tirto.id - (Bagian ke-2 dari 5 seri. Bagian pertama bisa dibaca di sini)
Usai menikah dengan Arvah Iljas, Pramoedya Ananta Toer agak kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap. Sebenarnya banyak tawaran pekerjaan datang padanya, tapi dia menolaknya. Bukannya pilih-pilih atau jumawa,apa boleh bikin, gaji yang ditawarkan lebih rendah daripada honorarium sebuah cerita pendek.
Butuh empat bulan sampai Pram akhirnya diterima mengisi kursi redaktur sastra Indonesia modern di Balai Pustaka. Terhitung 1 Mei 1950, Pram mulai bekerja. Pada masa jayanya itu, Balai Pustaka merupakan penerbit terkemuka dan punya pangsa pasar besar untuk buku-buku sastra.
Di zaman itu, Balai Pustaka mampu memberi apresiasi besar untuk pengarang-pengarang di bawah naungannya. Royalti untuk satu buku yang terbit bisa mencapai 20 persen.
Atasan langsung Pram ialah Achdiat K. Mihardja yang telah dikenalnya sejak 1946. Akan tetapi, belum sempat terjun dan mendalami tugas-tugasnya, Pram menerima berita yang menggusarkan dari Blora: ayahnya sakit keras akibat TBC. Karenanya, dia diminta pulang oleh pamannya.
Pram memang pulang, tapi itu tak banyak membantu bagi kesembuhan sang ayah. Perawatan mahal yang harus dibayar Pram pun tidak mampu menolong. Mastoer Imam Badjoeri, sang ayah,akhirnya berpulang dalam usia 55 tahun pada 25 Mei 1950.
Keadaan keluarganya yang nelangsa di kampung halaman mencerabut semua daya hidup yang semula berkobar dalam diri Pram. Dia pergi ke Blora berdua dengan istrinya dan pulang ke Jakarta dengan murung. Beberapa pekan kemudian, dia memperoleh tambahan mulut buat dihidupi dengan kedatangan tiga adiknya, Koesaisah, Koesalah, dan Soesilo.
Pram memboyong mereka ke Jakarta agar beban di rumah Blora tidak terlampau berat. Sekaligus, mereka bisa meneruskan sekolah di Jakarta.
Mereka kini tinggal bersama Pram, Arvah, dan orang tua Arvah di rumah Kebon Jahe Kober. Itu adalah sebuah rumah dalam gang yang dilukiskan Koesalah dalam memoar Bersama Mas Pram (2009) sebagai berikut: lantai rumah terbuat dari batu bata, dengan tembok setinggi satu meter dari tanah yang disambung anyaman bambu berlapis kertas dikapur warna kuning muda yang menggembung jika kena tampias hujan.
Langit-langit rumah pun sama, dari kepang bambu dilapis kertas. Terdapat lampu berdaya 25 watt menggantung di langit-langit itu. Dari jendela kamarnya, Koesalah hanya dapat melongok ke comberan berpagar bambu dan pekarangan tetangga. Rumah itu, laiknya perkampungan Jakarta masa itu, tidak dilengkapi sanitasi sendiri sehingga kakus umum menjadi andalan beramai-ramai.
Selain kondisi rumah, yang mengendap tebal dalam ingatan Koesalah adalah gambaran gizi keluarga sekaligus cerminan situasi keuangan waktu itu.
“Jenis makanan kami sederhana, paling sering nasi putih, sayur asam, dan lauk ikan asin. Kalau tidak, sayur bening bayam dengan lauk tempe goreng atau tahu goreng. Jenis lain adalah sayur sop dengan lauk kerupuk atau rempeyek, biasanya dilengkapi lalapan dan sambal,” kenangnya (hlm. 91).
Menghadapi Kondisi Sulit
Seakan beresonansi dengan kehidupan Pram yang tengah kelabu, konstelasi politik Tanah Air juga tidak kalah rumit. Pemberontakan APRA meletus di Bandung. Sultan Hamid Algadrie ditangkap dengan tuduhan konspirasi kudeta. Sendi negara federal RIS pun mulai terguncang.
Perselisihan antara kelompok nonkooperator dan kooperator menghangat dan tak ada yang bisa dilakukan Sukarno maupun Hatta sebagai pemimpin Republik.
Perekonomian pun ikut terimbas angin politik. Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara mengeluarkan kebijakan sanering demi mengurangi inflasi, tapi nilai uang justru merosot dan harga-harga melambung. Sebagai gambaran, Pram mengklaim sebelum sanering diberlakukan, dia dapat membeli satu mesin ketik baru dengan tiga tulisan.
“Sekarang dengan tiga puluh tulisan pun tidak bakal terbeli,” ujar Pram dengan getir.
Keadaan di Balai Pustaka tidak jauh berbeda, juga diliputi keresahan. Gaji yang diterima Pram di Balai Pustaka kini tidak sampai separuh Utuy Tatang Sontani dan kurang dari sepertiga gaji Achdiat. Padahal,jobdesk mereka nisbi tak jauh beda ketimbang Pram.
Untuk menalangi kekurangan gajinya, Pram menulis di berbagai media demi honorarium. Namun, usaha itu tak berhasil. Pasalnya, majalah-majalah yang mengalami kesulitan finansial malah menganggap honorarium kontributor sebagai sumbangan belaka, bukan apresiasi profesional.
Di tengah kondisi yang serba menekan itu, konduite Pram di kantor mulai bermasalah karena dia cepat naik darah. Tidak sekali dia bertengkar dengan rekan sekerja, seperti halnya perselisihan di rumah menjadi semakin sering.
Beban dalam pikiran terpancar keluar dan menjadikan dia sakit-sakitan. Dalam keterpurukan, Pram menulis terus, meski mutu tulisannya tidak seragam. Semua dia perbuat asal bisa mencukupi kebutuhan periuk.
“Aku tidak malu jadi seorang broodschrijver [menulis demi upah – red]. Dengan tulisan-tulisanku, aku tidak mengkhianati negeri, bangsaku, dan revolusi. Aku hanya perlu hidup yang layak,” tukasnya terus terang.
Dalam situasi itu, Pram diserahi untuk mengurus majalah anak-anak terbitan Balai Pustaka, Kunang-Kunang,tanpa persiapan sama sekali. Meski demikian, Pram mengurus majalah ini dengan sepenuh hati, mulai dari menyunting naskah sampai urusan tata letak. Koesalah juga diajaknya untuk menulis dongeng atau cerpen di majalah ini dengan imbalan Rp15 untuk setiap naskah.
Sementara di rumah, pertengkaran Pram dan Arvah menjadi kian sering. Jika Arvah sudah murung, dia lebih sering merajuk. Pram berusaha setenang mungkin menghadapi istrinya dengan membelikan rupa-rupa hadiah.
Pram mengira hadiah bakal menyenangkan hati istrinya. Namun, percuma. Dia yang tidak memiliki pendapatan lebih untuk makan malah dianggap memboroskan gaji untuk hal-hal yang tidak benar-benar dibutuhkan.
Selama keadaan rumah tangga yang tak benar-benar harmonis itu, Arvah melahirkan tiga buah cintanya dengan Pram dalam jarak cukup dekat. Pada 1953, Pram jadi pribadi yang terus gelisah lantaran harus mencukupi tidak kurang dari 10 mulut dengan penghasilan seret.
Pun kariernya di Balai Pustaka tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Usaha penerbitan buletin sastra yang dia dirikan bernama “Mimbar Penjiaran DUTA” juga tak membuahkan hasil karena tidak ada naskah yang masuk sehingga malah bikin banyak merugi.
Undangan ke Belanda
Dalam tahun yang sama, Pram mendapat undangan residensi penulis selama 1 tahun di Belanda dariStichting voor Culturele Samenwerking tussen Nederland, Indonesie, en Suriname(Sticusa). Tujuan residensi itu, sebagai dicatat Liesbeth Dolk dalam esai “An Entangled Affair” yang dimuat volume Heirs to the World Culture: Being Indonesian 1950-1965 (2011, h. 69), adalah untuk membangun kesepahaman nilai budaya antara kedua bangsa (2011, h. 69).
Bersama Pram, ikut juga Asrul Sani, kakak beradik Aoh dan Ramadhan Kartahadimadja.
Undangan ini semula menimbulkan gejolak dalam diri Pram. Pasalnya,dia hanya bisa membaca tulisan berbahasa Belanda, tapi tidak bisa menulis apalagi berbicara secara fasih. Namun, Pram tetap menyambut undangan itu karena teringat pesan ibunya ketika masih hidup yang mengamanatkan agar dia belajar ke Eropa.
Resink, yang menyampaikan undangan itu, menganjurkan Pram tidak berangkat sendiri karena durasi residensi yang cukup panjang. Demikianlah, pada Mei 1953, Pram berangkat bersama Arvah dan dua bayi mereka, Poedjarosmi dan adiknya Etty Indriarti.
Pelayaran itu berlangsung cukup lama hingga Pram mendengar kabar jatuhnya Kabinet Wilopo dari atas kapal laut. Sebuah rumah beralamat di Jalan Oranje-Nassau Laan no. 5 menjadi griya tempat Pram mukim selama 1 tahun ke depan.
Di negeri kincir angin, segera terlihat perbedaan mencolok antara Pram dan Arvah. Tidak kenal tempat, perasaan rendah diri Pram kambuh. Sementara itu, Arvah demikian luwes dan tidak segan bergaul dengan orang-orang Belanda yang turut serta dalam simposium Sticusa.
Arvah juga cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Dia enteng saja berbelanja kebutuhan dapur dan mengurus dua anak, meski tanpa bantuan orang tua. Di satu sisi, Pram kagum terhadap sifat ini. Namun di sisi lain, dia jadi bergantung pada Arvah. Ke mana-mana, Pram selalu mengajak Arvah agar bisa mengatasi perasaan mindernya itu dan bergaul secara normal.
Itu setidaknya memecahkan satu persoalan hambatan bersosialisasi. Namun, satu masalah pelik, yaitu masalah keuangan, nyatanya tetap merundung keluarga ini hingga di seberang lautan.
Uang bulanan yang dijanjikan Sticusa tidak diperoleh Pram sepenuhnya, sedangkan uang sewa rumah di Amsterdam setinggi langit: 80 gulden sebulan. Demikianlah, Pram mesti pontang-panting mencari uang tambahan dengan kerja serabutan.
Dia mengerjakan hampir apa saja yang dia mampu, mulai dari menyusun teks siaran untuk Radio Hilversum, menulis untuk majalah De Evenaar, sampai memeriksa naskah di penerbit Van Hoeve. Dengan tambahan-tambahan itulah, dompetnya tidak benar-benar kempis di negeri orang.
Lantas, apakah masalah Pram selesai di situ?
==========
Bersambung ke bagian ke-3.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi