tirto.id - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan tidak hanya pasal penistaan agama yang harus dicabut, tapi undang-undang tentang penodaan agama harus dihapuskan lantaran merupakan penafsiran.
“Hampir semua tuduhan kepada terduga penista agama bersumber dari kata-kata yang ditafsirkan sebagai penghinaan, bukan tindakan,” kata dia di Jakarta, Kamis (30/8/2018).
Dalam kasus Meliana, tambah dia, delapan orang perusak wihara dihukum tiga hingga lima bulan. Sedangkan Meliana divonis 18 bulan penjara.
Usman berpendapat para pelaku perusakan pun bisa dituduh dengan melakukan ujaran kebencian terhadap etnis. Sehingga ada ketimpangan dalam sistem peradilan dalam perkara ini. Dia menyebutkan dua sebab ketimpangan. Pertama, lemahnya penegakan hukum.
“Lemah dari tekanan massa. Berdasarkan kronologis, yang ditekan bukan pengadilan saja, tapi polisi, jaksa dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga ditekan,” ucap Usman.
Menurut Usman, tafsir pernyataan Meliana sebagai penodaan agama itu merupakan respons terhadap tekanan massa, bukan interpretasi atas perbuatan.
Kedua, kekakuan dalam berpikir. “Bukan hanya di masyarakat, Mahkamah Konstitusi pun masih mempertahankan undang-undang penodaan agama. Sehingga banyak yang menjadi korban,” terang Usman.
Menurut dia bukan hanya warga yang mempunyai cara berpikir yang kaku. Elite politik yang terdidik pun mereproduksi retorika yang membelah persatuan, misalnya dengan menggunakan kata ‘pribumi-antipribumi’.
“Retorika yang mengkambinghitamkan kaum minoritas sedang ‘naik’ secara global,” ucap Usman.
Diketahui, massa mengamuk dengan melempari rumah Meliana dengan batu, serta membakar dan merusak Wihara Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, Jumat (29/7/2016), akibat Meliana mengeluhkan soal volume azan sepekan sebelumnya.
Lantas, pernyataan perempuan beragama Buddha itu disebut memicu kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai. Delapan orang ditangkap karena melakukan perusakan dan pembakaran, mereka kemudian mendapatkan vonis tiga hingga lima bulan penjara.
Kemudian, tidak hanya Meliana yang menjadi korban pasal penistaan agama. Basuki Tjahaja Purnama (2016) dipidana akibat pernyataan terkait Surat Al-Maidah 51. Juga Lia Aminudin atau Lia Eden (2006) mengaku sebagai imam Mahdi dan mendapat wahyu dari malaikat Jibril.
Selanjutnya ada Arswendo Atmowiloto (1990) penulis yang dipenjara karena survei tabloid Monitor, Serta HB Jassin (1968) cerpen Langit Makin Mendung.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Yantina Debora