Menuju konten utama

Kebijakan 1 Kelas 50 Siswa Bukan Solusi Cegah Anak Putus Sekolah

P2G menilai kebijakan Dedi Mulyadi itu tidak menyelesaikan akar persoalan tingginya angka anak putus sekolah di Jabar.

Kebijakan 1 Kelas 50 Siswa Bukan Solusi Cegah Anak Putus Sekolah
Siswa mengikuti pelajaran di SDN Grogol Selatan 08, Jakarta, Rabu (28/5/2025). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/tom.

tirto.id - Rakhmat Hidayat, dosen pendidikan sosiologi sekaligus pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menilai kebijakan pendidikan yang ditelurkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, semakin tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini tergambar pada kebijakan anyar Dedi yang mengatur bahwa tingkat SMA/SMK menerima maksimal 50 murid dalam satu kelas.

Kebijakan tersebut termuat dalam Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 463.1/Kep/323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan Menengah di Provinsi Jawa Barat. Dedi menerbitkan aturan tersebut dengan alasan untuk menurunkan angka anak putus sekolah di Jawa Barat yang tingggi.

Dalam kacamata Rakhmat, kebijakan Gubernur Jawa Barat itu tak ada bedanya dengan jalan pintas yang penuh konsekuensi.

“Menurut saya, perlu ada memang penting suatu standar nasional kebijakan tentang jumlah rombongan belajar kelas di Indonesia, umumnya diatur oleh Kementerian Pendidikan Dasar [dan Menengah],” kata Rakhmat kepada wartawan Tirto, Selasa (8/7/2025).

Menurut Rakhmat, satu kelas idealnya paling banyak diisi oleh 36 sampai 40 siswa. Pasalnya, jumlah siswa dalam satu kelas turut berdampak pada kualitas pembelajaran. Dampak inilah yang semestinya diperkirakan lebih awal oleh Dedi.

Oleh karena itulah, mengisi kelas sampai maksimal 50 siswa menjadi kebijakan yang terkesan dipaksakan. Rakhmat menilai kebijakan itu bakal membelokkan tujuan utama pembelajaran.

“Kualitas interaksi buruk, kemudian prestasi juga buruk. Guru akhirnya mengejar kewajiban saja begitu. Ini harus ditinjau ulang dan tidak relevan untuk konteks pedagogis, sosial, dan psikologis di ruang-ruang kelas yang ada di sekolah,” terang Rakhmat.

Sebelumnya, Dedi Mulyadi menyatakan bahwa kebijakan satu kelas maksimal 50 siswa itu tidak permanen dan merupakan solusi jangka pendek agar anak-anak di Jabar tidak putus sekolah sebab tidak bisa masuk sekolah negeri. Dilansir Tempo.co, Dedi menyatakan bahwa kebijakan itu berlaku paling lama sampai Januari 2026. Itu pun diterapkan sambil menambah kelas-kelas baru di sekolah negeri.

Pemprov Jabar sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp100 miliar untuk penambahan kelas di sekolah-sekolah negeri yang menampung 50 anak per kelas. Jumlah kelas yang akan dibangun itu direncanakan sampai 736 ruangan dan ditentukan setelah proses penerimaan murid baru tahun ajaran 2025/2026 tuntas.

Menurut Dedi, kebijakannya itu tidak akan begitu berpengaruh terhadap proses pembelajaran di jenjang SMA/SMK.

“Kalau SD itu kan gurunya perlu satu-satu tuh. Kalau SMA dan SMK kan sudah beda interaksi belajarnya. Paparan, membaca, pelajari. Jadi beda,” kata Dedi.

Dedi Mulyadi

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memberikan keterangan pers kepada para wartawan pasca menghadiri Forum Komunikasi Daerah Mitra Praja Utama di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025). tirto.id/Naufal Majid

Kendati demikian, niat baik Dedi itu dinilai mengabaikan aspek paling krusial dalam penyelenggaraan pendidikan: kualitas.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan bahwa jumlah siswa dalam satu kelas ada standarisasinya. Oleh karena itu, Ubaid meminta Dedi tidak membuat kebijakan ngawur, apalagi sampai berpotensi melanggar aturan.

“Ini bisa menurunkan kualitas pendiidkan karena pembelajaran menjadi tidak efektif,” ucap Ubaid kepada wartawan Tirto, Selasa (8/7/2025).

Bahkan, Ubaid mencurigai kebijakan itu justru rawan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menitipkan siswa dalam rombel yang seharusnya diperuntukkan bagi anak yang terancam putus sekolah. Kebijakan itu dinilai menjadi pintu masuk makin maraknya praktik jual-beli kursi di sekolah negeri.

Selain itu, menurut Ubaid, solusi yang digagas Dedi itu juga tidak efektif menangani angka anak putus sekolah di Jabar. Pasalnya, ia hanya menyelesaikan masalah secara parsial. Dedi sebetulnya bisa saja memanfaatkan anggaran Pemprov Jabar untuk menjalin kerja sama privat dengan sekolah swasta, alih-alih membangun kelas yang memakan waktu.

“KDM [Dedi Mulyadi] tidak melihat berapa banyak yang mesti ditampung, tapi hanya memikirkan sebagian anak,” terang Ubaid.

Dikhawatirkan Mendesak Sekolah Swasta

Menurut data, sebanyak 658.831 anak Jawa Barat tercatat tidak sekolah. Angka mengacu hasil integrasi dan update data oleh satuan pendidikan melalui Dapodik, EMIS, dan PDDikti pada Dasbor Verifikasi Validasi Anak Tidak Sekolah Pusdatin Kemendikbud pada 2024.

Rincinya, sebanyak 164.631 anak drop out (DO), 198.570 anak lulus tidak melanjutkan (LTM), dan 295.530 anak belum pernah bersekolah (BPB). Di kategori anak tidak sekolah yang DO, 24,74 persennya ada di jenjang SD/­sederajat, 37,80 persen pada jenjang SMP/sederajat, dan 37,46 persen pada jenjang SMA/­SMK/sederajat.

Selain dari pengamat pendidikan, kebijakan Dedi Mulyadi juga mendapat sorotan dari sekolah swasta yang merasa diabaikan. Dalam keterangannya, Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Jawa Barat menilai kebijakan Dedi mengancam mutu pendidikan. Kebijakan tersebut juga seakan membenturkan sekolah negeri dan swasta yang dapat menyebabkan kesenjangan sosial.

Ketua FKSS Jabar, Ade Andriana, menilai kebijakan anyar Dedi itu akan membuat sekolah swasta terancam tutup karena kalah bersaing. Terlebih, guru sekolah swasta akan semakin terdampak karena jam belajar yang ikut berkurang sebab jumlah siswa yang menurun.

“Kami FKSS Jabar memohon Kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk berkenan berkomunikasi dengan Gubernur Provinsi Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk mencabut Kepgub Nomor: 463.1/Kep.323-Disdik/2025,” kata Ade.

Meski demikian, Dinas Pendidikan Jabar memastikan kebijakan Kepgub Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah akan tetap berjalan. Kadisdik Jabar, Purwanto, mengatakan tujuan dari kebijakan itu bukan untuk mematikan keberadaan sekolah swasta, melainkan demi menjamin semua anak Jawa Barat mendapat hak pendidikan.

Purwanto menyatakan bahwa kebijakan itu didasari keinginan untuk menyelamatkan anak-anak dari kelompok rentan yang berisiko putus sekolah akibat keterbatasan ekonomi, bencana, atau persoalan administrasi kependudukan.

"Semangatnya adalah untuk mencegah anak-anak yang dikhawatirkan tidak sekolah karena persoalan geografis, afirmatif, bisa karena bencana, atau karena anak yatim miskin, susah administrasi kependudukannya. Dan itu kami temukan. Nah, kepgub ini untuk menolong itu," ujar Purwanto kepada awak media, Selasa (8/7/2025).

Kuota PPDB 2024 di Jawa Barat

Orang tua bersama calon siswa baru melakukan pendaftaran pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 di SMK Negeri 8, Bandung, Jawa Barat, Rabu (5/6/2024).ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww

Bertentangan dengan Aturan Pusat

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memandang kebijakan Dedi Mulyadi menambah rombel menjadi maksimal 50 siswa satu kelas akan berdampak negatif bagi guru maupun siswa dari berbagai aspek. Terlebih, kebijakan tersebut bertentangan dengan regulasi pusat, seperti Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 dan Juknis BSKAP Nomor 071/H/M/2024 yang menyatakan jumlah ideal siswa dalam satu kelas maksimal 36 siswa.

Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, turut menilai kebijakan anyar itu tidak menyelesaikan akar persoalan tingginya angka anak putus sekolah di Jabar. Iman menyebut bahwa penyebab anak putus sekolah tidak semata-mata karena keterbatasan daya tampung sekolah negeri, tetapi disertai masalah lain. Misalnya, pernikahan dini, konflik hukum, kemiskinan, hingga menjadi pekerja anak.

Untuk itu, P2G mendorong Pemprov Jabar mempertimbangkan alternatif lain, seperti sekolah swasta, madrasah, sekolah rakyat, hingga jalur pendidikan nonformal. P2G turut menyoroti potensi kerugian hak-hak siswa apabila mereka tak tercatat secara resmi dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sebab tidak masuk rombongan SPMB, yang berisiko membuat para siswa tidak memperoleh ijazah resmi.

“Atau misalkan disinergikan dengan program-program pemerintah pusat, seperti sekolah rakyat yang dikelola oleh Kementerian Sosial. Jadi, menurut kami, solusi itu ada, hanya saja sepertinya yang digunakan adalah solusi tukang,” terang Iman kepada wartawan Tirto, Selasa (8/7/2025).

Progres pembangunan Sekolah Rakyat di Cimahi

Pekerja berjalan di depan ruang kelas Sekolah Rakyat di kompleks Sentra Abiyoso Cimahi, Jawa Barat, Kamis (3/7/2025). Proyek pembangunan Sekolah Rakyat Tahap I di Kota Cimahi telah memasuki tahap akhir dengan progres mencapai 90 persen dan siap beroperasi pada 14 Juli mendatang dengan jumlah calon siswa sebanyak 100 orang tingkat SD dan SMP yang berasal dari Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. ANTARA FOTO/Abdan Syakura/nz

Sementara itu, pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, memandang apabila kebijakan satu kelas 50 siswa diberlakukan, pengelolaan kelas bakal lebih merepotkan. Ujungnya, proses dan hasil belajarnya tidak akan optimal.

Meski memakai model belajar ceramah atau aktivitas berbasis proyek, misalnya, akan sama-sama tetap membuat guru kerepotan di kelas.

“Model ceramah jika yang mendengarkan 50 siswa, paling belakang akan tidak fokus, tidak memperhatikan. Dan pasti juga susah untuk diperhatikan karena guru cenderung di depan menjelaskan materi. Mau model proyek, berkelompok, pasti akan menyita waktu lebih lama,” ucap Edi kepada wartawan Tirto, Selasa (8/7).

Menambah kuota dengan cara memperbesar jumlah siswa di kelas jelas akan mengurangi kualitas pembelajaran. Pasalnya, ruang kelas yang ada hari ini sebenarnya tidak didesain untuk menampung 50 siswa. Menurut Edi, pemerintah sejak masa Orde Baru telah membangun SD Inpres dan sekolah lainnya dengan standar kelas antara 20-30 siswa.

Hal yang perlu diperhatikan sebenarnya pun bukan hanya soal pembangunan ruang kelas, tapi penyediaan guru berkualitas untuk sejumlah siswa di kelas yang ideal. Proporsi guru-siswa ini perlu diperhatikan sebab kebijakan pendidikan mesti berlandaskan ilmu.

Sangat mubazir jika Jabar berfokus merenovasi ruang kelas sekolah negeri, tapi tidak melakukan perbaikan kualitas guru dan proses belajar yang ideal.

“Akan mubazir juga kalau menambah kelas tanpa penambahan jumlah guru. Apalagi, kalau ruangnya sempit, tapi jumlah siswa ditambah,” tutur Edi.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi