Menuju konten utama

Kasus Pendeta Gilbert & Pasal Penistaan Agama: Jangan Asal Lapor

Pasal 156a KUHP yang digunakan dalam perkara penistaan agama dianggap banyak kalangan sebagai pasal karet.

Kasus Pendeta Gilbert & Pasal Penistaan Agama: Jangan Asal Lapor
Gilbert Lumoindong. instagram/pastorgilbertl

tirto.id - Gilbert Lumoindong dilaporkan ke Polda Metro Jaya imbas ceramahnya yang dituding menistakan agama. Awalnya, pendeta yang merupakan pimpinan GBI GLOW Fellowship Centre ini, menjadi viral sebab potongan videonya saat berceramah dianggap menyinggung praktik ibadah zakat dan salat dalam agama Islam. Akibat hal ini, Gilbert akhirnya menjumpai Jusuf Kalla (JK) selaku Ketua Dewan Masjid Indonesia, untuk meminta maaf kepada masyarakat Indonesia atas kegaduhan yang terjadi imbas ceramahnya.

Dalam persamuhan yang dilangsungkan di kediaman JK, Senin (15/4/2024), Gilbert menyatakan bahwa video ceramahnya dipotong dan tidak menampilkan keseluruhan konteks. Dia juga menjelaskan, ceramah itu sebetulnya ditujukan untuk internal gereja saja.

JK sendiri menilai apa yang disampaikan Gilbert bukan penistaan agama. Dia menyerukan agar umat Islam menerima permohonan maaf Gilbert. Sehari setelah bertemu JK, Gilbert juga bertandang ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyampaikan permohonan maaf.

“Dari dasar hati saya yang terdalam, tidak ada niat sama sekali dari saya untuk mendatangkan kemarahan ini. Karena dari hati saya yang terdalam, saya menghargai perbedaan, saya mencintai rekan-rekan saudara mayoritas saya, yaitu umat muslim,” kata Gilbert dalam tayangan di YouTube MUI TV, Selasa (16/4/2024).

Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis, menyatakan, kehadiran Gilbert atas inisiatifnya sendiri dalam rangka klarifikasi isi ceramah yang viral di media sosial. Cholil menilai ceramah pendeta Gilbert yang viral di medsos memang diedit dan dipotong-potong oleh pihak lain sehingga memunculkan kesalahpahaman.

“Kami sebagai umat beragama tentu menerima permohonan maafnya. Kami semua memaafkan seraya kami meminta agar kejadian ini menjadi pelajaran baginya dan bagi kita semua,” kata Cholil dalam pertemuan tersebut.

Namun, bola salju kasus video viral ceramah Gilbert terus menggelinding melahirkan babak baru. Gilbert dilaporkan ke polisi dengan pasal penistaan agama. Laporan perkara ini terdaftar dengan nomor LP/B/2030/IV/2024/SPKT/Polda Metro Jaya pada 16 April 2024 dengan pelapor atas nama Farhat Abbas.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, membenarkan bahwa Gilbert Lumoindong dilaporkan dengan pasal dugaan penistaan agama. Pelapor menuding Gilbert dengan dugaan tindak pidana penistaan agama yang termaktub dalam UU Nomor 1 tahun 1946 tentang KUHP dalam Pasal 156a. Pasal ini berbunyi, “...Perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.

Melalui keterangan tertulis, Gilbert sendiri kembali menyampaikan permohonan maaf saat merespons pelaporan atas dirinya yang dituding melakukan penistaan agama. “Sekali lagi kami menyatakan maaf kami, kepada umat yang terluka dan tersakiti, Insyaallah kedepan lebih baik," kata Gilbert.

Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya sendiri bakal memanggil sejumlah saksi terkait kasus dugaan penistaan agama yang membelit Gilbert. Hal ini disampaikan oleh Dirreskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Wira Satya Triputra.

“Untuk sementara kami harus melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi,” kata dia di Jakarta, dikutip dari Antara, Kamis (18/4/2024).

Lebih lanjut, polisi bakal melakukan pendalaman video ceramah Gilbert yang viral di medsos, termasuk pelapor dalam kasus ini, Farhat Abbas. Polisi juga akan melakukan pendalaman barang bukti yang beredar di media, maupun pengecekan langsung tempat ibadah dalam video.

Menanggapi perkara ini, Ketua Komisi VIII DPR, Ashabul Kahfi, meminta polisi tidak melanjutkan proses pelaporan Gilbert. Dia menilai, Gilbert sudah meminta maaf dengan mendatangi langsung JK dan MUI, dan pelaporan ke polisi dengan tudingan penistaan agama tidak perlu dilakukan.

Kahfi menyebut, dalam menyampaikan pesan-pesan agama dalam dunia digital memang perlu kebijaksanaan agar tidak menyinggung keyakinan orang lain. Menurut dia, pesan agama mungkin mulanya diniatkan untuk kalangan terbatas, namun dunia digital kiwari mampu merekam apa yang disampaikan dan membuatnya tersebar luas.

“Tidak perlu kita melanjutkan pelaporan di polisi,” kata Ashabul Kahfi dalam keterangannya, Kamis (18/4/2024).

Memang sudah selayaknya pelaporan terhadap Gilbert tak perlu pihak kepolisian lanjutkan. Terlepas permintaan maaf yang sudah disampaikannya, kasus seperti ini seharusnya mampu selesai dengan jalan dialog dan sikap tenggang rasa umat beragama. Jika masalah utamanya adalah salah pemahaman agama lain dan etiket yang dirasa keliru, masuk bui bukan jalan keluar perkara ini.

Masalah lainnya, penggunaan Pasal 156 dan 156a KUHP yang dikenal sebagai pasal penistaan agama, sering kali bermasalah. Pasal zaman kolonial ini menjadi ancaman bagi warga yang dianggap menyebarkan permusuhan, kebencian, atau penghinaan dan penodaan agama. Alih-alih melindungi keluhuran agama sebagaimana fungsinya, pasal ini jusrtu mengancam kebebasan beragama dan kelompok minoritas pada implementasinya.

Kontroversi Pasal Penistaan Agama

Pasal 156a KUHP yang digunakan dalam perkara-perkaran penistaan agama dianggap banyak kalangan sebagai pasal karet yang justru merugikan kelompok minoritas. Dalam implementasinya, penarapan pasal ini sering kali mengikuti desakan massa dan bersifat diskriminatif. Sebab, unsur-unsur dalam pasal tersebut memang sukar dirinci dan berimplikasi pada lenturnya pihak yang dapat dijerat menggunakan delik penistaan atau penodaan keagamaan.

Sudah banyak korban yang terjerat kasus penistaan agama dengan menggunakan pasal problematik ini. Teranyar misalnya, Maret 2024, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang, divonis hukuman 1 tahun penjara dalam kasus penodaan agama. Panji dituding melakukan praktik menyimpang dari agama Islam di ponpes yang dia asuh.

Sebelumnya, Lina Mukherjee, seorang pesohor di TikTok, juga ditahan atas kasus dugaan penistaan agama akibat mengucapkan kalimat "bismillah” saat hendak makan babi untuk konten videonya. Majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Palembang memvonis Lina 2 tahun bui dan sebesar Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan penjara, pada September 2023. Hakim menilai Lina terbukti dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan agama.

Pada tahun yang sama, seorang pengguna TikTok lain, Fikri Murtadha, juga terancam dibui selama 6 tahun karena dilaporkan dengan tudingan penistaan agama. Polrestabes Medan mengungkap, Fikri dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 156a KHUP. Fikri dianggap menghina agama umat Kristen karena membercandai soal salib, dalam siaran langsung di akun TikTok pribadinya.

Lalu, ada kasus yang menimpa seorang ibu rumah tangga bernama Meliana, dan menyita perhatian banyak kalangan saat itu. Mulanya, pada akhir Juli 2016, Meliana meminta masjid di dekat rumahnya di Tanjungbalai, Sumatera Utara, untuk mengecilkan suara azan. Dia menyatakan suara azan yang terlalu keras itu membuat telinganya sakit.

Keluhan Meliana justru dianggap sebagai penghinaan agama yang diiringi dengan tindakan persekusi. Rumah Meliana dilempari batu dan sejumlah vihara di Tanjungbalai dibakar dan dirusak menjadi sasaran kemarahan warga. Pada 2018, Mahkamah Agung menolak banding yang diajukan Meiliana, dia dijatuhi hukuman penjara 18 bulan oleh Pengdilan Negeri Medan, Sumatera Utara. Meliana didakwa dengan Pasal 156 dan 156a KUHP tentang penistaan agama.

Tentu masih banyak sederet kasus penistaan agama lain yang bikin heboh, sebut saja kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kasus Roy Suryo, kasus Ade Armando, hingga kasus Lia Eden. Pasal penistaan agama juga tidak jarang menjerat kelompok yang dianggap memiliki ajaran menyimpang dari yang sudah eksis, seperti pada kelompok Ahmadiyah dan Syiah.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menilai pasal penodaan agama di KUHP selama ini memang dijadikan instrumen untuk melakukan kriminalisasi terhadap kelompok yang minor, atau secara numerik dan sosio-kultural minoritas. Dalam tata kebinekaan Indonesia, kata dia, keberadaan pasal penodaan agama menjadi tidak relevan.

“Penerapannya tidak adil, dan alat gebuk saja bagi apa pun dan siapa pun yang dinilai tidak sesuai dengan selera yang mayor, yang banyak,” kata Halili kepada reporter Tirto.

Masalahnya, dalam banyak kasus penodaan atau penistaan agama, sering kali disertai dengan adanya tekanan massa, termasuk polemik di media sosial. Jadi yang terjadi, aparat penegak hukum memiliki kecenderungan trial by mob dalam menangani perkara penistaan agama.

Menurut Halili, pihak kepolisian seharusnya bisa menggunakan metode fasilitator restorative justice dalam laporan dugaan penistaan agama. Hal ini dapat membuka ruang dialog dan pemahamahan, alih-alih mengikuti tuntutan konservatif agama melakukan kriminalisasi terhadap kelompok/individu yang dianggap bersebrangan.

“Dalam kasus penodaan agama seperti pendeta GL [Gilbert], penyelesaian paling ideal ya di luar hukum, restorative justice, di luar pengadilan, apalagi pendeta GL kan sudah minta maaf,” jelas Halili.

Hasil riset Setara Institute, sepanjang tahun 1965 sampai 2017, terdapat 97 kasus penistaan agama. Sebanyak 76 perkara diselesaikan melalui jalur persidangan dan sisanya di luar persidangan atau non-yustisia. Sementara, dilihat ada tidaknya tekanan massa, dari 97 kasus yang dicatat oleh Setara Institute, sebanyak 62 kasus melibatkan tekanan massa.

Halili melanjutkan, dalam rancangan KHUP baru yang sudah disahkan DPR dan pemerintah, meski masih ada kekurangan, sudah memuat perbaikan dalam ranah pidana berdasarkan ajaran agama. Dalam KHUP baru, kata ‘penyalahgunaan’ dan ‘penodaan’ agama telah dihilangkan. Namun aturan terbaru yang baru berlaku tahun 2026 ini, masih mencantumkan delik ‘permusuhan’ serta ‘hasutan untuk memusuhi’ agama tertentu.

“KUHP Baru sudah tidak mengenal pidana penodaan agama yang cenderung karet dan banyak melayani selera pemeluk agama mayoritas,” tutur dia.

Sementara itu, Direktur Program Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholish, memahami bahwa masyarakat beragama pasti akan tersinggung jika ada pihak yang dianggap mencemooh kepercayaan mereka.

Menurut dia, dalam kasus Gilbert, memang pelaporan didasarkan untuk mencari keadilan atas perkataan Gilbert. Namun, dia menilai, teguran lebih tepat dilakukan alih-alih mencoba menjebloskan Gilbert masuk bui.

“Teguran terhadap Gilbert itu menjadi penting, supaya dia itu berhati-hati ketika membahas keyakinan atau agama orang lain. Kan sebetulnya kan tidak dilarang juga, tapi kalau memang ada nuansa mencemooh, kemudian menghina, nah itu memang bisa berdampak negatif,” kata Nurcholish kepada reporter Tirto.

Nurcholish menilai, pelaporan ke polisi tidak berefek panjang dalam menyelesaikan kasus-kasus penodaan agama di Indonesia. Sebab, akar masalahnya ada dalam salah memahami kepercayaan dan kurangnya dialog antaragama untuk memperat persatuan. Dia percaya jika forum perjumpaan antaragama bisa dilakukan di berbagai tingkatan, hal ini bisa meminimalisir kriminalisasi dengan delik penodaan agama.

“Saling menyalahkan itu merupakan model agama yang eksklusif, seraya mengatakan agama orang lain itu salah. Jadi meskipun di hati kita merasa keyakinan kita paling benar. Tapi tidak serta-merta sembarang mengatakan orang lain itu salah,” jelas dia.

Baca juga artikel terkait KASUS PENISTAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz