tirto.id - Pada musim semi 2013, seekor pudel bernama Dexter bertingkah tak seperti biasanya. Dia melompat ke tubuh tuannya, menangis, dan mengekor ke manapun si tuan pergi.
Sang tuan adalah perempuan 59 tahun bernama Jacqueline Fox. Mereka tinggal di Alabama, Amerika Serikat. Sebelum keanehan musim semi itu, Fox pernah menonton acara televisi tentang seekor anjing yang bisa merasakan jika tuannya sedang tidak baik-baik saja. Fox lalu membiarkan Dexter menciumnya. Tangisan Dexter semakin menjadi-jadi.
Sepekan berlalu, Fox didiagnosis menderita kanker ovarium tingkat lanjut. Dia harus menjalani kemoterapi untuk mengecilkan tumor. Rahim, ovarium, dan saluran tuba-nya harus diangkat melalui operasi.
Menjelang akhir tahun 2014, sebuah kantor hukum di Alabama, Beasley Allen menyebarkan informasi tentang hubungan antara penggunaan bedak bayi jenis talcum powder dengan kanker ovarium. Informasi itu dibaca oleh Fox. Ia setengah percaya setengah tidak.
Oktober 2015, Dexter kehilangan tuannya. Fox meninggal dunia karena kanker yang semakin ganas menggerogotinya. Empat bulan setelah kematian Fox, pengadilan memutuskan bahwa penggunaan bedak bayi memberi kontribusi pada penyakit yang diderita Fox. Perusahaan farmasi Johnson & Johnson (J&J) dihukum membayar 72 juta dolar.
Peringatan Bahaya
Sekitar 4.000 mil dari kediaman Fox, tepatnya di Inggris, pernah terbit sebuah jurnal yang memuat tentang risiko kesehatan atas penggunaan talk atau bedak di area genital. Jurnal itu ditulis oleh peneliti bernama W.J. Henderson, 44 tahun sebelum kematian Fox. Henderson menemukan partikel talk dalam tumor ovarium yang telah diangkat.
Saat itu, usia Fox baru 17 tahun dan sudah rutin memakai talk untuk menjaga agar daerah sekitar vaginanya tidak lembab. Fox jelas tak membaca jurnal itu. Tetapi J&J sudah mengetahui fakta itu sejak beberapa dekade lalu.
Tahun 1982, sebelas tahun sejak penelitian Henderson dipublikasikan, Daniel W. Cramer M.D. dari Harvard University menerbitkan jurnal berjudul Ovarian Cancer and Talc. Penelitian itu menghasilkan kesimpulan bahwa penggunaan talk pada alat kelamin dapat meningkatkan risiko kanker ovarium.
Seorang eksekutif J&J bernama Bruce Semple menemui Cramer setelah jurnal itu dipublikasikan. Ia menantang penelitian Cramer. Sebaliknya, Cramer meminta J&J untuk menarik produknya dan meletakkan label peringatan. Tetapi permintaan itu diabaikan. Label peringatan tak pernah sampai ke konsumen, termasuk Fox hingga tutup usia.
J&J memang mengeluarkan label peringatan, tapi tidak untuk larangan penggunaan talk di sekitar vagina. Di kemasan bedak bayi milik J&J yang tersebar di seluruh dunia, tertulis peringatan begini: Jauhkan bedak dari hidung dan mulut anak-anak untuk menghindari bedak terhirup yang bisa menyebabkan gangguan pernapasan. Hindari kontak dengan mata. Untuk penggunaan luar saja. Hindari pemakaian pada kulit yang luka dan pusar bayi yang baru lahir.
Kemudian pada 1994, J&J mendapat peringatan serupa. Kali ini datang dari Koalisi Pencegahan Kanker (Cancer Prevention Coalition/CPC) yang menyurati CEO J&J masa itu, Ralph Larson.
“Berbagai studi ilmiah sejak 1960-an menunjukkan bahwa dengan sering menggunakan bedak di daerah genital dapat menimbulkan risiko serius kanker ovarium,” tulis CPC dalam surat tertanggal 10 November 1994 itu.
Surat itu masih tersimpan dalam dokumen internal J&J dan dibeberkan oleh seorang pengacara bernama Ted Meadows dalam Beasley Allen Legal Conference pada November 2014. Berkas-berkas itu menunjukkan bahwa J&J telah mengetahui fakta itu sejak sangat lama, tetapi mereka abai dan tetap menjual talk tanpa peringatan penggunaan genital.
Sebuah studi meta-analisis dilakukan oleh Pusat Obstetri dan Ginekologi Epidemiologi di Boston, Mass, Brigham dan Rumah Sakit Wanita. Penelitian melibatkan 8.525 perempuan yang menggunakan talk di area genital, dan 9.859 perempuan yang tidak. Para analis menetapkan bahwa wanita yang menggunakan talk pada alat genitalnya secara teratur meningkatkan risiko kanker ovarium sebesar 24 persen.
J&J tak menerima hasil penelitian-penelitian itu begitu saja. Perusahaan yang telah memproduksi bedak selama 100 tahun itu berpendapat, metode penelitian terbatas, lemah, dan berdasarkan data yang tidak dapat diandalkan. Menurut mereka, hubungan sebab akibat biologisnya tidak masuk akal. Pasalnya, tidak ada bukti bahwa partikel talk dapat bergerak ke atas melalui saluran reproduksi bisa menyebabkan kanker.
Oleh sebab tak ada hubungan sebab-akibat, J&J menilai tak ada alasan untuk menambahkan peringatan ke kemasan Baby Powder. Joshua Muscat, seorang profesor ilmu kesehatan masyarakat di Penn State College of Medicine yang juga menjadi konsultan ahli untuk J&J mengatakan belum ada badan ilmiah yang menganggap talk sebagai agen kausal kanker. "Bahkan banyak yang tidak mempertimbangkan bedak menjadi faktor risiko. Bagi saya, ilmu pengetahuan itu hitam dan putih," katanya.
J&J bersikeras tak mau mengeluarkan peringatan bahaya untuk pemakaian talk di daerah genital. Konsumen, termasuk Fox akhirnya berpikir bedak itu aman dipakai untuk area genital. Apalagi, dalam salah satu iklannya, J&J menuliskan for toilet and nursery. Melalui iklannya yang lain, J&J bahkan mengajak konsumennya untuk terus memakai talk meskipun mereka telah dewasa.
Hadapi 1.200 Gugatan
Fox tidak mendapati peringatan bahaya. Ia terus menggunakan talk J&J selama bertahun-tahun tanpa menyadari potensi bahayanya. Keluarga Fox akhirnya membawa kasus tersebut ke pengadilan. Mereka tidak sendiri. Ada beberapa korban lainnya yang juga akan menyeret J&J ke pengadilan.
Sebelum Fox, perempuan bernama Deane Berg telah melayangkan gugatan terlebih dahulu. Ia menjadi perempuan pertama yang menggugat J&J. Berg didiagnosis kanker ovarium pada 2007. Ia telah menggunakan talk merek J&J selama 30 tahun. Para dokter kemudian memeriksa jaringan kanker millik Berg menggunakan mikroskop pemindai elektron. Hasil pemindaian menunjukkan adanya talk pada ovarium.
Partikel talk mampu bermigrasi melalui vagina, rahim dan tuba falopi untuk kemudian sampai di ovarium. Ketika ovarium meradang karena partikel itu, pertumbuhan sel kanker pun dimulai.
Ia melayangkan gugatan pada 2013 di Pengadilan Federal South Dakota. Berg memenangkan gugatan. Majelis hakim memutuskan J&J telah lalai, tetapi tidak memerintahkan perusahaan itu membayar ganti rugi kepada Berg.
Selain Berg dan Fox, masih banyak perempuan lain yang berjuang menghadapi kematian akibat kanker ovarium. Mereka adalah pengguna setia
Johnson & Johnson Baby Powder atau Shower to Shower Talc Powder.
Ada lagi Tenesha Farrar yang didiagnnosis kanker ovarium stadium tiga pada 2013. Ferrar telah memakai bedak di area kewanitaannya selama dua dekade. Nasib serupa dialami Gloria Ristesund yang didiagnosis kanker ovarium sejak 2011. Dia menggunakan bedak bayi J&J selama 40 tahun. Setelah melewati proses persidangan Pengadilan Missouri, J&J dihukum membayar ganti rugi 55 juta dolar pada sidang putusan 2 Mei 2016 lalu.
J&J kini harus menghadapi sekitar 1.200 gugatan terkait pemakaian talk pada wanita. Kalau 1.200 gugatan itu dimenangi oleh penggugat dengan hukuman ganti rugi rata-rata 55 juta dolar saja, maka J&J harus membayar 66 miliar dolar atau setara Rp858 triliun. Ini setara total laba perusahaan selama empat tahun.
BPOM Membantah
Ribut-ribut tentang kelalaian J&J ditangani dengan serius di Amerika. Bagaimana dengan negara lain? Belum ada kabarnya, termasuk di Indonesia. Hingga saat ini, belum ada satupun gugatan atau penelitian terhadap perempuan-perempuan penderita kanker ovarium di Indonesia yang dikaitkan dengan penggunaan talk.
Februari lalu, Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) malah mengeluarkan pernyataan yang membela produk talk milik J&J. “Bahwa masyarakat tidak perlu khawatir karena produk baby powder Johnson & Johnson yang ternotifikasi di Badan POM tidak mengandung bahan dilarang yang dapat memicu kanker,” tulis BPOM dalam siaran resminya.
Menurut BPOM, yang harus dilakukan perusahaan produsen kosmetik mengandung talk adalah menuliskan peringatan untuk menjauhkan produk tersebut dari mulut dan hidung anak-anak. Badan pengawas ini sama sekali tak menyinggung soal penggunaan bedak tersebut untuk kebersihan daerah kewanitaan.
Kesimpangsiuran ini tentu merugikan konsumen. Sementara peneliti-peneliti di Amerika menemukan hubungan antara penggunaan bedak bayi dengan kanker ovarium, badan di Indonesia malah membantah itu. Bantahan itu, entah sudah melewati penelitian, entah belum.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti