tirto.id - Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir membantah masih ada kasus ijazah bodong di institusinya.
Hal itu diungkapkan oleh Nasir ketika ia mengunjungi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Rabu, 28 November 2018. [Dokumen rekamannya disimpan oleh redaksi Tirto.]
“Ijazah bodong itu sudah selesai [pada] 2015,” katanya.
Menurutnya, kampus-kampus yang terlibat ijazah bodong itu sudah ditutupnya pada 2015. Ia menyebutkan sudah ada 243 kampus yang ditutup.
“Dan itu digoreng lagi. Muncul lagi itu, saya enggak mau. Saya sudah urusin ini. Ada kampus yang melakukan jual beli ijazah ini, sudah saya tutup pasti. Saya tidak mentolerir hal itu terjadi, siapa pun yang melakukan,” katanya.
Masalahnya, pernyataan Nasir tak sesuai fakta.
Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi kinerja akademik terhadap STIE ISM dan STMIK Triguna Utama pada awal Oktober 2018, masih ada modus jual beli ijazah lewat kuliah fiktif. Tim EKA menemukan ada 728 ijazah yang dikeluarkan oleh STMIK Triguna Utama tanpa dasar.
Selain itu, Tim Evaluasi Kinerja Akademik mendapati 6 mahasiswa S2 Manajemen STIE ISM yang belum menyelesaikan tesis tapi sudah diwisuda dan mendapatkan gelar Magister Manajemen. STMIK Triguna Utama juga pernah membuka kelas jauh di Balaraja, Tangerang, tapi 33 mahasiswanya tidak diakui oleh STMIK Triguna Utama. Kasus ini mengemuka pada 2017. Namun, pada Maret 2018, ke-33 mahasiswa ini tiba-tiba sudah diwisuda. Semua kasus ini terjadi setelah tahun 2015.
Pada 2015, Kemenristekdikti memang sudah menonaktifkan 243 "kampus bermasalah"—artinya, statusnya hanya membekukan, bukan menutup.
Dari 243 kampus yang diklaim Nasir sudah ditutup itu, ternyata sudah ada 100 kampus yang kini kembali aktif. Hanya ada 91 kampus yang benar-benar ditutup.
Dari 100 kampus yang kembali aktif itu, ada STKIP Sera yang pernah melakukan praktik jual beli ijazah seharga Rp 5juta. Pada Desember 2014, STKIP Sera mewisuda lebih dari 1.000 mahasiswa bodong. Temuan itu tercatat dalam laporan monev tim EKA terhadap STIE ISM tahun 2015. Alih-alih ditutup, kini kampus STKIP Sera aktif kembali dan menerima mahasiswa lagi.
STKIP Sera dimiliki oleh Mardiyana dan istrinya, Koes Indrati Prasetyorini. Mereka punya rekam jejak buruk dalam kasus jual beli gelar dan ijazah yang kasusnya terbongkar pada 2005. Selain STKIP Sera, Mardiyana memiliki STMIK Triguna Utama dan STIE ISM yang juga bermasalah dan terlibat dalam jual beli ijazah dengan modus kuliah fiktif pada 2015.
Tiga kampus milik Mardiyana itu memang sempat dinonaktifkan pada 2015, tetapi tidak pernah ditutup.
Definisi Ijazah Bodong Menurut Menteri Nasir
Soal ijazah bodong, Nasir menjelaskan ada tiga sebab ijazah disebut "bodong."
Pertama, apabila sama sekali tidak mengikuti kuliah tetapi mendapatkan ijazah; kedua, tidak melakukan proses pembelajaran sesuai dengan aturan.
“Ada tercatat sebagai mahasiswa tapi tidak melakukan proses pembelajaran yang baik, enggak sesuai standar. Itu termasuk ijazah bodong,” katanya.
Ketiga, lanjut Nasir, melakukan kuliah di daerah yang tidak jelas dan tidak dilaporkan ke kementerian. “Itu juga termasuk ijazah bodong,” ujarnya.
Definsi ijazah bodong yang disampaikan Nasir justru menegaskan praktik jual beli ijazah bodong masih terjadi. Dari temuan tim EKA di STIE ISM dan STMIK Triguna Utama, ada proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan standar pendidikan tinggi menurut Kementerian.
Misalnya, soal alokasi waktu kuliah dan bobot SKS pada STMIK Triguna Utama. Semua mata kuliah dilaksanakan selama 90 menit, tetapi bobot SKS-nya berbeda. Ada yang berbobot 4 SKS dan ada yang 2 SKS. Ada juga skripsi yang belum tuntas dan ditandatangani penguji, tapi ijazahnya sudah diterbitkan.
Di STIE ISM, ada mahasiswi yang hanya mengikuti 4 kali dari 12 kali perkuliahan, tetapi bisa mendapatkan nilai B. Padahal, berdasarkan aturan, mahasiswa hanya diizinkan mengikuti ujian bila kehadirannya di atas 50 persen.
Selain itu ada ujian skripsi yang janggal di STMIK Triguna Utama karena pengujinya bukan dosen STMIK Triguna Utama.
Ujian skripsi itu dilaksanakan pada September 2016, tetapi tidak di kampus STMIK Triguna Utama melainkan di gedung SDIT Al Itqon, Balaraja, Banten. Para mahasiswa yang ikut ujian pun tidak diakui Kampus dan tidak terdaftar di Kementerian pada saat itu.
Temuan Tim EKA yang notabene adalah tim yang dibentuk oleh Kemenristekdikti ini cocok dengan definisi dari Nasir. Ini menegaskan bahwa kasus ijazah bodong masih terjadi.
Peran Staf Khusus Menteri
Soal kasus jual beli ijazah bodong, Menteri Nasir mengakui sudah memanggil staf khususnya, Abdul Wahid Maktub. Nasir mengklarifikasi soal keterlibatan Maktub dalam kasus ini. Maktub membantah. Nasir percaya.
”Dia saya panggil, 'Kamu melakukan enggak?' 'Nggak'. Ya udah. Saya silakan melaporkan, siapa yang melakukan ini, jangan ada yang memainkan peran ini,” kata Nasir menirukan perbincangan klarifikasi itu.
Nasir menegaskan ia pasti akan memecat Maktub bila memang terlibat.
“Kalau ada keterlibatan dari dia pasti sudah saya berhentikan. Saya sudah enggak mau toleransi. Beberapa dosen, saya berhentikan. Saya enggak mau mengambil risiko apa pun,” ujar Nasir.
Soal peran Maktub dalam jaringan kasus ini ini terlihat pada dua memo pribadi yang ia tujukan kepada Direktur Pembinaan, Direktorat Kelembagaan Kemenristekdikti, Totok Prasetyo. Memo pertama terkait pengaktifan STKIP Sera.
Uman Suherman, Ketua Kopertis IV (Jawa Barat dan Banten), menyurati Totok Prasetyo agar kampus itu mendapatkan kode perguruan tinggi pada 6 April 2017. Meski surat itu ditujukan kepada Totok, tapi Abdul Wahid Maktub, Staf khusus Menteri Nasir, memberikan memo dengan tulisan tangan di surat tersebut: “Yth Dir. Pembinaan, tolong dibantu.”
Selain menambahkan memo, Maktub menempelkan kartu namanya pada surat itu.
Hasilnya mujarab. Pada 2017, STKIP Sera kembali aktif dan sudah menerima mahasiswa. Pada laman pangkalan data pendidikan tinggi, STKIP Sera tercatat memiliki 230 mahasiswa dan mengklaim punya 17 dosen tetap.
Memo untuk mengaktifkan lagi kampus penjual ijazah bodong ini bertentangan dari klaim Menteri Nasir yang mengatakan sudah menutup kampus tersebut dan tidak akan menolerir hal seperti itu. Faktanya, justru staf khusus dia sendiri yang ikut mengaktifkan kampus tersebut.
Pada 24 September 2018, Maktub kembali memberikan memo kepada Totok dalam surat klarifikasi STMIK Triguna Utama atas pemberitaan media online Tangerang Ekspres berjudul "4 Tahun Kuliah, Tak Bisa Wisuda".
Klarifikasi itu terkait sejumlah mahasiswa STMIK Triguna Utama yang belajar di kelas jauh dan tidak terdaftar di kampus bersangkutan serta pangkalan data Dikti. Di bawah surat itu, ada tulisan tangan Maktub: “Yth, Pak Totok, kalau sudah sesuai aturan, mohon dibantu! Tks.”
Hasil memo itu: mahasiswa kelas jauh STMIK Triguna Utama yang tidak terdaftar dan diakui oleh kampus kini sudah diwisuda pada Maret 2018.
[Maktub saat ditanya kembali oleh Tirto mengenai perannya dalam kasus ini membantah temuan Tirto. Menurutnya, memo yang dia tulis untuk Totok adalah upaya agar proses mengaktifkan kembali kampus bermasalah tidak lamban.
"Anda salah memberitakan. Saya tidak perlu bicara di sini. Nanti di pengadilan, supaya terbuka [siapa yang salah]. Anda harus bertanggung jawab," katanya, (27/11), yang mengancam akan mempidanakan wartawan Tirto.]
Soal Dugaan Plagiat Rektor UNNES
Selain membantah praktik jual beli ijazah bodong, Menteri Nasir membantah soal tuduhan plagiarisme Rektor Universitas Negeri Semarang, Fathur Rokhman.
“Plagiasi itu sudah selesai, enggak ada,” kata Nasir.
Nasir menjelaskan kasus plagiat itu bertahap dari tahun 2002 sampai 2004. Pada 2002, Fathur membuat penelitian lalu laporannya diberikan kepada mahasiswa sebagai contoh membuat laporan penelitian.
“Dan laporan penelitian oleh dosen ini dipublikasikan. Mahasiswa ikut mempublikasikan dari karya dosen itu. Siapa yang plagiat di sini? Mahasiswa atau dosen? Ini karya dosen. Ini yang terjadi,” kata Nasir.
Jika merujuk pada kronologi tahun yang disebut oleh Nasir, maka ini adalah kasus dugaan plagiat antara Fathur dan Anif Rida. Hasil kerja Tim Independen menemukan Fathur memang tidak melakukan plagiat terhadap karya milik Anif Rida, tapi justru sebaliknya.
Penelitian Fathur yang tidak terbukti plagiat itu berjudul "Kode Bahasa dalam Interaksi Santri: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas," diterbitkan Jurnal LITERA pada 2004.
Namun, untuk laporan penelitian Fathur berjudul "Pilihan Ragam Bahasa dalam Interaksi Sosial pada Ranah Agama di Pesantren Banyumas: Kajian Sosiolinguistik", yang diterbitkan UNNES pada November 2002, memiliki kesamaan lebih dari 75 persen dari skripsi Ristin Setiyani (2001), berjudul "Pilihan Ragam Bahasa dalam Wacana Laras Agama Islam di Pondok Pesantren Islam Salafi Al-Falah Mangunsari Banyumas."
Abdul Wahid Maktub, Staf Khusus Menteri Nasir, juga membela Fathur Rokhman dalam wawancara dengan Tirto.
Tuduhan plagiat terhadap Fathur, menurut Maktub, "karena [ada] persaingan. Ada pihak lain menuduh calon rektor plagiat. Tapi enggak terbukti. Jadi itu kemudian dibesar-besarkan."
Namun, dalam dokumen Tim Kajian untuk UNNES yang ditujukan kepada Menteri Nasir bertanggal 14 September 2018 yang diperoleh Tirto, laporan ini menyebutkan bahwa secara kronologis, dari 2001-2005, "hasil karya Fathur Rokhman menunjukkan [dia] melakukan perbuatan tidak jujur (fraud) sebagai seorang akademisi secara sistemik dengan melakukan plagiat terhadap karya skripsi Ristin Setiyani (2001) dengan double publication, self-plagiarism, copy-paste, menyuruh dan membiarkan mahasiswa menjiplak. Bahkan tindakan fraud ini masih terulang di tahun 2018."
Kesimpulan Tim, "Fathur memiliki integritas dan etika akademik yang rendah."
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam