tirto.id - “Kopi adalah kebutuhan,” tulis Jordan Michelman untuk Eater. “Bisnis kopi adalah bisnis yang tahan banting, tahan terhadap resesi dan, mungkin, tahan terhadap depresi ekonomi.”
Mengapa kopi disebut sebagai bisnis tahan banting? Alasannya sederhana, setiap tahun manusia mengkonsumsi 500 miliar cangkir kopi di seluruh dunia, entah itu melalui Starbucks atau Starling ("Starbucks keliling"). Kopi (dan teh) merupakan jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi manusia, setelah air putih. Apapun yang terjadi pada dunia, manusia akan tetap menikmati kopi.
Masalahnya, tahun 2020 dibuka oleh SARS-CoV-2, social distancing, dan karantina. Manusia memang tetap menikmati kopi, tapi bukan di kafe, kedai, atau warung kopi yang kini terpaksa tutup karena corona.
Di negara-negara bagian Amerika Serikat yang mempraktikkan karantina wilayah, tempat-tempat ngopi berguguran. Sebagaimana dilansir Eater, Stumptown Coffee, misalnya, terpaksa merumahkan 130 barista dan staf. Jaringan kopi global Starbucks menutup setengah dari jumlah kedai mereka di AS, pasar terbesarnya. Akibatnya, dalam laporan keuangan per tiga bulanan yang berakhir Maret lalu, saham Starbucks turun 2 persen akibat permintaan kopi yang anjlok hampir 10 persen.
Di Indonesia, dalam rilis media yang dikeluarkan Moka, aplikasi Point of Sale (POS) yang diakuisisi Gojek, menerangkan selama pandemi berlangsung terjadi penurunan pendapatan harian di industri makanan dan minuman. Menurut rilis yang sama, pendapatan harian bisnis makanan dan minuman turun hingga lebih dari 40 persen, bahkan satu dari tiga bisnis makanan dan minuman di Indonesia menunjukkan penurunan signifikan di tengah pandemi COVID-19.
Arief Rakhmadani, 42 tahun, pemilik kedai kopi Coffee Life, menyatakan pandemi COVID-19 sangat berpengaruh pada bisnis kopi miliknya, khususnya selepas PSBB diberlakukan di beberapa wilayah Indonesia. "Terutama seminggu pertama dari PSBB, penjualan bisa langsung turun 80 persen," ujarnya ketika duhubungi Tirto (13/5/2020).
Ketika kedai tutup akibat pandemi, tutur Arief, kedai kopinya "masih sering dihubungi oleh pelanggan dan tanya kapan buka lagi." Pertanyaan pelanggan ini membuat Arief bukan khawatir ditinggalkan pelanggan saat PSBB, tetapi lebih takut apabila kedai kopi menjadi klaster penyebaran corona.
"Mau nggak mau harus ada beberapa peraturan yang nanti (ketika PSBB berakhir) harus diterapkan, seperti physical distancing," tutur Arief.
Akibat pandemi, eksistensi budaya ngopi di ruang publik pun terancam.
Dari Italia ke Seluruh Dunia
Setelah menjadi minuman keseharian di Jazirah Arab, kopi masuk ke Eropa via Venesia sebagai komoditas kolonial pada abad ke-16. Tiga abad kemudian, sebagaimana dikisahkan Jonathan Morris dalam “Why Espresso? Explaining Changes in European Coffee Preferences from a Production of Culture Perspective” (2013) kopi lantas berubah menjadi komoditas industri.
Kenikmatan menyeruput kopi tak hanya milik penguasa, tapi juga masyarakat biasa. Pada 1908, seorang ibu rumah tangga asal Jerman bernama Melitta Bentz menciptakan teknik seduh kopi dengan menggunakan kertas penyaring (paper filter). Hampir 30 tahun berselang, tepatnya pada 1933, seorang warga Italia bernama Bialetti sukses melahirkan “moka,” cerek cerobong asap yang memanfaatkan tekanan uap untuk menyeduh kopi yang lebih pekat. Pada saat yang hampir bersamaan, perusahaan bernama Melior di Perancis membuat perkakas bernama cafetieres atau akrab disebut dalam bahasa Inggris sebagai French press. Pada 1938 di Swiss, penikmat kopi golongan “nyobek, bukan giling” menciptakan produk revolusioner bernama Nescafe.
Sejak abad ke-20, kopi dinikmati dalam ragam teknik, entah menggunakan saringan kertas, cerek moka, French press, atau kemasan plastik yang tinggal digunting. Namun, di antara teknik-teknik menikmati kopi itu, yang paling populer ialah teknik yang ditemukan warga Italia bernama Bezzera. Pada 1901 Bezzera menjadi penikmat pertama kopi yang dihasilkan dari air bertekanan yang “ditabrakkan” dengan bubuk kopi. Hasilnya adalah kopi yang “short dan concentrated”. Dengan kata lain: espresso.
Dari espresso, lahir ragam minuman kopi, seperti roman espresso (espresso yang ditambahkan irisan lemon), cappuccino (espresso yang ditambahkan kayu manis atau coklat), ristretto (espresso yang ditambahkan sedikit air), hingga latte (espresso yang ditambahkan susu). Namun, sebagaimana ditulis Cosimo Bizzarri untuk Quartz, espresso sesungguhnya tidak hanya melahirkan ragam minuman kopi, tetapi juga melahirkan konsep menikmati kopi di kedai kopi, khususnya kedai kopi bergaya Amerika atau American bars. Di kedai-kedai inilah awalnya parapenyaji kopi dijuluki barman, hingga kemudian berganti menjadi barista.
Kedai kopi, tulis Morris, “menawarkan ruang bergaul kepada para pelanggan.” Di Italia, tempat kelahiran espresso, kedai kopi berkembang pesat. Dari Caffé Maranesi di Florensia sebagai kedai pertama, hingga 118.029 kedai kopi lainnya di tahun 1971.
Tidak hanya Italia, kedai kopi berkembang di hampir seluruh pelosok Bumi. Di Turki, sebagaimana dicatat Statista, terdapat 41.846 kafe per 2017 silam. Sebanyak 1.366 kedai merupakan kafe yang menyajikan kopi semata. Di Perancis pada tahun yang sama terdapat 15.200 kafe, 635 di antaranya merupakan kafe khusus kopi. Di AS sendiri ada 31.256 kedai yang dapat dikunjungi.
Bagi manusia, tulis Catherine Tucker dalam buku berjudul Coffee Culture: Local Experiences, Global Connections (2010) "bertindak sebagai stimulan". “Secara historis, kedai kopi memperoleh ketenaran sebagai tempat untuk diskusi intelektual, debat politik, dan ekspresi sosial. Adam Smith menulis risalah politiknya yang berpengaruh, The Wealth of Nations, di kedai kopi. Principia Mathematica yang inovatif dari Isaac Newton tumbuh dari tantangan untuk menyelesaikan pertengkaran di kedai kopi,” terang Tucker.
Di sisi lain, Rose Pozos-Brewer dalam studi berjudul “Coffee Shops: Exploring Urban Sociability and Social Class in the Intersection of Public and Private Space” (2018) memaparkan bahwa kedai kopi bukan hanya tempat yang mempertemukan orang, tapi juga “ruang isolasi mandiri” atau sebagai tempat “sendirian bersama-sama”. Ini, misalnya, bisa dilihat dari lazimnya kedai kopi hari ini dipakai untuk bekerja. Modalnya hanya laptop, colokan listrik, dan tentu saja, kopi itu sendiri.
Mungkinkah pandemi mengakhiri budaya minum kopi di ruang publik secara global?
Mengutip laporan Johns Hopkins University, hingga 12 Mei 2020, lebih dari 4,2 juta jiwa di seluruh dunia terinfeksi Corona. Sebanyak 289.932 meninggal dunia. Italia, tempat kelahiran budaya ngopi kontemporer, menjadi salah satu tempat yang terdampak hebat. Lebih dari 221 ribu penduduk Italia terinfeksi COVID-19 dan 30.911 jiwa di antaranya harus kehilangan nyawa.
Saat ini, cara terbaik untuk terhindar dari COVID-19 ialah memanfaatkan teknik lawas bernama “social distancing.” Pemerintah di berbagai belahan dunia menginstruksikan warganya untuk tidak keluar rumah, menutup segala aktivitas non-esensial, termasuk menutup kedai-kedai kopi. Akibatnya, di masa ini hingga akhirnya vaksin corona ditemukan, menikmati kopi sambil nongkrong di kedai kopi, baik untuk bersosialisasi ataupun “sendirian bersama-sama--ditemani laptop” mustahil dilakukan.
Yana, 30 tahun, seorang pekerja di sebuah perusahaan konsultan PR, menginisiasi lahirnya gerakan #KopiKarantina. "Ini untuk mendorong orang-orang membeli biji kopi dari roaster atau kafe lokal," ujarnya ketika dihubungi Tirto (13/5/2020). Kerjanya, tutur Yana, tatkala seseorang membeli kopi dari bisnis-bisnis lokal, orang itu wajib berbagi informasi tentang kopi yang dibelinya di media sosial, yang kemudian diunggah ulang oleh siapapun yang ingin terlibat dalam gerakan #KopiKarantina. "Gerakan bertujuan menginspirasi orang untuk mencari kopi di lingkungan mereka, membantu bisnis lokal," tutur Yana.
Gerakan ini sendiri lahir karena saat ini, akibat corona, kedai kopi terpaksa tutup. Padahal, kedai kopi, sebut Yana, adalah "tempat nongkrong kerja, bagian penting dari lingkungan, dan ritual nongkrong di kafe menyatukan orang-orang."
Di sisi lain, digawangi aplikasi pesan makanan, kopi--tanpa memperhitungkan kopi sachet--kini sangat mudah dinikmati di rumah. Pada 2018, pemesanan kopi via Gojek mencapai angka 1,5 juta gelas. Angka tersebut menempatkan kopi sebagai barang yang paling laku dipesan ke-3, hanya kalah dari paket ayam dan paket nasi.
Di kemudian hari, dengan kebijakan karantina wilayah yang telah dilonggarkan atau bahkan ditiadakan, tetapi vaksin belum ditemukan, menikmati kopi nampaknya akan lebih populer dipesan melalui aplikasi, alih-alih menyeruputnya di kedai.
Editor: Windu Jusuf