Menuju konten utama

Kaum Ateis Malaysia Terancam Diburu oleh Negara

Ateis Malaysia diburu pemerintah untuk dikembalikan ke keyakinan lamanya. Takut menularkan pemahaman 'sesat' ke generasi muda.

Kaum Ateis Malaysia Terancam Diburu oleh Negara
Ariane Sherine, wanita melakukan kampanye Atheis lewat spanduk di bis. FOTO/AFP

tirto.id - Minggu lalu, kelompok Atheist Republic Consulate of Kuala Lumpur mengadakan acara kumpul-kumpul dan mengunggah foto kebersamaan mereka di laman Facebook Atheist Republic, organisasi non-profit untuk orang ateis yang berpusat di Kanada. Cabang organisasi ini ada di banyak negara. Acara tersebut dimaksudkan untuk menguatkan solidaritas anggota yang kerap mendapat tekanan.

“Atheist Republic Consulate of Kuala Lumpur, Malaysia, mengadakan pertemuan tahunannya dan benar-benar sangat seru! Ateis dari semua lapisan masyarakat bertemu satu sama lain, beberapa ikut untuk pertama kalinya. Masing-masing berbagi cerita dan membentuk persahabatan baru yang semoga bertahan seumur hidup! We rock!” demikian kutipan foto yang diunggah pada Kamis (3/8/2017).

Tanggapan netizen beragam. Ada yang mendukung acara tersebut, ada pula yang terkesan netral dan mementingkan harmoni dalam kehidupan bersama di masyarakat Malaysia yang multi-kultur. Di sisi lain, orang-orang konservatif Malaysia juga bersuara. Banyak yang memberikan nasihat untuk kembali ke jalan agama, ada yang menghujat sebab dinilai meracuni pemikiran generasi muda, ada pula yang mengajak debat tentang eksistensi Tuhan.

Pemerintah Malaysia mendengar ribut-ribut ini, dan segera mengambil sikap. Wakil Menteri di Departemen Perdana Menteri Datuk Dr. Asyraf Wajdi Dusuki mengatakan akan ada penyelidikan rinci dan mendesak keterlibatan Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (MCMC) sebab menyangkut umat Islam yang ada di Malaysia. Dikhawatirkan organisasi tersebut dijadikan ajang pemurtadan.

“Jika terbukti ada muslim yang terlibat dalam aktivitas ateisme yang dapat mempengaruhi keyakinan mereka, Departemen Agama Islam atau Jawi (Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan) akan bertndak. Saya meminta Jawi untuk melihat kasus ini secara serius,” katanya sebagaimana dikutip New Straits Times.

Pimpinan Asyraf, Menteri di Departemen Perdana Menteri Datuk Seri Shahidan Kassum, bahkan berniat memburu orang-orang ateis di Malaysia. Alasannya, sebagaimana dilaporkan Malay Mail Online, ateisme tak disebutkan di Konstitusi Federal Malaysia dan bertentangan dengan hak asasi.

“Aku sarankan kita buru mereka (ateis Malaysia) dengan berapi-api dan kami meminta bantuan untuk bisa mengidentifikasi kelompok ini,” katanya. “Mereka sebenarnya tak mau jadi ateis namun terjadi karena kurang pendidikan agama. Mereka disesatkan dengan pemikiran baru. Kita perlu mengembalikan keyakinan lama mereka dan mengoreksi akidahnya jika mereka muslim. Untuk semua mufti dan kepala negara bagian, perhatikan poin penting ini."

Armin Navabi, pendiri Atheist Republic, mengaku geram atas sikap pemerintah yang ia nilai akan berdampak pada citra Malaysia di mata dunia sebagai negara mayoritas muslim yang moderat. Ia menyatakan bahwa acara perkumpulan yang digelar minggu lalu tak menyakiti publik dan idealnya tak mendapat gangguan dari dunia luar.

Navabi menerangkan jika konsulat Atheist Republic di tiap negara, termasuk salah satunya di Filipina untuk area Asia Tenggara, namun selama ini tak mendapat intimidasi atau penyerangan. Selama ini tak ada pemerintah negara yang menargetkan anggota organisasinya hanya karena mereka tak lagi memeluk keyakinan agama.

“Apa yang grup kami lakukan ke orang lain? Apakah kami menyakiti orang lain?” tanyanya dengan nada retoris sebagaimana dikutip Malay Mail Online.

Keluar dari agama yang dianutnya sejak lahir, terutama untuk muslim Melayu, sesungguhnya bukan kejahatan di Malaysia. Hanya saja selalu ada tekanan kuat dari kelompok-kelompok konservatif yang kerap mengancam kebebasan memeluk agama dan keyakinan di Negeri Jiran itu. Jika ada yang nekat melakukannya, mereka akan dihadapkan pada tiga opsi: dikirim ke lembaga konsultasi, didenda, atau dibui.

Agaknya praktik tersebut bertentangan dengan jaminan kebebasan memeluk agama atau kepercayaan tertentu yang tercantum di dalam Konstitusi Malaysia. Dalam Pasal 11, misalnya, menyatakan setiap orang memiliki hak untuk mengaku dan mempraktikkan agamanya dan menyebarkannya. Konstitusi memang menyebutkan bahwa Islam adalah agama resmi Malaysia, namun agama lain diberi ruang untuk hidup asal sambil menjaga kedamaian dan harmoni, demikian isi Pasal 3.

Malaysia (hampir serupa dengan Indonesia) kerap diterpa dilema isu ini, dan ujung-ujungnya mengangkat lagi pertanyaan klasik: “Negara ini sesungguhnya berbentuk negara Islam atau negara sekuler?”

Pertentangan antara kelompok yang cenderung liberal/sekuler melawan kelompok konservatif dan fundamentalis selalu berkelindan di akar rumput, dan kasus Atheist Republic makin menghangatkan dialektika ini. Ada yang menilai bahwa negara berada di belakang kelompok kedua menyusul sikap yang ditunjukkan dua pejabat dari Departemen Perdana Menteri.

Sikap meninggalkan atau menanggalkan iman, pindah agama, atau menolak bertuhan merupakan peristiwa yang terjadi sehari-hari. Kasusnya bisa terjadi di mana pun dan pada siapa saja dan dalam lingkup agama mana pun. PEW Research mencatat bahwa jumlah orang yang menjadi ateis di seluruh dunia makin bertambah dan kini sudah mencapai angka 97 juta jiwa.

Di Malaysia sendiri, menurut sensus Departement of Statistics Malaysia, per 2010 ada 0,7 persen penduduk yang menganut ateisme. Persentasenya jadi yang terkecil jika dibandingkan dengan penganut Konfusionisme, Taoisme, atau kepercayaan tradisional Cina lain (1,3 persen), Hindu (6,3 persen), Kristen (9,1) persen, Buddha (19,8 persen), dan paling besar tentu saja Islam (61 persen).

Infografik Perburuan ateis di malaysia

Hidup sebagai ateis di negara yang mengambil agama sebagai elemen penting dalam konstitusi atau falsafah ideologinya kerap memang berisiko. Malaysia adalah salah satu dari sekian negara yang masuk kategori negara tak ramah ateis menurut laporan International Humanist and Ethical Union (IHEU).

Malaysia, bersama Bangladesh, Mesir, Indonesia, dan Kuwait, adalah tipe negara yang mewajibkan setiap pendudukanya untuk punya keyakinan yang terdaftar jelas di kartu identitas nasional. Banyak ateis di Malaysia dan negara lain yang tetap menyertakan status agama tertentu di kartu identitasnya, tapi menjalani kehidupan sebagai ateis.

Dalam arti lain, pencatutan agama jadi formalitas belaka agar tak menemui masalah legalitas maupun administratif.

Di negara Barat yang tampak maju pun ateis kerapkali mendapat perlakuan diskriminatif. Di Amerika Serikat, misalnya, menurut laporan IHEU, ada tujuh negara bagian Amerika Serikat melarang ateis untuk duduk di jabatan publik. Di Arkansas bahkan ateis tidak boleh bersaksi di pengadilan.

Kembali ke Malaysia, intimidasi tak hanya menyasar ateis, namun mereka yang pindah keyakinan. Pada 2007, seorang perempuan asal Malaysia bernama Lina Joy menyatakan pindah dari agama Islam ke Kristen. Motivasinya adalah agar bisa menikahi suaminya yang beragama Kristen. Ia kalah di pengadilan dan tak bisa menghapus kata “Islam” di kartu identitasnya. Tak hanya itu, ia pun diburu ekstrimis Islam dengan ancaman kematian.

Seakan mewakili keresahan ateis-ateis lainnya di Negeri Jiran dan belahan negara lain, baru-baru ini Navabi kembali mengunggah pertanyaan sederhanaya lewat akun Facebook:

“Mereka (ateis) diperlakukan layaknya kriminal. Mereka hanya nongkrong dan bertemu ateis lain. Siapa yang mereka lukai?”

Baca juga artikel terkait AGAMA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS