tirto.id - (Bagian ke-3 dari 5 seri. Bagian ke-2 bisa dibaca di sini)
Pada pertengahan 1953, Pramoedya Ananta Toer mendapat undangan residensi penulis ke Belanda. Bersamanya turut pula Arvah sang istri dan kedua anaknya. Namun, berada jauh di seberang lautan, keluarga baru ini nyatanya tak jua lepas dari masalah keuangan.
Demikianlah, Pram mencari uang tambahan dengan kerja serabutan: menyusun teks siaran untuk Radio Hilversum, menulis untuk majalah De Evenaar, sampai memeriksa naskah di penerbit Van Hoeve. Dengan tambahan-tambahan itulah, dompetnya tidak benar-benar kempis di negeri orang.
Lalu, satu lagi masalah yang mesti dituntaskannya: inco aliasinferiority complex.
Kisah terdahsyat Pram di Belanda memanglah tentang bagaimana dia mengatasi “penyakitnya” itu. Pram pernah secara terbuka mengakui caranya, yaitu dengan berpacaran seorang perempuan Belanda hingga terlibat hubungan intim.
Perempuan yang tak disebutkan namanya itu dijumpai Pram pertama kali di sebuah taman. Mereka berbagi kisah tentang pribadi masing-masing dan dari pembawaan yang mengesankan itu, kepercayaan diri Pram tumbuh kembali.
“Cara dan gayanya bicara terkesan padaku, seakan-akan aku bukan orang bekas jajahannya, bahwa tak ada perbedaan orang Asia dan orang Eropa,” tutur Pram dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997, h. 199).
Tanpa mengindahkan istri dan anaknya, Pram berani melanjutkan hubungan gelapnya itu hingga naik ranjang. Dalam wawancara yang dibukukan dalam Pram Melawan (2011), Pram berkisah gamblang tentang efek psikologis yang dia peroleh waktu itu.
“Saya punya pacar Belanda, di Amsterdam. Oh, itu yang membebaskan saya dari perasaan minder. Jadi dapat pacar bangsa yang dulu pernah menjajah saya. Ingat seks...., lihat: dulu dia tuan saya, sekarang saya tidur bersama dia. Hilang itu perasaan minder,” tukas Pram bangga (2011, h. 195).
Tentu saja, Arvah tidak mengetahui kisah hubungan itu karena Pram menyimpan rapat kisah itu hingga bertahun-tahun kemudian.
Arvah juga tidak menemani Pram hingga masa residensi selesai. Menjelang musim gugur 1953, dia memilih pulang ke Indonesia lebih dulu. Sebelum berpisah, Pram masih sempat menitipkan benihnya.
Setelah itu, Pram merasai dirinya mulai mengalami perubahan yang cukup signifikan. Mulai dari kondisi fisiknya.
“Setiap hari aku minum susu satu liter dan yoghurt tiga perempat liter. Kalau pagi tidak keluar darah dari mulut dan hidungku. Aku bisa bergerak bebas dengan tubuh dan jiwaku, dan aku dapat bekerja non-stop selama dua puluh jam sehari; sesuatu yang tidak mungkin terjadi di negeriku sendiri,” kenangnya.
Pram tetap tinggal di Belanda hingga musim dingin tiba dan salju mulai turun. Dia masih menerima kunjungan beberapa kawan, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengakhiri residensi lebih dini. Dia pulang ke Indonesia persis di tahun baru 1954 dengan pesawat KLM.
Bagi Pram, kunjungannya sebagai pengarang ke Belanda adalah suatu kegagalan secara arti sosial. Pasalnya, dia tidak membangun jejaring baru atau mendapat kesempatan mengembangkan diri secara optimal. Namun, kunjungan itu mempunyai hasil yang besar artinya dalam segi psikologis. Dia kembali ke tanah air sebagai pribadi yang berbeda dan lebih percaya diri.
Sang Pengarang Patah Arang
Jakarta rupanya tidak banyak berubah sejak Pram meninggalkannya 6 bulan lalu. Dari sebuah negeri yang bersih dan tertata rapi, dia kembali ke kehidupan kampung kota yang semrawut, kembali ke rumahnya yang dikelilingi got-got berbau busuk.
Keadaan kampung kota tempatnya mukim ini pernah dia tulis menjadi cerita pendek. Tanggapan dari pembaca sebenarnya sepi-sepi saja, tapifatal juga akibatnya lantaran rumahnya ditimpuki batu oleh penduduk sekitar yang marah atas cara Pram menuliskan kehidupan mereka.
Lain itu, Pram juga kembali dihadapkan pada masalah di kantor yang tidak kalah ruwet. Kala itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Ali Sastroamidjojo, Mohammad Yamin, memutuskan untuk mengubah fungsi Balai Pustaka dari penerbit menjadi percetakan negara. Langkah itu ditengarai dalam rangka untuk penghematan anggaran negara.
Kebijakan ini merupakan terusan dari kebijakan sebelumnya berupa korting royalti penulis, dari semula 20 persen keuntungan penjualan buku menjadi hanya 12 persen.
Perubahan status itu berdampak sangat besar bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Royalti buku-buku Prami kut amblas karena Balai Pustaka tak lagi mempunyai kewajiban membayar. Demikianpun penerbit-penerbit alit yang bergantung pada pesanan kementerian untuk mengisi perpustakaan di sekolah-sekolah ikut gulung tikar.
Perasaan Pram juga campur-aduk menghadapi situasi ini: frustrasi, murka, sekaligus tidak berdaya. Di masa itu, tidak ada serikat pengarang yang dapat memayungi nasib mereka.
Dengan kepala panas, Pram keluar dari Balai Pustaka dan memilih untuk menjadi penulis partikelir—sebuah pilihan yang dia ambil dengan mempertaruhkan ekonomi keluarga. Beberapa waktu kemudian, putri ketiga Pram dan Arvah lahir. Makin bertambahlah mulut yang harus Pram cukupi, tapi penghasilannya semakin tidak menentu.
Sementara Pramhanya bisa mengandalkan honorarium yang tidak seberapa, Arvah mulai gelisah. Dia pun semakin sering menggugat ketidakjelasan penghasilan Pram, bahkan menggerutu karena adik-adiknya yang membebani rumah tangga. Tidak segan pula Arvah menghardik suaminya ketika jatuh sakit.
“Tidur saja, [padahal] makan juga dari orang tuaku!”
Rumah yang jauh dari kesejukan itu kemudian mulai berubah menjadi neraka bagi Pram.
Tidak butuh waktu lama untuk kemudian Arvah meminta cerai. Pram bergeming. Arvah mengusirnya dari rumah, Pram tak juga tergerak. Namun, kala nasib tiga adik dan tiga putrinya membayang di depan mata, Pramakhirnya luluh meski harga dirinya terluka.
Sebagai langkah awal, Pram memutuskan untuk memindahkan adik-adiknya ke sebuah rumah kontrakan di Rawamangun. Dalam ingatan Koesalah, rumah kontrakan itu terdiri dari enam petak, menghadap ke ladang kangkung, dengan dua petak kamar mandi dan kakus di atas kali kecil yang mengairi ladang. Kontrakan mereka sendiri berada di pojok kanan dengan beranda, dua kamar di depan dan tengah, serta dapur.
Penghidupan mereka, selain ditunjang dari Pram, juga ditopang oleh Hermanoe, kekasih Koesaisah yang bekerja di Pusat Bahasa. Sementara Pram tidak lagi bisa mempertahankan, maka talak tiga menjadi jalan keluar.
Dengan memberanikan dirinya, Pram menghadap mertuanya dan berkata terus terang, “Bapak, hari ini saya kembalikan anak Bapak kembali pada Bapak. Maafkan ketidakmampuan saya menjadi suami anak Bapak.”
Maka selesailah riwayat rumah tangga itu, dengan Pram terngiang seumur hidup akan kata-kata Arvah yang penghabisan, “Tak ada perempuan sanggup menjadi istrimu selama lima tahun!”
==========
Bersambung ke bagian ke-4.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi