 4 orang mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie.

Pada masa itu, korban mahasiswa yang mengalami luka-luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Kekerasan terhadap mahasiswa berlanjut hingga periode 8–14 November 1998. Mahasiswa saat itu berdemonstrasi untuk menolak Sidang Istimewa MPR yang dinilai inkonstitusional serta meminta presiden untuk mengatasi krisis ekonomi. Aparat merespons demonstrasi tersebut dengan peluru tajam.

Akibatnya, 18 orang mahasiswa meninggal—4 orang di antaranya adalah Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi, dan B.R. Norma Irmawan. Sementara itu, korban luka-luka mencapai 109 orang, baik masyarakat maupun mahasiswa.

Unjuk rasa mahasiswa di Solo

Mahasiswa berorasi di depan anggota Polisi yang berjaga saat aksi unjuk rasa Solo Raya Menggugat di Kantor DPRD Solo, Jawa Tengah, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/nz.

Polisi Diduga Langgar Prosedur

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengecam keras tindakan represif aparat kepolisian dan TNI dalam merespons gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat di berbagai daerah.

Menurutnya, pola penanganan aksi yang menggunakan kekerasan telah melampaui batas dan mengancam sendi-sendi demokrasi. YLBHI menilai pemerintah justru tengah menyebarkan ketakutan terhadap warganya sendiri.

Penggunaan tuduhan makar hingga terorisme, penyerbuan ke kampus, pengerahan tentara dalam patroli, serta penembakan gas air mata yang diarahkan ke kerumunan mahasiswa menjadi bukti bahwa aparat gabungan tidak lagi menjalankan fungsi pengamanan aksi, melainkan sudah bergerak pada jalur represi sistematis.

“Pengerahan tentara dalam patroli sudah menunjukkan bahwa aparat gabungan tidak lagi bergerak untuk mengamankan jalannya aksi. Namun, sudah mengarah pada represi sistematis dan bentuk teror terhadap rakyat. YLBHI mengingatkan pemerintah untuk introspeksi diri dan tidak abai terhadap berbagai tuntutan rakyat yang disuarakan melalui aksi massa,” ujar Isnur dalam keterangan pers resmi, Selasa (2/9/2025).

Isnur juga menyoroti insiden penembakkan gas air mata ke arah massa yang berlindung di Unisba dan Unpas. Menurutnya, langkah aparat itu telah menimbulkan ketakutan dan melanggar Pasal 28G UUD 1945 yang secara spesifik menyatakan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan.

Untuk itu, Isnur menekankan bahwa YLBHI menyatakan pengecaman terhadap penggunaan kekuatan berlebihan dan juga upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap para massa aksi.

“⁠Mengutuk keras praktik kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian terhadap masyarakat yang mengakibatkan korban luka-luka hingga meninggal dunia,” tegasnya.

Sementara itu, Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus, menilai tindakan represif aparat terutama yang baru saja terjadi di Unisba dan Unpas telah menimbulkan ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi mahasiswa. Dia menyebut kampus seharusnya menjadi ruang aman yang terbebas dari segala bentuk kekerasan.

Menurutnya, kampus sebagai institusi pendidikan memiliki kebebasan akademik yang seharusnya terbebas dari segala represi. Dia juga menyayangkan pelibatan aparat TNI dalam melakukan pengamanan di area kampus.

“Tentara tidak memiliki kewenangan untuk langsung terlibat dalam proses pengamanan aksi demonstrasi. Itu telah menyalahi aturan,” ucapnya saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa.

Andrie mengatakan bahwa aparat kepolisian juga dinilai telah melanggar Prosedur Operasional Tetap (Protap) Pengendalian Massa dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam aksi represifnya terhadap para mahasiswa.

Andrie menekankan bahwa kepolisian wajib mengedepankan prinsip proporsionalitas dan nesesitas dalam pengamanan demonstrasi. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.

Untuk itu, Andrie juga mendesak agar kepolisian menghentikan penggunaan cara-cara represif. Menurutnya, pejabat utama Polri harus bertanggung jawab dengan menyeret anggotanya yang diduga terlibat dalam pelanggaran.

“Pejabat-pejabat utama Polri harus bertanggung jawab untuk menyeret para anggotanya yang diduga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terlibat dalam pelanggaran penggunaan kekuatan secara berlebihan,” tuturnya.

Andrie juga menilai klaim kepolisian bahwa gas air mata masuk ke kampus karena terbawa angin serta alasan mengejar kelompok anarko, sebagai suatu klaim yang keliru dan fatal. Ia menyebut labelisasi terhadap kelompok tertentu tidak boleh menjadi dasar pembenaran penggunaan kekuatan secara berlebihan.

Menurutnya, alasan aparat kepolisian yang menyebut gas air mata terbawa angin juga tidak masuk akal. Dia menyebut hal itu sebagai bentuk berkelit dan komunikasi publik yang buruk.

“Semestinya [yang] dilakukan adalah tetap mengedepankan setiap orang yang melakukan atau menjalankan haknya sebagai warga negara untuk berdemonstrasi itu haruslah dan patut untuk dilindungi,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN POLISI TANGANI DEMO atau tulisan lainnya dari Naufal Majid

tirto.id - News Plus
Reporter: Naufal Majid
Penulis: Naufal Majid
Editor: Fadrik Aziz Firdausi